Ahok atau pemilik nama Basuki Tjahya Purnama merupakan salah satu cermin pemimpin yang berpotensi memiliki kekuasaan mutlak.
Pasalnya, gaya kepemimpinan yang keras kepala untuk sulit menerima masukan pihak lain serta skema nepotisme terselubung dalam lelang jabatan yang sejatinya menempatkan orang-orang pilihannya dalam lingkar kekuasannya, disinyalir mampu melahirkan hegemoni kekuasaan yang mutlak dalam roda pemerintahan DKI Jakarta.
Kondisi ini didukung oleh kuasa media sebagai tirani baru iklim demokrasi Indonesia. Dikatakan baru karena memang baru benar-benar terjadi pasca angin segar reformasi berhembus. Pada negara yang sudah lebih dulu menikmati demokrasi Liberal, kuasa media sudah lebih dulu menjadi salah satu senjata pamungkas setelah hulu ledak.
Dengan jentikan jari jurnalis provokator mampu membuat perang dua negara damai. Lisan culas politisi yang sedikit di make up akan tampil menjadi petuah mulia seorang ahli hikmah.
Kuasa media yang dianggap menjadi pilar demokrasi yang ke sekian menjadi keruh setelah tangan-tangan penguasa mulai merambah industry informasi.
Dalam konteks langit media Jakarta, anda akan sangat sulit mendapatkan berita miring terkait ahok dari media mainstream.
Ini adalah masa dimana pena mulai tumpul, hidung pelaku media tak lagi tajam mengendus sengsara rakyat serta hati pelaku media yang tergadaikan oleh “jale” suatu istilah perkara bahasan media yang mengandung Rupiah. Tentu tidak semua pelaku media.
Menilik sejarah masa lampau terkait pemimpin terkorup dunia, maka kondisi ini memiliki kecenderungan masuk pada pola umum penyalahgunaan kekuasaan sesuai petuah Lord Acton.
Kekuasaan mutlak, faktor pendukung berupa Kuasa media, matinya gerakan oposisi dan terbukanya kesempatan kongsi dengan konglemerat hitam. Ahok berada pusaran kondisi yang dapat membahayakan apabila gaya politiknya melulu menggunakan Kuasa Media sebagai juru bicara pemerintahannya.
Baru-baru ini muncul tuduhan bahwa yang tak membela Ahok dalam kasus kisruh Anggaran APBD dengan pihak DPRD adalah kelompok pro-koruptor.
Hal kegilaan semacam ini terus berulang ditayangkan dalam media cetak maupun sosial. Hal ini memiliki potensi mati surinya iklim oposisi kepada pemerintahan Ahok yang pada akhirnya terbuka peluang untuk masuk pada klausa “Power tends to corrupt”.
Terlebih lagi Ahok adalah symbol kuasa penentu anggaran bertindak sebagai pemimpin tertinggi dalam badan eksekutif DKI Jakarta. Jelas ada Anggaran triliunan di sana yang mesti membuat air liur pengusaha hitam memancar.
Kondisi ini harus disadari oleh masyarakat, bahwa untuk menjaga uang rakyat serta anggaran yang tepat guna bukan dengan cara tangan besi semu, nepotisme terselubung, dan tameng kuasa media.
Namun, dengan mengajak masyarakat komunikasi dengan jelas dan jujur, memberikan kesempatan pengawalan masyarakat serta prinsip kehati-hatian berkongsi dengan pihak lain. Semoga petuah Lord Acton tidak terjadi pada Ahok, semoga.
Penulis :
Muhamad Hadi Kusumah S.Pd
Presidium Pemuda Djayakarta