Babinsa ujung tombak penguasa dalam mempertahankan kekuasaanya di era orde baru

Babinsa ujung tombak penguasa dalam mempertahankan kekuasaanya di era orde baru

Suharto melebihi seorang primus inter pares yang unggul di antara sesama dalam kepemimpinan kolegial militer AD


Tidak mudah tentunya untuk menguasai Indonesia dalam waktu 32 tahun. Tapi hal itu mampu dilakukan oleh Soeharto , seorang jenderal TNI AD. Untuk melanggengkan kekuasaan, Soeharto telah melakukan manipulasi politik.

Tak hanya itu, kekuatan besar dikuasainya, salah satunya TNI AD dan Golkar. Untuk mempertahankan kekuasaannya Soeharto butuh kekuatan dan dukungan TNI AD. Sebaliknya juga demikian, TNI AD butuh figur Soeharto untuk kelangsungan kejayaannya. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Soeharto dan TNI AD menggunakan beberapa tiang penyangga utama. Petinggi dan mantan jenderal TNI AD selalu menduduki jabatan strategis.

" Soeharto menghabiskan tahun-tahun sejak tahun 1965 untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. Kini ia bahkan melebihi seorang primus inter pares - yang unggul di antara sesama- dalam kepemimpinan kolegial militer AD," tulis David Jenkins dalam buku Soeharto dan barisan Jenderal Orba halaman 17.

Dalam kisah, di era Orde Baru, Menteri dalam negeri dan seluruh Kaditsospol-nya baik untuk tingkat I dan II selalu diisi dengan personel TNI AD. Hal ini membuat pemerintahannya seperti agen komunis di Rusia.

Saat Soeharto berkuasa, Kodam di seluruh Indonesia diberi kewenangan teritorial. Kodam dalam operasinya membawahi Korem, Kodim dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang menjangkau seluruh pelosok tanah air dan tentunya seluruhnya adalah personel TNI AD.

Babinsa benar-benar dimanfaatkan sebagai ujung tombak di Era Orde Baru. Bak telik sandi, Babinsa menjadi menjadi 'mata dan telinga' untuk memantau semua gerak-gerik warga negaranya.

Menurut Jenkins, pada Pemilu Tahun 1971, TNI khususnya Angkatan darat berperan sangat jauh, bahkan hingga mempengaruhi politik saat itu.

TNI AD melalui perangkatnya benar-benar menyusup ke masyarakat untuk menjegal setiap gerakan lawan politik Soeharto meski hanya di tingkat desa.

"Para perwira teritorial berperan memonitor perkembangan politik dan sosial serta 'menikam' rekan sipil mereka jika diperlukan. Tetapi pengaruh mereka jauh melampaui hal itu. Orang yang hendak melakukan perjalanan perlu mendapat surat izin dari pihak AD, demikian halnya ketika ingin mengadakan pertemuan, menyelenggarakan suatu upacara dan menerbitkan sesuatu," tulis Jenkins.

Penetrasi yang dilakukan TNI AD dilakukan melalui perangkat yang paling rendah yakni Babinsa. Babinsa di era Soeharto melakukan pengawasan dan pemantauan di tiap desa yang menjadi teritorinya. Babinsa ini biasanya dibantu dua atau tiga orang untuk memantau betul setiap desa.

Babinsa juga menjaga hubungan baik dengan perangkat dan kepala desa. Dari sanalah semua kegiatan yang menjerumus ke makar bisa dipantau, dideteksi bahkan dihilangkan.

Setelah Reformasi, banyak kalangan yang meminta agar satuan Teritorial TNI dibubarkan. Tetapi tidak bagi babinsa, hingga kini Babinsa masih ada namun perannya di masyarakat sudah disesuaikan dengan tuntutan saat ini.

Para petinggi TNI AD saat ini selalu menyebut jika Babinsa lebih banyak membantu pembangunan di desa-desa dengan karya baktinya. Melakukan kegiatan kegiatan bakti sosial seperti pengobatan massal (gratis), operasi katarak dan bibir sumbing, sunatan massal dan sebagainya.

Namun benarkah TNI AD dan Babinsa sudah benar-benar lepas dari politik? (ren)

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda