Yours.net - Kemajuan Cina ini tidak lepas dari kebijakan pragmatisme yang diambil para pemimpinnya. Cina tidak lagi memegang sepenuhnya ajaran Karl Marx, pendiri komunisme.
Sejak era Deng Xiaoping pada 1980-an, Cina memasukkan unsur pengusaha dari sebelummya hanya buruh dan petani.
Kemajuan Cina saat ini, diakui atau tidak, sebenarnya tidak lepas dari campur tangan AS sendiri.
Terutama saat era Presiden Nixon, yang membuka serta membawa Cina ke dunia modern dari negara terbelakang dan tertutup.
Perangkap Thucydides
Kemajuan Cina di bidang ekonomi dan militer, bahkan sampai mengimbangi AS membuat banyak kalangan mewanti-wanti agar hal ini tidak menyulut perang di antara keduanya.
Perang Peloponnesia, seperti dikatakan Thucydides, sejarawan Yunani kuno, terjadi saat kekuatan Athena meningkat (rising power) berhadapan dengan Sparta (ruling power).
Berdasarkan catatan Graham Allison dalam Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap sebanyak, 12 dari 16 kasus selama 500 tahun terakhir, terjadi perang antara rising power dan ruling power.
Kori Schake, wakil direktur jenderal International Institute of Strategic Studies menuliskan dalam esai singkatnya di Atlantic bahwa adagium Thucydides dalam History of Peloponnesian War sering dikutip politisi untuk menggambarkan politik antarnegara yang brutal dan keras. Kutipan yang sama juga digunakan sebagai justifikasi perang.
Presiden Xi, seperti dikutip Allison, menampik perangkap Thucydides ini. Namun, dia mengingatkan, bila negara besar selalu membuat kesalahan, artinya merekalah yang menciptakan jebakan untuk diri sendiri.
Jenderal Xu Qilian, orang kedua dalam komando angkatan bersenjata negara itu setelah Presiden Xi, mengatakan China perlu mempersiapkan diri untuk `Perangkap Thucydides`.
Istilah ini mengacu pada perang yang tak terhindarkan ketika kekuatan global baru menggantikan yang sudah ada.
"Dalam menghadapi Perangkap Thucydides dan masalah perbatasan, militer harus mempercepat peningkatan kapasitasnya," dikutip dari indozone.
Xu adalah salah satu dari 25 anggota lingkaran dalam Partai Komunis dan ingin meningkatkan pengeluaran untuk militer terbesar di dunia.
Dia yakin China akan segera menyusul AS sebagai kekuatan ekonomi, dengan PDB lebih dari 70 persen dari pesaingnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa negara yang kuat secara militer, atau memiliki hard power yang besar, akan memiliki kapasitas diplomatik yang besar pula.
Namun, dunia kini juga mengenal soft power, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Josep Nye di akhir era Perang Dingin. Peran soft power ini kemudian turut memberikan kekuatan bagi diplomasi suatu negara dalam posisinya terhadap negara lain.
Menurut Nye, berkebalikan dari hard power, soft power bergantung pada kebudayaan, nilai dan kebijakan suatu negara.
Soft power ini diekspresikan melalui diplomasi publik yang menurut Nye memegang peranan penting dalam mengakhiri era Perang Dingin.
Kenyataannya, ada beberapa negara yang sanggup bersaing dalam percaturan politik dunia kendati kekuatan militernya tak mengesankan. Salah satunya Swiss.
Dalam peringkat kekuatan militer yang dibuat oleh Global Firepower (GFP) pada 2019, Swiss tidak termasuk dalam negara dengan kekuatan militer luar biasa. Peringkatnya 33 dari 137 negara.
Kendati demikian, Swiss menempati urutan tujuh dalam peringkat global soft power 2018 yang dirilis oleh Jonathan McClory dalam laporan berjudul “The Soft Power 30”.