Cina sangat mencintai leluhurnya. Sedikit saja dari mereka yang lahir turun temurun di negara lain (Indonesia) yang mau menjadi bangsa itu seutuhnya. Semua konglomerat di negeri ini tidak merasa menjadi bagian dari NKRI. Mereka hanya mencari uang, uang dan uang.
Salah satu dasar terbitnya Inpres No.14 tahun 1967 adalah masyarakat keturunan Cina selalu memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya.
Lanjutan dari artikel Cina kini bisa menentukan nasib kaum pribumi menjadi budak
Begitu pula para kartel minuman keras hingga obat bius pada umumnya didominasi etnis Cina. Lihat saja bagaimana reaksi Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang begitu ngototnya melegalkan minuman keras.
Yang paling ngawur, Ahok malah mau memberi sertifikasi bagi pelacur dengan alasan untuk mengontrol prostitusi. Ahok mudah saja bilang seperti itu, toh, yang menjadi pelacur sebagian besar warga warga pribumi.
Dalam budaya Cina, main judi itu bagian dari ritual buang sial, tidak dilarang, malah dianjurkan. Judi adalah budaya dalam komunitas Cina. Berjudi itu sarana pembuang sial sekaligus untuk mengetahui peruntungan atau nasib hoki atau tidak.
Warga Cina di seluruh dunia selalu merasa punya kaitan dengan asal muasal leluhurnya di Tiongkok dan diakomodir dengan ius sanguinis RRC.
Sangat jarang ditemukan contoh akulturasi dan asimilasi kaum etnis Cina di seluruh negara di dunia. Mereka selalu memisahkan diri dan menganggap berbeda. Itu sebabnya di seluruh dunia di luar RRC dan Taiwan selalu ada China Town, lengkap dengan budaya dan tradisi Cina aslinya.
Pada zaman Sukarno dijawab dengan PP 10 1959, pencabutan inpres no. 14 tahun 1967 menimbulkan kerawanan dalam keamanan Negara. Pasalnya, pemerintah sulit mengontrol gerakan etnis Cina terutama yang membahayakan negara.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1959 adalah sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah
(di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.
Peraturan ini menjadi kontroversial karena pada penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak), dan mengakibatkan eksodus besar-besaran orang Cina (belum warganegara Indonesia) dan keturunan Tionghoa kembali ke China.
Saat ini tidak ada negara di dunia yang lebih liberal dibandingkan Indonesia dalam mengatur keberadaan warga negara etnis Cina. Liberalisme dalam pengaturan non pribumi etnis Cina ini sangat berbahaya. Melemahkan ketahanan nasional, ketahanan idiologi, ekonomi dan politik.
Anda perhatikan saja bagaimana konglomerat-konglomerat etnis Cina di Indonesia, hampir semua merasa bahwa Indonesia BUKAN negara mereka. Di Republik Indonesia mereka hanya mampir mencari uang.
Setelah berhasil kemudian mereka investasikan hasil ‘jarahannya’ ke luar negeri. Apakah ini yang dapat disebut nasionalis sejati?
Janganlah kita sebagai bangsa mau saja diperdaya oleh opini-opini yang menipu dan menghancurkan kita. Pribumi dituntut bijaksana dalam menilai etnis, melihat hegemoni ekonomi yang dikuasai etnis Cina yang terjadi karena kesalahan fatal kebijakan penyelenggara negara.
Hegemoni ekonomi etnis Cina Indonesia mirip dengan kondisi sosial ekonomi Malaysia pada era tahun 1960 an di mana di tahun tersebut terjadi ketimpangan ekonomi. Distribusi kekayaan dan kesejahteraan didominasi golongan keturunan Tionghoa yang umumnya pedagang.
Sedangkan kaum pribumi hanya menjadi WN kelas bawah yang umumnya adalah pegawai negeri, karyawan swasta rendahan dan petani serta nelayan.
Tionghoa Malaysia menguasai sebagian besar ekonomi dan sumber-sumber produksi, jaringan distribusi dan sektor perbankan nasional. Persis di Indonesia sekarang, sangat mengerikan bila dilihat dari jumlah penduduknya.
Sukses bidang ekonomi, etnis Cina juga sukses merusak mental dan moral bangsa. Bahkan, kini mereka sudah berani masuk ke bidang politik.
Negara kita di ambang masa kegelapan setelah jokowi yang mereka dukung dengan kekuatan uang dan media sudah dikuasai. Kini mereka tinggal sekali melangkah lagi untuk dapat berkuasa sepenuhnya di Indonesia.
Kita sekarang sudah merasakan bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah sangat tidak pro rakyat bahkan membuat rakyat jadi sengsara. Semua subsidi untuk kepentingan pribumi telah dicabut dan diserahkan pada mekanisma pasar. Konyol!!
Kebijakan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kita tidak punya pemerintah. Banyak undang-undang yang tidak berbanding lurus dengan konstitusi. Ekonomi kacau. Keadilan terkoyak. Negara menjadi sangat liberal dari negara di manapun di dunia ini.
Negara sudah tidak peduli dengan nasib rakyat (pribumi). Kita bagaikan tidak punya negara, karena negara sudah tidak mengurus rakyatnya agar terlindungi dan menjadi sejahtera.
Hukum dan keamanan hanya berpihak pada orang-orang kaya. Sementara rakyat miskin hanya sasaran penindasan. Kebijakan pemerintah sekarang sangat jelas adalah sebuah strategi yang terkonsep dan terstruktur melakukan pemiskinan terhadap pribumi.
Bahkan sebuah penghancuran pada usaha kecil yang sebagian besar dipegang kaum pribumi. Perusahaan milik negara yang bernama Pertamina yang selama ini menjadi salah satu BUMN penyumbang terbanyak bagi APBN, kini mau dihancurkan dan ujung-ujungnya diambil alih mereka.
Dengan memiskinkaan orang pribumi, mereka dengan leluasa melakukan langkah berikutnya yaitu menguasai negara sepenuhnya. Paham komunis pun dengan mudah berkembang di kalangan masyarakat yang terhimpit oleh kemiskinan.
Maka, bahaya komunisme akan tumbuh subur dan akan menggantikan azas Pancasila. Indonesia berada dalam bahaya yang sangat jelas. Kehancuran itu sudah sangat tampak di depan mata. Apa yang akan kita lakukan?
Penulis : Bambang Smit, Ketua Gerakan Pribumi Bersatu
- Guangdong dan Fujian adalah dua provinsi yang paling menonjol perjudiannya. Dan dari sana pula orang Cina Indonesia mayoritas berasal. (codeLab)