Tabiat dan kelakuan Ahok mencerminkan Mentalitas Singkek (2)

Tabiat dan kelakuan Ahok mencerminkan Mentalitas Singkek (2)

Ada ungkapan yang terkenal dari Raja zaman dulu 'pakai baju bagus, apa gunanya kalau di tempat gelap'?


Guanxi juga acapkali dikaitkan dengan RenQing, GanQing; orang Hokkian bilang Kamcheng, orang Hakka menyebut Kamchin. Artinya rasa cinta, percaya; dengan love dan trust menjaga hubungan dan membina jaringan yang bisa dibawa jangka panjang dan seterusnya untuk saling menguntungkan.

Sejarah Euforia para Singkek
Singkek dan turunannya pada dasarnya bersikap merendah dan tidak menonjolkan diri; tapi ada saatnya apabila merasa sukses, sangat ingin pamer.

Ada ungkapan yang terkenal dari Raja zaman dulu 'pakai baju bagus, apa gunanya kalau di tempat gelap'?

Maka kalau ada yang dibanggakan, kudu dipamerkan, disiarkan, gendang ditabuh, petasan diledakkan. Sikap seperti itu cepat menular, apabila ramai-ramai

menjadi euforia. Euforia tanpa rasionalitas, mengasumsikan semua harus ikutan. Kalau tidak ikut, bukan ziji ren. Kalau tidak sepakat, bukan lagi orang sendiri. Yang mbalelo atau punya pikiran sendiri, divonis jadi orang luar.

Sejarah Indonesia mencatat, turunan Singkek di Indonesia beberapa kali mengalami euforia.
Ekses dari larangan perdagangan eceren bagi orang asing dipedesaan (PP10/1959), menimbulkan euforia ‘HuiGuo’ pulang ke kampung halaman nenek moyang yang belum pernah dilihatnya.

Begitu gegap gempitanya euforia ‘HuiGuo’ itu, sampai ada yang tidak mau huiguo dicap tak patriot dan dianggap khianat terhadap tanah leluhur.

Pada saat pelaksanaan UU Dwikewarganegaraan 1961-1962, pemerintah memberikan kesempatan untuk memilih WNI secara gratis bahkan biaya materaipun dibebaskan, saat itu para Singkek euforia ramai-ramai menanggalkan kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi kewarganegaraan RRC.

Mereka yang menyatakan melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga Negara Republik Indonesia ada yang dilecehkan, dianggap telah melakukan pilihan yang bodoh/salah.

Setelah itu pada tahun 1960an, dengan mesranya hubungan Pemerintahan Soekarno dengan Tiongkok Mao Zedong; sejumlah tokoh Tionghoa yang berkiblat kepada Komunis Mao mendapatkan tiket ekspres berpolitik.

Begitu kuatnya Baperki saat itu menekan kelompok yang tidak sependapat. Sedemikian euforia sampai lebih suka para tokoh Baperki ini tanpa rem lagi memamerkan kedekatan dan mengidolakan Tiongkok dan Mao; dari tutur kata pro Tiongkok sampai meniru cara berpakaian Mao ketimbang budaya dari tanah air dimana mereka tinggal.

Tiga kali euforia itu menorehkan akibat yang sungguh pahit. Para turunan Singkek yang euforia 'Hui Guo' akhirnya hidup pahit di bawah rezim Komunis.

Banyak dari mereka mati kelaparan atau hidup sangat miskin di Tiongkok, sebagian berhasil kabur ke Hongkong dan menjalani hidup yang lebih baik dari nol, dan sebagian lagi masuk kembali ke Indonesia sebagai imigran gelap.

Turunan Singkek yang memilih menjadi WNA dan tetap hidup di Indonesia akhirnya mengalami berbagai kesulitan dan dicurigai oleh aparat Orde Baru yang alergi terhadap cina komunis.

Turunan Singkek yang terlibat Baperki dan sejarah mesra dengan Tiongkok juga mengalami kepahitan di bawah rezim Orde Baru; dikejar, dipenjarakan dan banyak yang lenyap.

Sementara mayoritas yang tidak terlibat Baperki, pun harus menanggung akibatnya selama 3 dekade dalam kecurigaan dan prasangka, persekusi identitas dan kebudayaan, meskipun secara ekonomi sangat maju pada rezim Orde Baru.

Lanjutan dari Tabiat dan kelakuan Ahok mencerminkan Mentalitas Singkek (1)
Bersambung  Tabiat dan kelakuan Ahok mencerminkan Mentalitas Singkek (3) Euforia Ahok
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda