Pers dan Demokrasi di Indonesia saat ini

Pers dan Demokrasi di Indonesia saat ini

Pemimpin-pemimpin kita sibuk dengan kegiatan mediocre, pencitraan, dan cari makan. Mereka lupa ada perspektif besar yang kini menghadang negeri


Kemarin kami para student S-3 di UUM Malaysia dan mantan dekan FH UI, Prof. Dr. Bari Azed kumpul di Citos. Maklum, jika para lawyers bertemu selalu ramai. Orang bilang: “dua lawyers bertemu muncul tiga pendapat”.

Teman saya, Bambang Hartoyo, komen di FB-nya, dan bilang pertemuan 3 jam di Citos kemarin sebagai ‘mini ILC”, itu acaranya bang Karni Ilyas. Saya tak urung komen juga: “But I never watched ILC and other talk shows for 3 reasons.

One, they are skewed according to the interest of the media moguls, second, they are not smart and unable to cater the thirst for professional, fair and objective assessment or observation, reflecting the general public sentiment or perception, and third, they have forgotten their mission of the national press in the first place: to educate the public. I'd better share my perspective in my lectures or with close friends like in the picture.”

Saya memang sedang serius. Jauh-jauh datang dari Cikini dan selama 1 setengah jam di perjalanan ini harus mendatangkan manfaat.

Dialog kami mengingatkanku pada sebuah artikel yang kutulis di tahun 2009 yang lalu ketika masih bertugas di Polandia. Ada relevansi yang kuat antara diskusi kami dengan Prof. Bari dengan artikel ini. Artikel itu berjudul “Matinya Sang Bidadari”. Yang kumaksud dengan “Sang Bidadari” adalah dunia pers, media terutama di mainstreams yang kini terancam bangkrut. Seperti komenku kepada Bambang Hartoyo: “Aku tidak pernah menonton talkshows apapun.”

Aku juga telah lebih 10 tahun tak menonton TV. Baca Koran? Ah, banyak bias-nya. Berita dan opini seenak jidat mereka puntir (skewing) sesuai dengan kemajuan dan kepentingan the media moguls, pemilik media, sementara para awak media sibuk mempertahankan pekerjaan, bersikap pragmatis, dan menyerahkan profesionalisme dan etika jurnalistik mereka ‘demi sejengkal perut’, kataku.

PELAN tapi pasti, Indonesia sejak era reformasi 1998 telah menjadi bagian dari masyarakat bangsa-bangsa. Indonesia juga menonjol perannya di kawasan Asia Tenggara, bahkan Asia Pasifik. Sejumlah gagasan untuk memajukan kawasan ini berasal dari Indonesia.

Gagasan cemerlang terakhir adalah pembentukan pusat demokrasi kawasan Asia Pasifik yang bermarkas di Bali, The Bali Democracy Forum. Di ASEAN, Indonesia dikenal sebagai the political powerhouse. Meskipun ekonomi Indonesia terbesar di Asia Tenggara, tetapi negeri kita belum menjadi economic power house terpenting.

Tahun 1998 adalah tahun Indonesia menjadi graduate dan masuk ke dalam college of democracies. Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kini menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Negeri kita telah menjadi contoh terkemuka, di mana Islam dan democracy bergandengan tangan mesra, kata Menlu Hillary Clinton.

Sepuluh tahun setelah reformasi, negeri kita juga sejak 2008 telah menjadi salah satu dari 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia. Ketika demokrasi menjalar di negeri ini, dunia mengalami euphoria. Berakhir sudah era totalitarianism.

Tetapi sayang, elit politik di negeri ini telah merusak capaian-capaian strategis kita. Lihat saja, DPR, KPK, rakyat kecil telah dilumpuhkan, minimal ‘dijinakkan’. Pentingnya diplomasi dan kepeloporan Indonesia di dunia negara-berkembang atau dunia Islam telah meluntur.

Dalam dua tahun terakhir semua indikator ekonomi makro kita turun. Who is to blame?

Kedudukan kita di G-20: dua puluh entitas yang ditugasi membenahi ekonomi dunia pasca economic downturn juga semakin tak jelas. Kita bangga dengan capaian ini. Bayangkan, dari lebih 200 negara, hanya 20 yang dijadikan aktor ekonomi utama dunia. Brazil, Rusia, India, Indonesia dan China (BRIIC) bersama South Africa, Saudi Arabia, Argentina, kini duduk bersama negara-negara maju di kelompok G-7 (AS, Kanada, Jerman, Inggeris, Prancis, Italia, dan Jepang), Korea, dan UE (mewakili negara Eropa yang bukan termasuk G-20).

