Pergub reklamasi pantai utara Jakarta bentuk arogansi Ahok

Pergub reklamasi pantai utara Jakarta bentuk arogansi Ahok

Pergub ditandatangani oleh Ahok, 2 hari sebelum cuti kampanye Prosesnya dilakukan secara diam-diam dan tidak transparan


Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (Pergub 206/2016 PRK Pulau C, D dan E) seharusnya menjadi dasar pembangunan.

Namun, menurut Rosiful Amirudin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), pembangunan di pulau tersebut justru sudah berlangsung lebih dulu.

"Pergub ini dikeluarkan setelah adanya pembangunan Pulau C dan D. Di sana, bukan hanya pulaunya saja, tapi gedung-gedung sudah mulai dibangun," ujar Rosiful kepada Kompas.com, di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin (16/1/2017).

Rosiful menuturkan, pembangunan sudah mulai terlihat saat ia berkunjung ke Muara Angke pada September 2016. Sementara Pergub ini baru diterbitkan Oktober.

Selain Pergub, pembangunan tersebut juga menyalahi aturan karena belum ada dasar pembangunannya. Kalau Pergub tersebut terbukti menyalahi aturan, pembangunan ini bisa disengketakan.

"Pulau sudah jadi dan dibangun. Proses ini tidak sesuai karena tumpang tindih kebijakan," kata Rosiful.

Sebelumnya, Pergub ini dinilai tidak memiliki dasar jika mengacu pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 tahun 1995.

Peraturan ini sebenarnya sudah tidak berlaku karena tengah disusun peraturan baru.

Namun, pada prosesnya, penerbitan perda baru ini juga mengalami kendala karena ditemukan adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi.

Sampai saat ini, belum ada perda baru pengganti Perda Nomor 8 Tahun 1995 tersebut, sementara Sanusi ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.


Pergub ini ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tepat 2 hari sebelum cuti kampanye Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017.

Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata menilai dikeluarkannya Pergub ini telah melanggar aturan yang berlaku.

Salah satunya, karena dasar Pergub ini tidak jelas jika mengacu pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 tahun 1995.

“Perda ini mengatur tentang bagaimana desain reklamasi. Masalahnya, desain reklamasi waktu itu berbeda jauh dengan yang berkembang saat ini,” ujar Martin saat jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Senin (16/1/2017).

Ia mengatakan, Pergub ini tidak mendasarkan kepada Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang telah ditegaskan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 yang wajib bagi perumusan rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya.

Walaupun Pemda berdalih ini menjadi aturan organik dari Perda Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta, hal tersebut juga tidak dapat dibenarkan.

Pasalnya, saat ini Perda tersebut tidak berlaku dan tengah disusun Perda baru sebagai pengganti.

“Peraturan daerah terkait reklamasi yang baru, ada indikasi korupsi yang terjadi dalam proses rumusannya yang hingga kini belum disahkan oleh DPRD DKI Jakarta. Sampai sekarang belum ada (Perda baru),” tegas Martin.

Selain itu, Pergub 206/2016 cenderung diterbitkan secara sepihak, tanpa ada proses partisipasi warga maupun organisasi lingkungan yang berkepentingan terhadap perlindungan lingkungan.

Hal ini menunjukkan tidak ada proses pelibatan masyarakat maupun konsultasi publik bahkan sosialisasi dalam perumusan hingga terbitnya beleid ini.

“Prosesnya dilakukan secara diam-diam, tidak transparan dan sangat tidak bertanggung jawab,” kata Martin. (kompas)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda