Reklamasi panti utara Jakarta harus dilakukan. Di Jakarta sudah tidak ada lagi lahan untuk lapangan golf bertaraf internasional, perumahan mewah seperti di tepi laut Mediterania, pusat jajan wah seperti Tokyo, atau pusat perbelanjaan barang bermerek seperti di Milan.
Bila dikaitkan dengan penggusuran kawasan miskin yang sedang gencar dilaksanakan oleh Pemda DKI, arahnya jelas: Mereka yang tidak punya duit untuk beli rumah berharga miliaran rupiah, dan jajan sampai ratusan ribu rupiah per hari lebih baik meninggalkan Jakarta.
Pemda DKI tampaknya bernafsu untuk menjadikan Jakarta sebagai kota bintang lima, meski kebanyakan penduduknya cuma berkelas kaki-lima.
Semua itu tak lepas dari nafsu para pengembang besar seperti Agung Podomoro untuk mencari untung secara besar-besaran. Lihat saja, reklamasi pantai utara Jakarta sesunguhnya pada 2003 telah ditolak oleh Kementerian Lingkungan Hidup karena dianggap tak layak lingkungan.
Bila mereka sekarang makin bernafsu menguruk laut di utara Jakarta, ini tentu terkait dengan kisah sukses Pluit dan Pantai Indah Kapuk. Kedua kawasan ini kini tummbuh pemukiman elite, yang dijubeli dengan perumahan dan perbelanjaan mewah, dan telah mendatangkan untuk besar bagi pengembangnya.
Para pengembang tersebut tentu saja mencium kebutuhan kaum berduit untuk hidup ekslusif, seperti tinggal di dekat lapangan golf dan berlokasi di tepi pantai yang dilengkapi dengan garasi untuk speed boat atau dermaga untuk yacht.
Maka, hanya sekitar 2 KM dari lapangan golf Pantai Indah Kapuk, mereka menguruk laut untuk sebuah lapangan golf baru bertaraf internasional. Di sana juga akan dibangun rumah-rumah mewah di tepi pantai seperti milik para selebiriti kaliber dunia.
Sebagai pengembang profesional, mereka tentu gembira ketika Pemda DKI melakukan penggusuran secara besar-besaran pemukiman kaum miskin, dan mengubahnya menjadi taman atau pusat perbelanjaan atau pemukiman mewah.
Apalagi jauh sebelum pennggusuran terjadi, mereka sudah memborong tanah secara besar-besaran. Maka, setelah penggsusuran, harga lahan mereka melambung. Jadi jangan heran kalau kini berlaku pameo, kalau tak punya duit untuk beli rumah berharga miliaran rupiah, tinggalkan Jakarta.
Sungguh ironis. Proyek reklamasi pantai utara Jakarta dan penggusuran kaum miskin yang dilakukan di bawah pengawalan tentara, diiringi dengan gaya hidup makin mentereng kaum kaya. Mereka bersikap seolah tak ada orang miskin di Jakarta. Kecemburuan sosial yang ada dan tampak kian bertumpuk akibat maraknya PHK, pun dianggap sepi.
Semua itu menjunjukkan kontak sosial kaya-miskin telah menjadi barang langka. Yang dominan adalah kontak ekonomi antara penguasa duit dengan para hamba sahaya. Yang kaya makin ekslusif, sedang yang miskin makin prihatin. [gigin]