Imigran gelap asal Tiongkok banyak menyerbu Bogor dalam beberapa tahun terakhir. Mereka bukan sebagai ahli di pabrik atau industri. Para imigran itu bekerja sebagai buruh tani.
Kantor Imigrasi Bogor yang paling terbaru menangkap empat WNA di kawasan timur Bogor, Selasa (8/11/2016), sekitar pukul 10.00 WIB. Tim buru imigran gelap, bergerak menuju Kampung Gunung Leutik, Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur.
Dipimpin langsung oleh Kepala Seksi Pengawasan Keimigrasian, Kantor Imigrasi Bogor, Arief A Satoto, tim menindaklanjuti laporan warga soal keberadaan empat WNA Tiongkok, di pedalaman Kabupaten Bogor itu. Disinyalir, para WNA tersebut tidak mengantongi surat-surat resmi.
“Kita mendalami laporan warga yang curiga kepada para WNA saat melintasi perkebunan,” kata Arief kepada Radar Bogor (Jawa Pos Group) yang turut dalam penggerebekan Selasa (08/11).
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, perburuan sempat terhenti, tak jauh dari Kantor Kecamatan Sukamakmur. Dari titik itu, tim disarankan berganti kendaraan roda dua untuk melalui jalur setapak yang becek dan berliku. Medan yang dilalui pun harus melalui sejumlah bukit. Hingga sekitar pukul 12.40 WIB, barulah tim mencapai titik tujuan.
Setiba di lokasi, tim terlebih dahulu memantau kondisi di perkebunan cabai seluas puluhan hektar di atas perbukitan Sukamakmur itu. Benar saja, dari kejauhan, tampak beberapa wajah khas Asia, yang sangat mencolok dan terlihat berbeda di tengah kerumunan petani lokal. Tanpa basa-basi, tim langsung menghampiri dan memeriksa beberapa orang tersebut.
“Iya benar itu (WNA),” ucap Arief kepada para anggotanya.
Dari pemeriksaan sementara, keempat WNA itu di antaranya YWM (37), XXJ (40), GH (50), dan GZ (50). Mereka tinggal di sebuah rumah yang berada di tengah lahan perkebunan. Saat dipergoki petugas, keempatnya tengah mengawasi petani lokal yang sedang bekerja.
Selama sekitar dua jam, tim memeriksa dan menggeledah kediaman para imigran. Dari penggeledahan, tim menyita delapan unit handphone, alat pertanian, radio komunikasi, dua buku tabungan berisi Rp 20 juta dan Rp 15 juta.
Wartawan ini kemudian berusaha bertanya kepada para imigran menggunakan bahasa Inggris. Namun, salah satu imigran menjawab dengan terbata-bata, “I dont speak English,”. Ketiga imigran lainnya turut merespon dengan gelengan kepala.
Beberapa saat terdiam, salah satu imigran kembali buka suara, namun dengan bahasa Mandarin. Sembari mengucap kalimat secara cepat, dia menunjuk sosok imigran yang paling muda, YWM. Ternyata, YWM lah tuan rumah bagi para imigran itu.
Di saat pewarta ini mencoba menggali informasi, seorang warga sekitar, Usman (40), berbisik pelan. Menurut Usman, YWM telah dikenal baik oleh warga, dan akrab disapa Koh Aming. YWM sudah mengarap lahan di atas perbukitan Sukamakmur sejak Ramadan lalu, atau Mei 2016.
“Dia bisa (bahasa) Indonesia,” bisik Usman. Dari keterangan Usman pula, YWM diketahui membeli lahan seluas 20 hektar di perbukitan itu. Lahan tersebut ditanami cabai dengan mempekerjakan imigran asal Tiongkok dan warga lokal sebagai buruh tani.
“Tapi baru empat hektar yang jadi, sisanya baru direncanakan,” tuturnya. Wartawan ini kemudian kembali mencoba mengajak YWM berbicara. Kali ini menggunakan bahasa Indonesia. “Iya, saya bisa bahasa Indonesia. Memang kenapa?,” ucapnya, dan tak mau lagi berbicara. Setelah pemeriksaan dirasa cukup, tim kemudian membawa keempat imigran itu ke Kantor Imigrasi Bogor.
Kasir Wasdakim Imigrasi Bogor, Arief A Satoto, menjelaskan dari empat WNA, hanya dua orang yang memiliki paspor dengan visa bebas fasilitas di 169 negara. Dua lainnya tidak ditemukan dokumen apapun.
“Mereka memperkerjaan 38 warga lokal sebagai petani. 30 lelaki dan 8 orang perempuan. Tahu sendiri lokasinya di sana tidak ada sinyal, sangat terpencil,” jelasnya. (JawanPos)
Sementara itu...
Harga cabai merah keriting semakin melangit. Warga pun terpaksa membeli cabai busuk untuk dikonsumsi. Di Pasar Kranggot, Cilegon, harga cabai merah keriting tembus Rp 80 ribu hingga Rp 85 ribu per-kg. Sebelumnya hanya Rp 60 ribu per-kg.
Warga setempat Susanti (33) mengatakan, terpaksa membeli cabai dengan kualitas rendah karena tidak mampu membeli cabai kualitas baik yang harganya terus mengalami kenaikan.
“Kita harus pintar juga milih cabai yang dirasa masih bisa digunakan. Kalau enggak bagus juga yah jangan dibeli,” kata Susanti kepada Banten Pos (Jawa Pos Group), Senin (7/11)