“Menunggu adalah kejahatan terhadap Revolusi,” kata Lenin.
Tentu kita sering mendengar: “berikan kesempatan pada kekuasaan baru untuk bekerja.” Seperti peringatan kematian: 100 hari, 1000 hari dan seterusnya.
Sudah semakin kentara watak rezim saat ini. Sejak awal sebetulnya sudah bisa dikatan: Menitipkan kekuasaan pada PDIP dan Jokowi persis seperti menitipkan dendeng pada anjing. Baik PDIP dan Jokowi tak mempunyai iman terhadap demokrasi. Tak mengherankan kalau produk demokrasi pasca tumbangnya rezim Suharto seperti KPK mau dipenggal. Dan terbaru, RUU Kamnas yang represif itu disorongkan oleh rezim Jokowi untuk disahkan menjadi UU.
Belum pupus itu, rakyat masih harus digepengkan dengan naiknya harga BBM dan kebutuhan bahan pokok. Dengan seenak udelnya, rejim Jokowi-PDIP menaik turunkan harga BBM.
Ketika harga itu naik, barang-barang yang lain akan ikut naik. Ketika turun, harga kebutuhan pokok yang sudah naik tak akan mau turun. Siapa yang harus menanggung semua ini? Tentu saja rakyat.
Dengan kondisi seperti itu, pertanyaannya: perlukah rezim Jokowi-PDIP dikudeta? Pertanyaan itu bisa dijawab dengan selera masin-masing.
Kudeta belum tentu berhasil, tapi yang terpenting memberikan harapan. Di sinilah kudeta diperlukan. Begitu kesempatan hadir, tak ada alasan untuk menunggu.
Seperti Lenin, ia memang tak menunggu untuk melakukan kudeta. Pada Oktober 1917 ia lantas memaklumatkan: “Kaum Bolshevik tak boleh menunggu Konggres Soviet. Kita harus merebut kekuasaan segara. Kemenangan sudah dijamin dan ada peluang sembilan dari sepuluh bahwa tidak akan ada pertumpahan darah.” Dan, Lenin berhasil dengan kudetanya.
Kudeta bukan barang baru dalam sejarah umat manusia. Ketika sebuah rezim telah dianggap gagal, kudeta seringkali dijadikan jalan keluar. Nah, bagaimana agar kudeta berhasil?
Sebagian besar kudeta yang berhasil karena ada dukungan dari massa rakyat. Kudeta yang tercatat dalam sejarah Jawa, kudeta Ken Arok terhadap Tunggul Ametung, berhasil berkat dukungan dari rakyat jelata. Ken Arok berhasil mengerahkan massa untuk mengepung istana Tumapel.
Dalam kasus Lenin seperti yang telah dipaparkan di atas, ia juga didukung massa buruh. Serikat buruh kereta api, Vikzhel, memegang peranan penting dalam kudeta Lenin. Pertama, Vikzhel menggagalkan push Jendral Kornolov dengan menolak mengangkut tentara ke Petrograd. Kedua, menggagalkan pelarian Karensky yang berlindung pada kesatuan tentara Krasnov.
Viklzhel mengancam akan melakukan pemogokan yang berarti memencilkan tentara Krasnov. Itulah dua peranan massa buruh dalam kudeta Oktober Lenin sebagaimana dicatat oleh Edward Luttwak dalam bukunya “Kudeta”.
Rakyat akan mau bergerak ketika: pertama, situasi ekonomi yang buruk. Pengangguran mengular. Barang-barang kebutuhan pokok sulit didapatkan, dan kalaupun ada, mahal harganya. Kedua, rakyat menderita karena peperangan yang panjang. Ketiga, politik multipartai yang kacau. Bila terdapat situasi seperti itu, sembilan puluh sembilan persen rakyat akan bersedia terlibat dalam kudeta.
Selain faktor keterlibatan massa rakyat, pemimpin kudeta adalah penting. Ia bisa muncul dari mana saja. Yang jelas, mereka adalah orang yang mempunyai keberanian dan kecerdasan. Agathocles, ia hanya keturunan keluarga papa. Bapaknya seorang pengrajin tembikar. Lewat keberanian dan kecerdasannya, ia bisa menjadi Raja Syracusa lewat sebuh kudeta.
Sementara itu, Oliverotto da Fermo, hanya seorang yatim piatu. Namun, ia berhasil melakukan kudeta dengan menggulingkan kekuasaan pamannya. Kisah orang-orang biasa yang berhasil melakukan kudeta bisa dibaca dalam buku Machiavelli, “The Prince” (Sang Pangeran).
Bila jawabannya rezim Jokowi-PDIP perlu dikudeta, maka dua hal tadi–massa rakyat yang menderita dan pemimpin kudeta, haruslah ada sebagai prasyarat keberhasilan kudeta. Bila sudah ada, maka menunggu adalah kejahatan dalam revolusi.
Bandung, 30 Maret 2015
Salamun Siswomiharjo
Ilustrasi foto: google image