Memang nyatanya masalah ekonomi sedang mendominasi perhatian para pemimpin dunia. Indonesia, satu-satunya wakil dari negara-negara ASEAN di G-20, karena memang ekonomi kita yang terbesar: 4 kali Singapura, 3 kali Malaysia, Philippines, maupun Thailand, kurang lebih.

Pembangunan politik menjadi kunci dalam pembangunan ekonomi dan sebagainya. Jika diabaikan, malapetaka dan ketidakjelasan akan menjerat kita, seperti keadaan sekarang ini. Tantangan yang dihadapi sekarang bukanlah persoalan hiruk-pikuk pemilu atau pilkada dengan maraknya money politics!

“Setelah pembangunan politik, maka pembangunan hukum tidak boleh ditinggalkan. Dunia hukum dan peradilan kita sudah porak-poranda, dan tak ada yang mau klaim bertanggung jawab. Tak dianggap penting. Melihat pengalaman China, pembangunan hukum ini prakondisi untuk pembangunan ekonomi yang telah menghantarkan China ke dalam posisi sekarang.

Di negeri kita, dunia peradilan dan rule of law telah porak poranda. Money speaks louder! Tak ada yang mau klaim bertanggung jawab!” lanjutku.

Pemimpin-pemimpin kita sibuk dengan kegiatan mediocre, pencitraan, dan cari makan. Mereka lupa ada perspektif besar yang kini menghadang negeri. Secara ekonomi, negeri kita berada di persimpangan jalan dan terancam krisis bila ada trigger, seperti pengalaman 1998 yang lalu. And yet, para pemimpin kita masih asyik dengan diri sendiri, dan negeri terancam tergadai. Atau sudah tergadai?

Kembali ke topik kita: ada apa dengan media kita sekarang?

Artikel saya (hazpohan.blogspot.com) dengan judul “Matinya Sang Bidadari” bukan mengulas film berjudul sama karya Wahyu Sihombing yang dibintangi maestro bulutangkis Rudi Hartono dan Poppy Dharsono di awal tahun 1970-an.

Saya ingin mengajak semua kita para demokrat sejati mencegah gejala global: matinya dunia pers dan media. Pers menjadi ‘bidadari’ penting bagi pertumbuhan demokrasi kita. Virus yang telah muncul di Amerika dikhawatirkan menjalar ke berbagai pojok dunia, termasuk menimpa media pers di tanah air. Saya berharap nanti tidak akan menuliskan obituary pada suatu bidang profesi yang pernah menghidupi saya: wartawan.

Saya sangat mencintai dunia media dan pers, dunia yang juga erat kaitannya dengan profesi saya sekarang. Harapan saya, jurnalisme tidak akan mati: “old reporters never die, they only lose .… their laptops”. Sekarang ini wartawan tidak dijuluki ‘kuli tinta’, tetapi ‘kuli laptop’.

Jika saya mengajak Anda berdiskusi mengenai ancaman kematian dunia pers dan impaknya kepada demokrasi, Anda mungkin menyatakan: Who cares?

Di dunia internasional, bicara demokrasi tidak hanya terbatas pada pemilu. Isu-isu mengenai partisipasi dalam pengambilan keputusan, akuntabilitas dan transparansi, balance of power, kontrol politisi terhadap tentara, rule of law, dan berbagai masalah domestik juga menjadi bagiannya. Yang terlupakan mungkin bahwa salah satu unsur terpenting dalam demokrasi ialah kontrol oleh masyarakat. Di dalamnya ada peranan pers. Konteks artikel itu di sini.

“Masalahnya, pers dunia kini menghadapi masalah serius. Media dunia seperti International Herald Tribune, TIME, CNN, Economist kini dilanda ancaman masuk gawat darurat. Jika masyarakat kita tidak peduli berapa dari 50 partai yang akan lolos dalam pemilu nanti (menurut teman saya, banyak pendatang baru dan yang lama akan bernasib ‘kembang semaput’), mengapa pula kita harus concerned terhadap matinya sejumlah pers dunia”? tanya saya.

Jika media dunia yang sudah berusia ratusan tahun bisa terimbas oleh economic downturn, bagaimana pula media kita? Jangan lupa, media merupakan unsur yang sangat crucial menjaga agar demokrasi, hak masyarakat berpendapat, dan menentukan proses politik, dapat berfungsi. Ini penting bagi negara demokrasi baru seperti kita, dan kita hidup di dunia yang kian mengglobal. Sooner than later, gejala ini akan berdampak pada pers dan media nasional kita.

Obituary SAYA mengutip Albert Hunt dalam op-ed nya “A Vibrant Democracy Needs Newspapers” (IHT, 23 Maret 2009) dan sebelumnya Nicholas D Kristof “The Daily Me” (IHT, 20 Maret 2009) menggambarkan perspektif betapa seriusnya masalah yang dihadapi pers dunia. Dan gejala itu telah hadir di tanah air.

Perusahaan lahir, hidup dan mati, selalu berganti. Perusahaan pers juga begitu. Tetapi, sulit dimengerti mengapa nasib Bank of America dan AIG yang sekarat harus dipaksa menjadi tanggung jawab dunia? Jawabannya: di sini terdapat kepentingan global. Mempertahankan dua institusi keuangan terpenting Amerika itu menjadi solusi untuk mengatasi global financial crisis, kata Obama. Sedangkan, jika perusahaan pers mati, banyak kawan-kawan yang hidup di dunia ini mengapa mesti menjadi concern saya?, kata seorang teman yang lain.

“Biar saja, wartawan khan suka heboh, mencari-cari kesalahan, suka mengekspos, dan mencemooh para pembuat undang-undang. Pers juga menebang hutan untuk diambil kertasnya. Mendingan kita cari berita di internet, website, blog, bahkan TV juga sudah ada online di internet. Trend dunia sekarang yang keren adalah paperless,” ujar seorang teman mengomentari status FB saya.

“Bagi middle class barangkali tidak apa-apa, mereka bisa mencari informasi di web, dan internet telah menghasilkan ratusan ribu berita setiap harinya. Tetapi, bagaimana kita mampu menyortir berita yang begitu banyak, menyederhanakan dan mencernanya. Ini satu persoalan. Tanpa berita eksklusif, semua media akan seragam, seperti dunia Orwellian.”

Di negeri kita lain lagi. Pers kita telah menjadi partisan, membela kepentingan pemilik perusahaan atau dibayar untuk suatu tujuan politik oleh sementara politisi. Kasihan.

Persoalan lainnya, tanpa media tradisional yang didukung dengan perusahaan dan sumber dana, maka pemberitaan pun menjadi datar. Akses ke informasi tertentu dan vital sering tidak gratis. Tidak ada web di internet yang mampu membiayai berita-berita investigative, tanpa menjadi bagian dari media tradisional.

Pers kini malas melakukan investigasi. Kutip sana, kutip sini, tanpa pengecekan dan ‘tidak merasa guilty’ mengangkangi Kode Etik Jurnalistik, yang menekankan pentingnya etika dan profesionalisme. Forget it!

“Alkisah, karena kelesuan ekonomi maka pemasangan iklan jauh menurun. Ini sumber pemasukan utama perusahaan pers. Langganan? Ternyata hanya membiayai sebagian kecil ongkos operasional perusahaan. Tribune Co yang merupakan pemilik dari The LA Times dan The Chicago Tribune bankrut. Seperti Philadelphia Inquirer, dan Seattle Post-Intelligencer hanya mampu bertahan di dunia maya, alias di website,” begitu observasi saya di tahun 2009.

Gejala ini terjadi di perusahaan pers besar yang selama ratusan tahun terbit. Semua pihak di era resesi perlu kencangkan ikat-pinggang. Maka, demi masa The Star Ledge Newark, Koran terbesar di New Jersey mengurangi 50 persen stafnya. Koran-koran di Miami, Colorado dan North Carolina kini sedang melancarkan pengurangan staf editorial; peliputan politik terpenting di DC dan di luar negeri ditutup, seperti dialami oleh The Baltimore Sun dan Boston Globe. Downsizing is good news?

“Maka, kolumnis Nicholas D Kristof menyatakan obituari bukan lagi berita mengenai kematian tokoh-tokoh penting atau selebritis yang dimuat di koran, tetapi mengenai nasib koran itu sendiri! Jika benar terjadi, maka para penipu berkedok selebritis atau politisi akan senang, jika pers mati maka mereka tidak lagi dikejar-kejar wartawan infotainment (entertaining bagi masyarakat, mereka jadi bahan tertawaan).

Kontrol masyarakat akan absen, maka leluasanya pejabat yang sering manyun menghadapi pertanyaan kritis dari wartawan,” kataku.

Seberapa penting sih arti pers bagi masyarakat? Sekarang ini sudah banyak media alternatif website, bloggers. Akan tetapi, Nicholas D Kristof bertanya lebih mendasar apakah kita memang tidak memerlukan good information? Katanya, di era IT sekarang masyarakat cenderung membaca media yang seideologi dengannya, untuk membenarkan pendapatnya.

Mereka cenderung tidak mencoba mendengarkan pendapat pakar yang netral sekalipun. Masyarakat yang tersegmentasi tidak suka mendengar pendapat yang menohok ulu hatinya. Yang dicari adalah informasi yang cocok dengan prejudice nya. Ini jelas berbahaya. Maka, good information itu penting! Inilah ‘hasil didikan’ pers kita.

Pakar media dari MIT Nicholas Negroponte berpendapat kita mungkin percaya secara intelektual terhadap pentingnya clash of opinions, perlu perdebatan sehat yang inspiring untuk membantu kita mengatasi gejala di era IT ‘the plenty of paradox’. Ratusan ribu berita di-upload setiap harinya ke dunia virtual.

Naturally, kita memilih berita yang kita perlukan, atau sukai. Maka, ujung-ujungnya kita cenderung mencari rasa nyaman, berarti pilihan untuk berada di wilayah rahasia ego kita sendiri. Kita akan membaca blog yang cocok dengan selera kita. Kita menghindari sakit perut atau kehilangan nafsu makan gara-gara membaca blog yang kita tahu dari sononya nyelekit!

Juga, parpol menerima hasil polling bila yang mengokohkan posisinya, semua ada ongkosnya. Mereka tersinggung jika polling memelorotkan posisinya. Muncullah ide, agar polling diatur dengan UU. Pening ah! Mereka maunya, seperti di Amerika, berita-berita ABS yang cocok dengan ego dan megalomania, hanya untuk mengukuhkan pre-existing views mereka.

Ingat Presiden Bush, ketika ultah perang Irak berfoto menyeringai dilatarbelakangi spanduk “Mission Accomplished”, padahal perang Irak tetap berlanjut sampai sekarang, dan Amerika masih mencari exit strategy-nya seperti apa.

Tanpa 'good information' yang selama ini disuplai oleh traditional media dengan keberagaman check and recheck nya, seperti dikatakan Negroponte kita akan mengalami “guilty of selective truth-seeking in the web”.

“Namun perlu diwaspadai bahaya segregasi di masyarakat, terpecah-pecah menjadi sel-sel kecil dalam club, atau kelompok kepentingan. Hasilnya adalah polarisasi dan intoleransi yang meningkat di masyarakat. Ini anti-demokrasi, dan pemimpin mana yang peduli?” tanyaku.

Oleh karena itu, katanya kita harus mencegah menurunnya peranan traditional news di media. Selective news akan berbeda dengan realitas. Dunia ditampilkan black and white. Padahal, mainstream media beroperasi di wilayah gray, balanced. Di sini kami berbakti, kata media tradisional. Dan, mereka tanpa ditunjang dana akan mampus!

Paradox of Plenty

MESKIPUN berbagai pemberitaan membanjir di internet, apakah informasi cukup bagi masyarakat? Jangan lupa, menurut pakar 85% berita di media adalah hasil pekerjaan atau bersumber dari media cetak tradisional. Maka, dengan bangkrutnya perusahaan pers tradisional akan berakibat pula pada pengurangan jumlah berita yang diterbitkan di internet.

Dunia pun datar, kembali ke era Orwellian. Ini di Amerika! Bagaimana di tanah air? Lebih parah lagi!

Jika koran-koran mainstream tradisional collapsed, siapa yang membiayai liputan yang kian mahal, khususnya untuk berita-berita khusus? Impact your world, kata CNN dan mereka juga membuka rubrik i-reporter, masyarakat menyumbang informasi secara gratis. Apakah berita-berita seperti ini reliable dari segi kontinutitas atau kredibel? Jelas tidak.

Liputan media mengenai apa sesungguhnya terjadi pada masa Perang Vietnam, Watergate, bahkan Perang Irak, dan situasi di Afghanistan telah mengubah kebijakan dan perkembangan dunia ke arah kebaikan. Pers AS juga membuka borok di Guantanamo, Sudan, Cambodia, Bosnia dan terakhir di Gaza Strip.

Di Palestina, Israel berupaya menutup masuknya pers mainstream dunia, dengan alasan adanya ancaman akan disandera oleh Taliban dan berbagai organisasi teroris di sana. Sesungguhnya, pemerintah Israel bermaksud untuk mem-block arus keluar pemberitaan negatif mengenai perilaku tentara Israel: pelanggaran HAM dan hukum perang yang berpotensi menyeret pejabat dan tentaranya untuk mempertanggungjawabkan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan di depan International Criminal Court atau ICJ.

Di tanah air, ‘good information and good journalism’ itu kini hanya dalam impian. Hilang sudah ketajaman pers kita dalam membongkar skandal korupsi, dan kasus-kasus manipulatif di masa lampau, dan bahkan tokoh-tokohnya kini mendapat layanan ‘red carpet,’ dengan mudah menghapus dosa-dosa di masa lampau. Karena ingatan kita terbatas. Pengkhianat menjadi pahlawan, dan media diam saja.

Alex S Jones dalam bukunya “Losing the News” mengatakan sulit mengukur dampak kerusakan yang menimpa masyarakat tanpa laporan peristiwa secara utuh. Inilah perlunya good information. Ini alasannya, mengapa harian New York Times mau menghabiskan dana jutaan dolar untuk liputan di Irak, serta membiayai wartawan, fotografer, staf di Afghanistan.

Dalam abad informatika kita mengalami “the paradox of plenty”, terlalu banyak berita dan opini yang memusingkan masyarakat. Kita membutuhkan pers yang mewakili kita untuk melakukan investigative reporting: ada apa dibalik peristiwa itu? Jelas banyak biaya yang dibutuhkan untuk itu.

Website dan blog yang menyediakan informasi gratis jelas tidak reliable dan credible. Bloggers menerbitkan informasi sebatas hobby, dan kurang memiliki mekanisme untuk pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat. Suka-suka akulah.

Mengingat mahalnya biaya operasi pers cetak tradisional, ada pemikiran untuk membebankan biaya (charging) kepada masyarakat pembaca di internet. Berarti internet mungkin tidak gratis lagi, dan dalam situasi ekonomi sulit daya beli masyarakat juga turun.

Non-starter! Wall Street Journal (WSJ) sejak 13 tahun terakhir telah memungut biaya langgaran, namun berita-beritanya hanya berkaitan dengan perkembangan ekonomi dan keuangan. WSJ pada saat dibeli Ruppert Murdoch bernilai USD 5,2 milyar, sebelum economic free-fall meningkat menjadi USD. 7 milyar. Sekarang? Nilainya tinggal 20% saja.

Kerugian 80% ditanggung sang spekulan. Bagi Murdoch yang pengusaha, pers seperti perusahaan, adalah alat untuk cari duit. Idealisme? Kayaknya terlalu jauh. Orang-orang seperti inilah yang menggiring perusahaan media ke kuburannya.

Ada pula ide ‘cemerlang’ berkembang di Prancis. Intinya agar tidak bangkrut dan tetap memberikan pelayanan informasi kepada publik maka pers perlu dibantu oleh pemerintah. Ini sih, mengingatkan saya pada zaman Orde Baru. Retorika berbeda dengan realitas.

Lagipula, aneh juga jika pers mendapat BLT, suplai sembako. Ini bukan saja merendahkan tetapi menghina integritas sekaligus intelektualitas para wartawan.

Bagaimana jika mencari dana dari yayasan? Lihat saja, sejumlah yayasan di Amerika yang hidup atas belas kasihan dari ’dermawan’ seperti Bernie Madoff. Tetapi orang-orang seperti ini lebih tertarik menggunakan kedok sumbangan ke yayasan untuk pencucian uang, atau pengurangan pajak atas nama idealisme ala kapitalisme.

Memang tidak semua yayasan berkedok sosial yang bermuatan terselubung. Ada yang benar-benar memiliki idealisme, mungkin bersumber dari keyakinan ketuhanan. Namun kesulitan dana juga menimpa koran The Christian Science Monitor serta The St Petersburg Times, adalah contoh koran yang memperoleh support dana dari yayasan agama.

Koran yang sudah berusia ratusan tahun itupun tidak luput dari serangan jantung, dan akhirnya menghentikan edisi cetakan, dan akhirnya hanya mampu mengudara di dunia maya.

Matinya dunia pers merupakan ancaman terhadap kelangsungan ‘democracy’. Demokrasi yang sehat, memerlukan media bebas. Media bebas membantu mengartikulasikan suatu informasi atau opini, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaiannya.

Pers membentuk opini, menilai apa merit suatu diskursus yang sedang berlangsung di masyarakat. Sulit membayangkan demokrasi akan bertumbuh sehat tanpa adanya pers dan informasi yang benar.

Jika ini benar, dan dibiarkan maka bersiaplah kita akan memasuki dunia yang berbeda dengan impian para founding fathers. This country has strayed too far, and the leaders do not give a damn, because they are preoccupied with their own interests or, like the media, their survival, too?

Written by Haz Pohan
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda