Hilangnya negeri gemah ripah lohjinawi

Hilangnya negeri gemah ripah lohjinawi


Dahulu semasa di bangku sekolah. Selalu dijelaskan bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dengan sumber daya alam yang dikandungnya. Lahan yang begitu subur terhampar diseluruh penjuru negeri ini. Produk-produk pertanian apa yang tidak kita miliki. Padi, Jagung, kedelai, coklat, kopi, sayur mayur hingga beragam buah-buahan tumbuh subur di negara yang sering disebut ‘Indonesia gemah ripah lohjinawi’. Negeri yang tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya

Seiring dengan berjalannya waktu. perlahan tapi pasti. Petani dan nelayan kini mulai menjauhi dari dunianya. Mereka pun berharap anak-anak keturunannya jangan lagi ada yang berprofesi seperti dirinya. Petani dan nelayan menjadi profesi yang tidak menjanjikan bagi kehidupuannya. Profesi ini identik dengan kemiskinan.

Di beberapa daerah, terutama petani jagung dan kedelai, mulai menjual tanah pertanian mereka. Uangnya digunakan untuk modal usaha non pertanian atau menjadi TKI/TKW. Itu yang lumayan beruntung. Yang buntung, menjadi bagian pengangguran yang tahun ini mencapai 10,13 juta orang (Perdagangan Bebas yang Menyisihkan Kelompok Marjinal, Kompas 15/9).

Terpinggirkannya para petani akibat kalah bersaingnya produk-produk pertanian dari serbuan impor. Dengan harga yang lebih menjadikan produk pertanian mereka tersisih. Kebijakan dan praktik subsidi pertanian di negara-negara asing, menganjlokkan harga produk pertanian domestik di negari ini, menyerang tepat ke jantung kemiskinan itu. Produk lokal Indonesia kalah bersaing dari produk pangan bersubsidi dari AS dan Uni Eropa.

Dahulu, pemerintah Amerika Serikat (AS) dan negara Eropa mengalirkan subsidi kepada petani agar mereka mampu bertahan dalam situasi di mana biaya produksi melonjak, sementara harga pasar stagnan. Sehingga mampu mendongkrak produksi makanan dan menghindari malnutrisi seusai Perang Dunia II Negara Eropa.


Namun, kini ceritanya lain. Negara maju kini sedang kelebihan pangan. Salah satu indikasinya adalah problem obesitas. Intensi subsidi pertanian bertransformasi seiring dengan atmosfer globalisasi perdagangan. Subsidi yang semula dimaksudkan untuk menghindari kelaparan telah bergeser pada keinginan untuk mengejar keuntungan di arena pasar global. Produk pertanian adalah komoditas kedua, setelah farmasi, yang meraup surplus perdagangan terbesar pada ekonomi AS.

Dengan subsidi pertanian yang diberikan pemerintah maka terjadi surplus produksi di pasar dalam negeri AS dan Eropa. Kelebihan barang ini lalu dilempar ke pasar internasional dengan harga amat rendah, bahkan lebih rendah dari biaya produksinya (dumping).

Produk pertanian murah yang membanjiri negara miskin dan berkembang pada gilirannya menganjlokkan harga komoditas serupa. Petani lokal di negara itu tak mampu lagi berkompetisi. Keuntungan komparatif negara miskin dan berkembang, antara lain berupa ongkos buruh murah, tidak berpengaruh dalam sistem perdagangan seperti ini. Tidak aneh jika kondisi ini akan membangkrutkan petani lokal.

Terlebih, ketika diterbitkannya Inpres No. 5 tahun 2008 yang mengatur sejumlah konsesi untuk perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di bidang pangan dengan sekala yang luas (food estate), sebagai kelanjutan dari liberalisasi UUPM (undang Undang Penanaman Modal) yang memberikan akses luas kepada Pengusaha Besar dan Asing untuk menguasai lahan (HGU) sampai 95 tahun.

Dari tahun ketahun petani semakin terpuruk.  Mau bukti ? Konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian sedikitnya terjadi 10.000 hektar per tahun. Kepemilikan lahan para petani yang dari tahun ketahun semakin turun. Saat ini kepemilikan lahan oleh petani di Jawa sekitar 0,3 hektar sedangkan di luar jawa 1,19 hektar.

Dulu negera dibarisan depan mengawal rakyat menghadapi kekuatan neo liberal melalui Trading house company ( Panca Niaga, Kerta Niaga, Dharma Niaga, Berdikari group, dan lain lain). Disektor keuangan kita punya Bank Plat Merah yang bekerja sesuai sektor pembangunan. Tapi kini setelah reformasi kita percaya bahwa monopoli tidak boleh ada karena distorsi pasar.

Lantas bagaimana dengan kekuatan MNCs yang justru lebih monopolistik dan mareka justru berasal dari negara yang mengkampanyekan tentang liberalisasi dan anti monopoli ? Kita percaya dan menghamba maka kita memberikan akses kepada negara maju untuk mengontrol dunia lewat kebutuhan konsumsi dan teknologi serta modal.

Mereka menciptakan monopoli secara sistem dan menjajah secara sistem. Kita tidak akan pernah menyadari selagi kita terlena menerima dan menjadi konsumen saja. Kini, apalagi yang tersisa dan kita banggakan ?

Dalam satu dasawarsa terakhir terjadi berbagai perubahan kebijakan strategis di berbagai tingkatan, termasuk liberalisasi pangan tahun 1998 yang diwujudkan dalam kebijakan di dalam negeri dengan mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, menghapus pembiayaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia untuk kredit ini, termasuk pembukaan impor beras bagi para importir. Perubahan situasi strategis di semua lini itu membangkitkan kekhawatiran tentang masa depan petani tanaman pangan Indonesia, yang sebagian petani gurem.

Sayangnya, wacana yang seringkali dilontarkan para elit politik tak membedah lebih dalam persoalan ini. Semua cerita tentang pangan dalam diskusi lebih dibicarakan dari sisi pasokan, tak sungguh-sungguh serius mencari solusi yang dihadapi produsen primernya. Ironisnya, impor menjadi satu-satunya solusi dalam upaya memenuhi apa yang disebut sebagai pasokan tersebut.

Kebijakan pembangunan pangan di Indonesia, sebagaimana hampir seluruh negara di dunia, mengikuti konsep ketahanan pangan (food insecurity). Hal ini tercermin dari kebijakan yang telah diterbitkan, salah satunya dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Dalam UU tersebut, ideologi ketahanan pangan mewarnai hampir seluruh isi undang-undang.

Hal yang terus disinggung dalam UU tersebut adalah aspek pemenuhan dan kecukupan bahan pangan bagi masyarakat. UU tersebut tidak mempersoalkan bagaimana bahan pangan itu didapat dan dengan cara apa, termasuk impor besar-besaran sekalipun. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada produk-produk pangan impor. Berikut tabel perbandingan impor pangan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia.


Negara-negara Importir Pangan Dunia Rank Negara Impor (ribu ton)
Mesir 11.930,0
Indonesia7.729,0
Maroko6.571,0
Filipina5.016,5
Irak4.623,0
Suriah3.339,0
Bangladesh2.988,1
India2.078,4
China1.810,0
Pakistan 1.518,9

Kalau mau dirunut secara detail angka-angkanya, impor produk pertanian sungguh mencengangkan sekaligus memilukan kita sebagai negara agraris. Data menunjukkan, setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN.

Ini adalah salah satu faktor yang membuat para petani kita makin miskin serta jumlah penganggur di negeri ini dari tahun ke tahun kian bertambah karena lapangan kerja sudah tergerus produk impor. Cermatilah angka-angka berikut, sebagaimana diberitakan kompas.com, Senin, 24 Agustus 2009 | 05:50 WIB, Indonesia Terjebak Impor Pangan.

Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900 miliar.

Menurut Hermanto Siregar, Guru besar ilmu ekonomi Institut Pertanian Bogor, mengungkapkan, dampak langsung impor pangan adalah terkurasnya devisa negara.

”Karena kita harus mengeluarkan uang untuk mengimpor, potensi pendapatan negara berkurang sebesar nilai impor yang dikeluarkan,” ujar Hermanto.

Adapun dampak tidak langsung berupa kehilangan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Keinginan untuk mengurangi jumlah penganggur tidak bisa maksimal. Padahal, dengan memproduksi pangan sendiri, peluang kerja terbuka luas.

”Kita bisa bayangkan dengan anggaran 4,7 miliar dollar AS akan menyerap berapa banyak tenaga kerja,” katanya.

Dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada produk-produk pangan impor, negara kita tentunya akan sangat rentan terhadap perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional. Gejolak harga ini bertambah buruk dimana belum meratanya pola distribusi antar daerah-antar waktu, dan juga ditengah tantangan fenomena perubahan iklim yang mengancam jutaan petani di dunia. Instabilitas harga ini tentunya akan berdampak pada rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pangan dengan harga yang tinggi.

Indonesia berada dalam status rawan pangan bukan karena tidak adanya pangan, akan tetapi lebih disebabkan pada pemenuhan pangannya bergantung pada pihak lain. Meskipun dari aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat tidak terlalu bermasalah, akan tetapi dalam jangka panjang tentu akan sangat membahayakan kelangsungan hidup ratusan juta rakyat Indonesia.

Saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi di tingkat internasional, maka secara otomatis kita pun langsung terkena dampaknya. Komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional diantaranya: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng (SPI, 2008).

Ke depan, tantangan kedaulatan pangan Indonesia akan semakin nyata. Apalagi Indonesia punya pangsa pasar yang amat sangat besar. Akan tetapi, kita perlu mencari jalan keluarnya agar kebijakan pangan berjalan tidak hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak mematikan pertanian/perikanan skala kecil yang diusahakan rakyat.

sumber
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda