Dalam seminar “Teror Tak Kunjung Usai” Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mewacanakan sertifikasi dai dan ustadz. Menurutnya, dengan sertifikasi, maka pemerintah dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi.
Ia mencontohkan di Singapura dan Arab Saudi hal itu telah berjalan efektif mencegah terjadinya radikalisme agama (lihat, detiknews.com, 8/9).
Reaksi keras pun datang dari seluruh elemen umat Islam. MUI melalu Ketua Komisi Fatwa, KH Ma’ruf Amin, menolak usulan tersebut. Beliau menegaskan predikat ulama didapat dari pengakuan masyarakat, bukan pemerintah.
Sementara itu Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M Da’I, menilai ide tersebut merupakan fitnah dari pemerintah melalui BNPT terhadap para ulama. Menurutnya usulan itu bisa semakin memperkeruh hubungan antara kelompok ulama dengan pemerintah (Republika.co.id, 10/9).
Ketua Umum PBNU, Said Aqil Sirodj, juga memprotes usulan itu. Menurut PBNU, gelar kiai atau ustadz bukan pemberian pemerintah, sehingga tidak dibutuhkan langkah sertifikasi untuk melihat nasionalisme penyandangnya (detiknews.com, 9/9). Sementara itu Wakil Ketua PCNU Kabupaten Malang, KH Abdul Mujib Syadzili, menyatakan 2.600 pondok pesantren di Kabupaten Malang, Jawa Timur, siap melawan BNPT jika usulan sertifikasi ulama direalisasikan (Kompas.com, 10/9).
Logika Tumpul
Pihak BNPT melalui Ketuanya Ansyad Mbai membantah adanya usulan tersebut. Bahkan Ansyad Mbai menyatakan ada kalangan radikal yang memutarbalikkan pemberitaan tersebut (bisnis.com, 10/9). Pemberitaan berbagai media massa menunjukkan dengan jelas bahwa wacana itu memang pernah dilontarkan.
Banyaknya reaksi keras dari tokoh-tokoh dan elemen umat Islam tentu tidak muncul jika wacana itu tidak ada. Logikanya, tentu tidak ada asap kalau tidak ada api. Bisa jadi seandainya tidak segera mendapat reaksi keras dari tokoh-tokoh dan elemen-elemen umat, wacana itu mulus dilakukan.
Selama ini ada tuduhan ajaran Islam menjadi sumber terorisme. Ulama, ormas dan pesantren dituduh turut menyemai radikalisme yang berujung pada tindakan anarkis dan terorisme. Padahal radikalisme tidak saja dilakukan karena alasan agama Islam. Sosiolog Agama, Dadang Kahmad, menyatakan penyebab radikalisme itu bukan hanya karena agama.
Menurutnya, ada banyak faktor dan sangat kompleks. Kondisi-kondisi sosial dapat membentuk radikalisme. Contohnya, pendidikan rendah, ekonomi dan lainnya. (republika.co.id, 10/9).
Banyak bukti radikalisme bahkan teror juga dilakukan oleh pengikut agama lain. Contoh, kelompok IRA (Irish Republican Army), menggunakan aksi teror sebagai bentuk perlawanan terhadap ‘penjajahan’ Inggris atas tanah air mereka, Irlandia Utara. Selain atas motif nasionalisme, IRA juga mengatasnamakan agama Katolik Roma. Mereka pun juga menyerang kaum Protestan yang dianggap loyal pada Inggris.
Dalam Yahudi ada kelompok ekstrimis seperti yang membunuh mantan PM Israel, Yitzhak Rabin. Di India, Partai Hindu Bharatiya Janata (BJP), mensponsori aksi kekerasan dalam kasus perebutan Mesjid Babri. Ratusan warga muslim menjadi korban. Aksi terorisme yang mengatasnamakan agama terjadi hampir pada semua agama dan kepercayaan.
Di tanah air, RMS (Republik Maluku Selatan) yang terdoktrin ajaran Kristen juga kerap melakukan kekerasan, khususnya terhadap umat Islam di Maluku. Umat Islam mungkin masih ingat tragedi pembantaian atas ratusan muslim Maluku pada tanggal 25 April 2004 lalu.
Radikalisme sering diidentikan dengan tindakan anarkis. Faktanya, tindakan anarkis tidak jarang juga dipicu oleh sistem dan proses politik yang ada. Proses demokrasi khususnya pilkada selama ini sudah banyak memicu tindakan anarkis.
Sekadar contoh, peristiwa tahun lalu berupa pembakaran kantor Dispenda, DPRD dan beberapa mobil dinas di daerah kota Arreke’ Buton Utara-Sultra. Ini terjadi karena sebab kekecewaan atas kekalahan salah satu calon Bupati (Sumarni, yang adalah istri dari Ansyad Mbai ketua BNPT) oleh pendukungnya.
Aksi anarkis dan teror juga bisa karena faktor dendam. Banyak kalangan menilai aksi terorisme yang kini terjadi di tanah air juga dilatarbelakangi unsur dendam. Terlihat dari sasaran pelaku adalah aparat keamanan, seperti penyerangan pos polisi dan penembakan seorang polisi di Solo.
Hal ini mungkin terjadi, mengingat seperti penilaian banyak kalangan, penanganan terorisme yang dilakukan oleh BNPT dan Densus 88 arogan dan bergaya bak cowboy. Komisioner Komnas HAM, Saharudin Daming, menyatakan bahwa Densus 88 sering overacting bahkan bertindak brutal terhadap tersangka teroris juga keluarganya.
Menurut pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar, langkah-langkah Densus 88 dari sejak dibentuk hingga sekarang cenderung melihat teroris itu harus dimatikan, patut dibunuh. Padahal, belum tentu orang yang ditembak itu terbukti terlibat terorisme.
Bambang khawatir ini akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan melanggar hak asasi manusia. Hal ini juga memicu dendam di kalangan sebagian orang.
Gaya penanganan terorisme yang arogan, overacting dan represif seperti itu, bukannya menghentikan radikalisme dan terorisme, malah melahirkan dendam terhadap aparat keamanan. Jika analisis ini benar, munculnya aksi teror justru dimunculkan atau dipicu oleh penanganan terorisme itu sendiri. Jika ini terjadi, aksi teror dan penanganan teror menjadi lingkaran setan seperti mitos ayam dengan telur, tidak pernah berakhir.
Membungkam Islam
Usulan sertifikasi dai dan ustadz yang diusulkan BNPT selain menganggap para ulama sebagai penyemai bibit terorisme, juga dikhawatirkan akan menjadi alat untuk membungkam para ulama yang ikhlas dan istiqomah dalam memperjuangkan Islam. Sehingga akan melanggengkan status quo.
Demikian pula para dai dan orang-orang yang menyuarakan kebenaran mengkritisi kepentingan penguasa atau kebijakan war on terror yang dilakukan BNPT, bisa dimasukkan sebagai pelaku kriminal bahkan teroris.
Ansyad Mbai, misalnya, menuduh para pengamat yang mengkritik BNPT sama dengan teroris. “Saya tegaskan lagi, jadi pengacara teroris dengan jalan seperti itu sama saja dengan teroris,” ungkapnya (eramuslim.com, 11/9). (HT)