Outsourcing sistem perbudakan abad modern

Outsourcing sistem perbudakan abad modern


Penjajahan hari ini, tidak lagi dilakukan oleh tentara asing, melainkan muncul dalam bentuk perusahaan multinasional. Mereka merangsek pasar Indonesia. Pengusaha domestik tersingkir karena tak kuat bersaing.

Mulai dari penghapus pensil dan serutan pensil, hingga air mineral, teh, gula, rokok, sabun, pasta gigi, komputer, dan handphone, semua disediakan oleh perusahaan-perusahaan asing (atau perusahaan lokal yang dimiliki asing). Indonesia hanya menjadi pasar dan penyedia sumber daya murah bagi perusahaan multinasional itu.

Yang lebih jahatnya, perusahaan-perusahaan multinasional itu lebih suka menguasai modal, bukan properti. Dengan cara ini, mereka lebih leluasa memindahkan modalnya kemanapun yang lebih menguntungkan.

Ngaire Woods (2001) menyebutnya, footloose modern bussiness, dimana pemodal dengan mudah keluar dari sebuah negara bila pemerintah negara itu tidak memberlakukan kebijakan liberal yang menguntungkan mereka.

Hari ini pemodal bisa buka pabrik di negara A, namun bila esok hari negara B yang menawarkan upah buruh lebih rendah, dia akan menutup pabrik di A dan buka pabrik di negara B. Sama sekali tidak dipedulikan bagaimana nasib para buruh yang secara mendadak menjadi penganggur.

Bahkan, untuk menghindarkan diri dari kewajiban UU Tenaga Kerja, para pemilik modal memberlakukan sistem outsourcing dan sistem kontrak. Misalnya, untuk tenaga kebersihan, perusahaan A tidak langsung mempekerjakan pegawai, melainkan memakai jasa perusahaan kebersihan. Perusahaan kebersihan ini yang merekrut pegawai untuk kemudian bekerja di perusahaan A.


Para pegawai itu mendapat gaji dari perusahaan kebersihan, bukan dari perusahaan A. Perusahaan kebersihan pun umumnya menggunakan sistem kontrak, per-3 bulan, atau bahkan per bulan, sehingga si pegawai sewaktu-waktu bisa kehilangan pekerjaan tanpa mendapat pesangon. Sistem ini tak lebih dari perbudakan abad modern.

Bila uraian ini dilanjutkan lagi, saya rasa, saya tak sanggup menahan air mata. Jadi, mari kita kembali kepada pidato Sukarno di depan Konferensi Asia Afrika. Lima puluh dua tahun yang lalu, Sukarno telah memperingatkan bahwa kekuatan kolonial tidak akan begitu saja melepaskan bangsa jarahannya.

Mereka sepakat untuk menarik mundur pasukan bersenjata mereka. Namun, penjajahan puluhan tahun telah berhasil menginternalisasi nilai-nilai penjajahan kepada kaum pribumi. Inilah yang dianalisis Fanon dalam bukunya "Black Skin, White Mask".

Kolonialisme justru diinternalisasi oleh bangsa terjajah sehingga mereka justru punya mentalitas penjajah, dan bahkan ingin untuk menjadi mirip (menyamai) penjajah. Mereka silau dan kagum pada penjajah dan memandang apa-apa yang datang dari penjajah (Barat) adalah sesuatu yang hebat dan benar.

Pada perayaan 17 Agustus di tahun 2015 ini, kita perlu menyadari, bahwa kita sudah merdeka dari penjajahan bersenjata, tapi belum independen. Kita masih bergantung kepada para penjajah, masih mengagumi mereka, dan bahkan masih menjadi budak mereka.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Agaknya, kesadaran diri, kebangkitan harga diri, dan kemauan untuk melepaskan diri dari hegemoni pemikiran kaum penjajah adalah kuncinya. Ingatlah kata Sukarno, "Kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun kolonialisme itu menampilkan dirinya, dia tetaplah sesuatu yang jahat, dan dia harus dimusnahkan dari muka bumi ini." [IRIB]
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda