Sebanyak 30 unit pesawat jet komersial buatan China, ARJ-21, dikabarkan telah dibeli oleh sebuah maskapai Indonesia yang tidak disebutkan namanya. Pembelian pesawat bernilai US$ 2,3 miliar atau setara Rp 29,9 triliun (kurang lebih 1 triliun rupiah per unit) itu difasilitasi oleh perusahaan pembiayaan China Aircraft Leasing Group (CALC).
Seperti dikutip dari Reuters, Rabu (27/7/2016), selanjutnya CALC akan menyerahkan penggunaan ke-30 pesawat tersebut kepada sebuah maskapai asal Indonesia yang tak mau disebut namanya. Pesawat yang bisa membawa 78-90 penumpang sekali jalan ini, akan dikirim secara bertahap ke Indonesia hingga 5 tahun ke depan.
Produsen pesawat ARJ-21 merupakan BUMN China yang bernama Comac. Comac sendiri juga akan membuat pusat perawatan dan kantor layanan penjualan di Indonesia sebagai bagian kesepakatan.
Tipe ARJ-21 bukanlah pesawat jenis baru. Terdapat produsen pesawat dunia yang telah lebih dulu meluncurkan pesawat sejenis yakni Embraer SA (Brasil), Bombardier Inc (Kanada), Sukhoi Superjet (Rusia).
ARJ-21 sampai saat ini telah dipesan sebanyak 300 Unit, mayoritas untuk memenuhi kebutuhan penerbangan domestik di China.
Meski telah mengantongi ratusan pesanan, ARJ-21 ternyata belum mengantongi sertifikasi dari regulator penerbangan dunia seperti asal Amerika Serikat (AS), Federal Aviation Administration (FAA). Artinya hnya maskapai di China dan maskapai asing yang mengakui sertifikasi lokal, yang nantinya akan menerbangkan pesawat ini. Pesawat ini pertama kali melakukan terbang perdana pada 28 November 2008, dan baru melakukan terbang komersial untuk pertama kalinya pada 28 Juni 2016. Sumber berita
Another stumbling block for the ARJ21 is its lack of U.S. and European certification, which means it can’t be exported or flown to major Western markets.
The U.S. Federal Aviation Administration last year ended a shadow evaluation of the Chinese aviation authority’s ability to assess airworthiness (wall street Journal)
Menarik diamati, situs wsj.com menginformasikan bahwa harga jual asli pesawat ARJ21 ini hanya US$ 30,5 juta atau Rp 400 milyar per unit. Lalu, mengapa Indonesia membelinya dengan harga Rp 1 trilyun per unit ? (li)