Jokowi cuma bisa memperbesar hutang dan menguntungkan cukong

Jokowi cuma bisa memperbesar hutang dan menguntungkan cukong

Subsidi harus dihemat, atau bahkan dicabut, kembali berhutang dan melibatkan investor infrastruktur dengan jaminan pengembalian keuntungan


“Jokowi-JK Gagal: Menyejahterakan Rakyat, Menyelamatkan Lingkungan, Memperluas Demokrasi dan Partisipasi Rakyat, serta Menjaga Kedaulatan Rakyat”

Setelah dua tahun berkuasa, tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi-JK sanggup mengatasi persoalan rakyat hari ini akibat dari kesalahan kebijakan pemerintahan di masa lalu. Memang, pemerintahan Jokowi-JK baru dua tahun, tapi ditunggu sampai kapan pun, selama kebijakan pemerintahan Jokowi-JK tidak berdasarkan program yang menyelesaikan akar persoalan rakyat, maka akan GAGAL.

Pemerintahan Jokowi-JK tidak dan tidak akan meletakkan kebijakan darurat apalagi strategis yang menjamin terpenuhinya kesejahteraan dan kedaulatan rakyat.

1. Gagal Menyejahterahkan Rakyat
Kebijakan ekonomi Jokowi hanya menggenjot investasi yang memberikan keuntungan pada kapitalis dengan menekan kesejahteraan rakyat.

Ada 89 peraturan dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri yang akan dirombak. Telah disiapkan pula 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 Rancangan Peraturan Presiden, 2 Rancangan Instruksi Presiden, 63 Rancangan Peraturan Menteri dan 5 aturan lain untuk mendorong daya saing industri.

Salah satu deregulasi itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang meninjau besaran komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) setiap 5 tahun sekali berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi belaka, bukan berdasarkan keuntungan perusahaan.

Pemerintah sendiri tak pernah mewajibkan pengusaha untuk memberikan upah buruh berdasarkan keuntungan perusahaan yang pembukuannya bisa diperiksa oleh serikat buruh. Padahal, rata-rata keuntungan perusahaan yang beroperasi di Indonesia sebesar 30-40 % dari nilai penjualan, suatu besaran keterlaluan yang mencerminkan watak kapitalisme yang super eksploitatif dalam beroperasi di negeri-negeri berkembang.

Sedangkan, nilai upah buruh tidak melebihi 6 % dari angka penjualan. Serikat-serikat buruh disibukkan dengan perundingan-perundingan palsu berdasarkan angka KHL, inflasi dan segala tetek bengeknya, tapi keuntungan perusahaan sendiri tidak dipakai, bahkan tidak dibuka.

Debirokratisasi pelayanan pemerintah tersebut dilakukan dengan penyederhanaan izin, penyelesaian masalah tata ruang, mempercepat pengadaan barang dan jasa, serta memberikan diskresi (pengambilan keputusan sendiri oleh pejabat) menyangkut hambatan hukum.

Jokowi-JK berupaya untuk menarik investasi ke sektor riil dengan cara menggenjot penanaman modal di sektor properti dan infrastruktur sebagai andalannya. Tapi, jangan lupakan ada 95 proyek mangkrak di Indonesia dengan nilai fantastis Rp 423,7 Triliun yang beraroma korupsi.

Demi proyek-proyek infrastruktur ini, sumber dananya harus dicari. Dalam rumus kemudahan investasi, mencari dana segar harus dengan tidak membebani investor, tapi membebani rakyat kelas bawah. Subsidi harus dihemat, atau bahkan dicabut, kembali berhutang dan melibatkan investor infrastruktur dengan jaminan pengembalian keuntungan.

Pemerintahan Jokowi-JK tidak memiliki rencana untuk membangun industri nasional yang strategis sebagai kekuatan ekonomi yang riil (nyata) dan strategis.

Makanya, tidak heran jika biaya pendidikan semakin mahal (apalagi di perguruan tinggi), biaya kesehatan ditanggung sendiri oleh rakyat melalui iuran (BPJS), kenaikan harga BBM dan harga-harga barang meroket, ketergantungan pada impor, daya beli rakyat menurun, dan seterusnya.

2. Gagal Selamatkan Lingkungan
Pada alam, kerusakan lingkungan terparah terjadi di penambangan emas Newmont di Nusa Tenggara Barat, tambang tembaga dan emas Freeport di Papua, kerusakan terumbu karang yang mencapai 30,4 % sampai dengan kabut asap yang merusak paru-paru anak-anak kita.

Kerusakan terumbu karang ini akan semakin parah dengan reklamasi di berbagai tempat seperti Teluk Benoa, Teluk Palu, dan Teluk Jakarta.

3. Gagal Menjaga Kedaulatan Rakyat
Berdasarkan hasil penelitian KPA, sekitar 35% daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Sementara menurut Institut Global Justice (IGJ), sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun dan 175 juta hektar atau setara 93% luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta/asing.

Berarti ada segelintir elit, yaitu 0,2% penduduk, menguasai 56% aset nasional dalam bentuk kepemilikan tanah. Investor asing juga diperbolehkan untuk berinvestasi di sektor tenaga listrik hingga 95 %. Investor asing sudah menguasai sektor angkutan laut hingga 90 %.

Begitu juga teknologi yang digunakan dalam produksi dan konsumsi sebanyak 90 % lebih dikuasai oleh investor asing. Menurut Agro Ekonomika Foundation, penguasaan asing di sektor minyak bumi sebesar 85 %, gas alam 85 %, batu bara 85 %, emas 90 %, tembaga 80 %, nikel 79 %, timah 75 % dan mutiara 90 %.

Di luar negeri, lebih dari 6 juta rakyat Indonesia justru bekerja sebagai buruh migran yang rentan mengalami perkosaan, penyiksaan dan hukuman mati. Akhir 2014 lalu, seorang buruh migran bernama Nuraini dipulangkan dari Kuwait setelah disiksa selama 8 bulan oleh majikannya dan gajinya selama 10 tahun tidak dibayar.

Ia dipulangkan dalam keadaan lumpuh dan akhirnya meninggal dunia baru-baru ini setelah operasi pemulihannya gagal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Selain itu, ada 290 buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri.

4. Gagal Memperluas Demokrasi dan Partisipasi Rakyat
Yang paling menyolok dari semua kegagalan Jokowi-JK sekaligus bukti yang paling kuat bahwa Jokowi-JK telah gagal, adalah popularitas Jokowi tidak digunakan untuk memperkuat demokrasi rakyat. Sejak awal, wakil presiden Jusuf Kalla adalah elit politik sekaligus pengusaha yang anti rakyat.

Jokowi lebih memilih membangun kompromi dengan partai-partai politik dan militer. Pandangan naif yang mengatakan bahwa relawan-relawan Jokowi pada masa Pilpres akan bertransformasi menjadi kekuatan yang terorganisir (seperti Lingkaran Bolivarian di Venezuela), tidak terbukti. Yang ada hanya bagi-bagi jabatan dan kekuasaan, ada 600an lebih jabatan di BUMN yang disediakan para relawan Jokowi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satu lembaga yang menjadi andalan publik dalam memberantas korupsi yang merajalela justru dikebiri di masa Pemerintahan Jokowi-JK , saat berusaha membongkar kasus yang melibatkan para petinggi. Para aktivis dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet secara terang-terangan di hadapan rakyat.

http://solidaritasnet.or.id
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda