Partai bercorak Islam seperti PPP, PKB, PAN, PBB, dan PKS tak pernah bersatu dan sepakat dalam menentukan calonnya, termasuk untuk calon gubernur Jakarta.
Mungkin suatu saat Yusril Ihza Mahendra akan bersuara tentang besaran “mahar” yang harus dipenuhi sebagai calon gubernur Jakarta yang mengakibatkan dirinya terpental dari pusaran Pilkada DKI Jakarta.
Jangankan untuk level perebutan Gubernur Jakarta yang sangat bergengsi, bahkan untuk perebutan kursi bupati, walikota, camat, sampai ke tingkat kepala desa pun uang mahar harus selalu tersedia.
Ini adalah realitas politik Indonesia. Apakah bisa dibuktikan? Ini sama seperti “buang angin”, uang mahar untuk kepentingan politik tak ubahnya suap atau uang korupsi, tercium baunya tetapi sulit diraba ujudnya.
Kalaupun si calon dianggap “kere” alias tidak berduit, jaminan orang berduit di belakang si calon kere itu kuncinya. Kunci seorang bakal calon dilirik partai politik sebagai penentu.
Barangkali fenomena “calon kere” dan orang berduit di belakang si kere terjadi juga saat penentuan calon gubernur pada akhir pendaftaran calon, yakni pada Jumat 23 September 2016 lalu yang mengharu biru itu. Ini sekadar menjelaskan mengapa pertarungan “partai tambahan” antara Yusril Ihza Mahendra melawan Anies Baswedan yang sama-sama mantan menteri itu dimenangkan Anies yang baru yesterday afternoon candidate alias calon kemarin sore di pusaran Pilkada DKI Jakarta.
Padahal, Yusril sudah menyiapkan diri sebagai bakal calon gubernur DKI sejak awal tahun 2016 dengan menawarkan konsep penghapusan gubernur Jakarta untuk digantikan Menteri Jakarta sehingga persoalan kota Jakarta lebih mudah diselesaikan karena menjadi persoalan nasional. Konsekuensinya, tidak ada lagi Pilkada DKI Jakarta yang mahal itu karena Menteri Jakarta diangkat langsung oleh Presiden RI. Sebuah pemikiran Yusril yang brilian.
Menyadari partai yang dipimpinnya, Partai Bulan Bintang (PBB) jeblok dalam Pileg 2014 sehingga tidak mendapat kursi sebiji pun, Yusril mulai melirik jalur independen yang memang dibolehkan oleh peraturan dan perundang-undangan. Ketika jalur perseorangan gagal, Yusril pun mulai melirik partai politik.
Ibarat sarjana baru mencari pekerjaan, Yusril melamar ke PDI Perjuangan dan Partai Gerindra. Itu biasa dalam proses penjaringan calon, apalagi beberapa partai politik membuka jalan dengan cara konvensi seperti pernah dilakukan Partai Golkar dan Partai Demokrat saat menjaring calon presiden.
Namun seperti diketahui bersama, Yusril gagal baik di PDIP maupun Gerindra. PDIP memilih Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, gubernur petahana yang justru tidak ikut melamar ke PDIP. Bahkan di awal-awal pencalonan, Ahok justru pernah membuat elite PDIP tersinggung karena niatnya berkompetisi di jalur independen dengan motor penggerak relawan TemanAhok.
Namun “titah” Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDIP menempatkan Ahok sebagai kandidat berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat. Pun dari Gerindra, Yusril juga terpental setelah partai politik besutan Prabowo Subianto ini lebih memilih Anies yang bukan kader partai.
Ironisnya, Sandiaga Uno kader partai Gerindra yang digadang-gadang sebagai bakal calon gubernur malah harus legawa dengan menyerahkan posisi calon gubernur kepada Anies.
Di sinilah daya tarik sekaligus daya pikat Pilkada DKI Jakarta dengan terpentalnya Yusril dari pusaran!
Sebagai ketua umum PBB, corak Islam sangat lekat dengan diri Yusril. Pengacara yang juga mantan menteri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dicitrakan sebagai “Muslim” atau “Islam” yang dalam pusaran Pilkada DKI Jakarta adalah modal kuat apalagi berhadapan dengan latar belakang Ahok sebagai petahana yang berkebalikannya. Jelas predikat “Muslim” atau “Islam” sangat menguntungkan.
Namun uniknya, kalau tidak mau dikatakan anehnya, partai-partai bercorak Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti tidak mau memanfaatkan kelebihan ini.
Mereka tidak pernah mau bersatu mengusung calon kuat yang mewakili “Islam” atau “Muslim”. Padahal, ada tokoh kuat seperti Yusril yang bukan saja merepresentasikan Islam, tetapi ia juga pemimpin partai bercorak Islam, yaitu PBB.
Alhasil, corak calon gubernur Muslim kuat yang mewakili partai bercorak Islam sudah tidak nampak lagi dari ketiga pasang calon yang telah diusung dan didaftarkan ke KPU. Yang muncul, semua calon bercorak “nasionalis” kalau tidak mau dikatakan “sekular”.
Meski Anies keturunan Arab, tetapi citra “Islam” kurang kuat melekat pada dirinya. Anies lebih nampak sebagai “nasionalis” dengan sikap dan pemikirannya. Suka atau tidak, Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah perang ideologi “nasionalis” atau bahkan perang antar-“partai sekular” yang mengusung para calon bercorak “nasionalis-sekular”.
Bukan berarti Islam “lemah” dalam berpolitik dan bernegara, apalagi secara mayoritas lebih dari 80 persen penduduk Indonesia adalah Muslim. Namun untuk menyokong satu calon saja yang benar-benar mewakili “Islam” atau “Muslim”, para elite partai bernafas Islam belum mau bersatu kalau tidak mau dikatakan sulit bersatu. Pilkada DKI Jakarta ini adalah buktinya.
Pertanyaanya; mengapa bisa begitu?
Boleh jadi karena di Islam sendiri terdiri dari banyak aliran atau golongan, sehingga sulit untuk menentukan siapa calon yang benar-benar mewakili Islam. Lebih dari itu, mungkin ada faktor lain yang lebih berperan dan menentukan terpilihnya seseorang sebagai calon gubernur.(pepih nugraha)