Kejaksaan Agung memastikan terpidana kasus kepemilikan 1,4 juta ekstasi, Freddy Budiman telah dieksekusi mati pada Jumat (29/7) sekitar pukul 00.45 WIB. Freddy dieksekusi bersama tiga terpidana mati lainnya, Michael Titus Igweh (Nigeria), Humprey Ejike (Nigeria), dan Gajetan Acena Seck Osmane (Nigeria).
Banyak cerita mengenai sepak terjang Freddy sebelum dieksekusi mati. Seperti saat dirinya masih mampu menjalankan bisnis narkoba saat menghuni Lapas Cipinang, Jakarta Timur, dan Lapas Nusakambangan, Jawa Tengah, serta fasilitas untuk berhubungan intim dengan beberapa wanita.
Freddy pernah menceritakan pengalamannya selama menjadi gembong narkoba hingga mendapat vonis hukuman mati dari pengadilan dan menghuni Lapas di Nusakambangan, Jawa Tengah, kepada Koordinator Kontras Haris Azhar. Pengalaman itu diceritakan Freddy saat Haris tengah memberikan pendidikan HAM saat masa kampanye Pilpres 2014 silam.
Haris mengatakan, ketika itu dirinya mendapat undangan dari sebuah organisasi gereja yang aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusakambangan. Haris mengaku, lewat undangan organisasi gereja inilah dirinya bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati termasuk terpidana mati Freddy Budiman.
"Saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015)," kata Haris saat dikonfirmasi merdeka.com, Jumat (29/7).
Haris menceritakan pertemuan dengan Freddy dimulai saat dirinya diantar seorang pelayan rohani di sebuah ruangan. Obrolan dengan itu juga diawasi dengan Kalapas Nusakambangan Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei.
"Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan," ujar Haris.
Menurut Haris, pembicaraan dimulai dengan pengakuan Freddy Budiman yang siap dihukum mati akibat menjalankan bisnis narkobanya.
"Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, risiko kejahatan yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya," kata Haris mengingat ucapan Freddy saat itu.
Haris mengatakan, pembicaraan selanjutnya mengenai Freddy yang mengaku memiliki bos besar berasal dari China.
"Saya bukan bandar, saya adalah operator penyelundupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya) ada di China. Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya Rp 200-300 ribu itu?" kata Freddy kepada Haris.
Haris terkejut dengan pengakuan Freddy itu. Lantas dia menjawab kalau ekstasi yang diedarkannya di Indonesia senilai Rp 50 ribu. Namun menurut Haris, mendengar jawabannya itu Freddy langsung menjawab salah.
"Salah. Harganya hanya Rp 5.000 perak keluar dari pabrik di China. Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip Rp 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?" jelas Freddy.
Menurut Haris, Freddy menjawab sendiri karena dirinya mengaku meski banyak yang menitip harga dirinya masih bisa mendapat keuntungan hingga Rp 200 ribu. Sehingga menurut Freddy, dia tidak merasa dirugikan atas permintaan pihak tersebut.
"Karena saya bisa dapat per butir Rp 200 ribu. Jadi kalau hanya membagi rejeki Rp 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu," kata Freddy kepada Haris. (mdk)