Trik sulap yang dilakukan penguasa dalam memperdaya rakyatnya

Trik sulap yang dilakukan penguasa dalam memperdaya rakyatnya

Benarkah ? Kita sudah sering mendengar jika Jokowi selalu menegaskan bahwa pemerintah menolak jaminan dalam bentuk apapun untuk pembangunan proyek kereta cepat,


Tentu kita sudah sering mendengar jika Jokowi selalu menegaskan bahwa pemerintah menolak jaminan dalam bentuk apapun untuk pembangunan proyek kereta cepat. Tapi benarkah pembangunan proyek kereta cepat murni business to business ? mari kita simak analisis dari rangkuman penjelasan pemerintah, berita media, dan ulasan dari para pengamat.

Pembangunan proyek kereta ceapat ini diserahkan ke BUMN dengan instruksi agar menggunakan konsep business to business (B 2 B), Untuk itu, Jokowi menerbitkan Perpres 107 Thn. 2015 tentang "Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung. [Download Perpres 107 format pdf]

Nah, "Perpres" inilah yang kemudian dijadikan dasar mulainya pembangunan proyek yaitu dengan menunjuk Wijaya Karya, Jasa Marga, KAI dan PTP Nusantara VIII, empat BUMN tersebut selanjutnya membentuk konsorsium dan diberi nama "PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia" dengan Wijaya Karya sebagai leader.

Kemudian PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia bersama China Railway International Co Ltd membentuk "PT Kereta Cepat Indonesia China" sebagai pelaksana proyek.

Kepemilikan saham KCIC adalah: PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia sebesar 60% dan, China Railway International Co Ltd. sebesar 40%, dari keseluruhan nilai proyek yang besarnya USD5.5 Miliar (Kurs $1=Rp13.600) atau setara Rp74,8 Triliun, 75% dibiayai dari pinjaman China Development Bank (CDB)

Sisa 25% (Rp18,7 Triliun) pembiayaan harus disediakan KCIC, dengan porsi 60% (Rp11,2 Triliun) oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia. Setoran tiap BUMN anggota konsorsium adalah Wijaya Karya 38% (4,263 T) Jasa Marga 12% (1,346 T) KAI 25% (2,805 T) PTPN VIII 25% (2,805 T) Wijaya Karya dan Jasa Marga.

Perlu kita ketahui bahwa dalam UU Perseroan "Tbk" mewajibkan  BUMN mengadakan RUPS sebelum membentuk konsorsium proyek, yaitu untuk meminta persetujuan investor publik, artinya, RUPS adalah presentasi rencana pengembangan usaha, untuk meyakinkan investor bahwa proyek kereta cepat ini merupakan nilai tambah saham.

Bagi investor publik, di pasar saham, kenaikan harga saham dan dividen menjadi tolok ukur utama dalam pertimbangan investasi.

Dalam proyek kereta cepat ini, hampir tidak ada analisis ukuran angka-angka finansial. Juga tidak ada dokumen yang bisa diakses oleh publik. Mengapa Tidak ada akses ke publik terkait Proyeksi Neraca, Arus Kas dan Laba-Rugi KCIC sebagai pemilik proyek padahal ada 2 BUMN Tbk terlibat?

Apabila proyek secara sosial menguntungkan, karena terciptanya sentra ekonomi sepanjang jalur yang dilalui, apakah ini bukan bagian Laba KCIC?

Seandainya secara finansial proyek merugi, investor publik pasti akan terkena dampaknya, jika harus ada penambahan modal, bukankah Pemerintah juga harus menanggung beban melalui PMN? bedasarkan Pasal 65

Pasal 65 ayat 3 berbunyi
Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak menguntungkan, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan. Ingat, konsorsium 4 BUMN pemegang 60% saham KCIC.

Jika berpedoman pada hitungan finansial proyek MRT dan Monorel Jakarta yang mangkrak, patut diduga proyek kereta cepat ini secara finansial juga tidak menguntungkan, oleh karenanya Cina sekarang ngotot minta jaminan pemerintah sebelum melaksanakan proyeknya !

Membaca uraian diatas, dan kembali ke ucapan Jokowi yang selalu menegaskan bahwa pemerintah menolak jaminan dalam bentuk apapun untuk pembangunan proyek kereta cepat sepertinya kita sedang mendengarkan cerita anak-anak, kancil nyolong timun yang penuh dengan tipu muslihat !

Dari berbagai sumber


*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel