Di Indonesia, nasi aking menjadi primadona bagi mereka yang tidak mampu untuk membeli beras. Nasi aking berasal dari nasi sisa yang telah dikumpulkan dan dicuci, kemudian dijemur hingga kering dan biasa dijual untuk makanan unggas atau ternak seperti ayam dan bebek.
Namun bagi satu keluarga di kabupaten lebak, Banten, nasi aking dikonsumsi setiap hari selama 15 tahun karena terjerat kemiskinan. Rumah mereka hanya satu kilometer dari pusat pemerintah Kabupaten Lebak, tepatnya di Kampung Ciseke RT 03/02 Desa Jatimulya, Kecamatan Rangkasbitung.
“Iya, setiap hari saya memasak nasi aking untuk dimakan bersama anak dan suami saya. Penghasilan suami saya sebagai buruh kasar tidak cukup untuk membeli beras. Akhirnya saya terpaksa mengolah nasi sisa tetangga untuk dijadikan nasi aking agar bisa makan”. Kata Suparti (37) ditemui di rumahnya, Jumat (8/4/2016).
Ketua himpunan Pemerhati Pembangunan Banten Indonesia (HP2BI) Nopi Agustina mengatakan banyaknya warga miskin karena kurangnya perhatian pemkab.
Padahal mengkonsumsi nasi aking dapat mengganggu kesehatan, melihat proses pengolahannya yang tidak higienis lebih banyak kandungan bakteri, jamur dan sejenisnya yang akan menyebabkan penyakit diare, keracunan serta gizi buruk yang mengancam dan bisa membunuh. Meskipun begitu, nasi aking tetap menjadi pilihan keluarga-keluarga miskin di Indonesia yang tidak mempunyai alternatif lain agar tetap makan dan cukup mengenyangkan meskipun bahaya keracunan mengancam jiwa mereka.
Namun disisi lain, Presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla kepada 471 kepala daerah beserta wakilnya di Istana merdeka, Jakarta. Kamis (8/4), sudah semestinya menjadi bekal penting bagi para pemimpin publik untuk menyegarkan kembali pentingnya mengasah kepekaan. Baik Jokowi maupun Kalla mengkritik kebiasaan buruk kepala daerah dalam mengelola anggaran.
Kepala daerah umumnya lebih mengutamakan pembiayaan operasional dengan segala kenyamanan dan kemewahan, ketimbang merealisasikan sebanyak-banyaknya pembangunan. Kepala daerah baru, mobil dinas pun baru, bahkan dengan spesifikasi mewah. Mereka tidak mau disamakan dengan “rakyat biasa”. Jika perlu, rumah dinas pun mesti dibuatkan berbeda dari kepala daerah sebelumnya. Tempat tinggal itulah yang nantinya setelah selesai menjabat bisa menjadi rumah pribadi. Mebel ruang kerja pun semua diganti baru, menyesuaikan selera. Bila seleranya ala Leonardo da Vinci, mebel pun didatangkan dari Italia.
Segala daya dan upaya dikerahkan dalam mengalokasikan anggaran yang bersifat rutin. Sebaliknya, daya yang disisihkan untuk program pembangunan hanya seadanya, yang penting ada. Begitu terus yang terjadi hingga kepala daerah silih berganti. Inilah ironi negeri demokrasi, negeri kaya rakyatnya sengsara pejabatnya tidak peka.
Sistem kapitalisme yang tidak memperhatikan rakyat kecil, mereka dibiarkan berjuang sendiri untuk memenuhi hak hidup mereka yaitu mencari makan. Padahal Islam telah mengajarkan seorang pemimpin adalah pengurus rakyat dan yang bertanggungjawab atas rakyatnya bukan malah menjadi penikmat kekayaan alam dan merampas hak-hak rakyat.
Segala bentuk kezaliman ini harus segera dihilangkan, hal itu hanya bisa diwujudkan apabila hukum Allah diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Hal tersebut hanya bisa terwujud melalui sistem Khilafah Rasyidah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Windy Lismayanti
Aktifis MHTI