"Mulut comberan" ala Ahok menjadikan awal kehancuran PDIP

"Mulut comberan" ala Ahok menjadikan awal kehancuran PDIP

Sejak awal Ahok sudah meremehkan peran dan kredibilitas parta-partai politik, termasuk PDIP, sampai dia menyatakan hanya akan maju dalam Pilkada melalui jalur perorangan


Kalau saja Megawati Soekarnoputri, selaku Ketua Umum PDIP dikelilingi oleh penasehat-penasehat cerdas dan punya sikap negarawan, PDIP tidak sepatutnya mencalonkan Ahok Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkda 2017.

Karena Ahok selain bukan kader PDIP, prilaku pribadinya tidak sesuai dengan karakter partai berlambang banteng itu sendiri.

Memang tidak ada rumusan tentang apa dan bagaimana karakter kader PDIP. Tetapi paling tidak kader itu - apalagi yang mau menjadi pemimpin di ibukota negara, bukanlah orang yang kata orang Betawi, manakala berbicara, mulutnya seperti "mulut comberan". Atau dalam perumpamaan lainnya, seperti orang yang siang lebih banyak bercengkerama dengan warga Ragunan yang tinggal di kompleks Taman Marga Satwa.

Kekeliruan PDIP mencalonkan Ahok semakin dirasakan sebagai sebuah kekeliruan fatal, karena tidak menimbang semua pernyataan Ahok tentang partai politik maupun PDIP.

Ahok sejak awal sebetulnya sudah meremehkan peran dan kredibilitas parta-partai politik, termasuk PDIP. Sampai-sampai dia menyatakan hanya akan maju dalam Pilkada melalui jalur perorangan. Diajuga menyatakan, kalaupun dicalonkan partai, tapi dia tidak akan tunduk pada perintah partai.

Kini keputusan blunder PDIP itu, sudah berbuah yang buruk. Ahok kalah. Kekalahan tersebut tidak perlu disesali. Tapi justru harus disyukuri sebab pada akhirnya partai bisa membaca apa yang menjadi keinginan sesungguhnya oleh rakyat.

Rakyat ibukota sudah semakin cerdas. Sehingga dari kecerdasan rakyat ini partai harus sadar jika mau merekrut politisi atau calon anggota, ingatlah akan "Pengalaman Ahok".

Mayoritas rakyat Jakarta tidak memilih Ahok, justru perlu dilihat sebagai sebuah kecenderungan dan keniscayaan di masyarakat. Bahwa PDIP sebagai partai kader, hendaknya perlu melakukan evaluasi dan introspeksi tentang sistem rekrutmen yang selama ini diterapkan oleh partai.

Kekalahan Ahok di Pilkada Jakarta tidak bisa disimpulkan sebagai akibat dari strategi Anies-Sandiaga yang menggunakan isu SARA. Kalau boleh bersikap kritis, tanpa isu SARA pun, Ahok-Djarot secara matematika tidak mungkin menang. Karena dari hasil penghitungan suara di Putaran Pertama, selisih Ahok dan Aniesa relative tipis. Haya sekitar dua persen.

Nah perhitungan di atas kertas, pemilih pasangan Agus-Silvi di Putaran Pertama yang berjumlah 17 persen, itulah yang harus diperebutkan oleh Ahok dan Anies. Sementara diyakini, tidak mungkin pemilih Agus-Silvi akan mengalihkan suara mereka semuanya ke Ahok. Mereka justru diperhitungkan akan lari ke Anies-Sandi.

Dan inilah yang terjadi.

Sebaiknya "faktor Ahok" dalam Pilkada, dijadikan bahan evaluasi. Sebab di tempat lain, yang berkaitan dengan status jabatan Gubernur, PDIP juga sedang menghadapi masalah yang cukup rumit. Hati-hati jangan sampai kekalahan Ahok menjadi awal dari kehancuran PDIP.

Dua kader terbaik PDIP, Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) dan Olly Dondokambey (Gubernur Sulawesi Utara), disebut-sebut terlibat dalam mega skandal korupsi e-KTP. Tak ada yang bisa menjamin bahwa nasib kedua Gubernur tersebut tak bakal mengikuti nasib Gubernur Sumatera Utara. Dimana dua Gubernurnya secara berturut Syamsul Arifin dan Gatot Pudjo Nugroho, menjadi pasien KPK.

Soal apakah tuduhan terhadap kedua kader PDIP itu benar atau tidak bisa dibuktikan, merupakan soal tersendiri. Tapi bahwasanya nama kedua Gubernur tersebut disebut-sebut kecipratan uang korupsi, hal ini sudah cukup menjadi sebuah masalah.

Citra positif partai tergerus. Ditambah lagi sejumlah kader PDIP akhirnya masih penjara, gara-gara kasus Miranda Gultom.

Kekalahan Ahok ini menjadi sebuah pembelajaran tersendiri berhubung PDIP harus membayarnya dengan harga yang begitu mahal.

Salah satunya adalah keputusan PDIP mendukung Ahok berakibat PDIP kehilangan Boy Sadikin.

Ketua DPD PDI DKI Jaya itu terpaksa harus mengundurkan diri dari jabatannya antara lain karena sikap Ahok terhadap dirinya, kata orang Jawa seenak dewe. Sementara partai mengganggap Ahok sebagai "barang baru" pasti lebih baik dengan Boy Sadikin yang merupakan "stock lama". Hal mana membuat Boy Sadikin tersinggung.

Sewaktu Ahok melanjutkan jabatan Gubernur yang ditinggalkan Jokowi, karena Joko Widodo itu sudah terpilih sebagai Presiden, personalia yang paling cocok - secara politiik, menjadi Wakil Gubernur mendampingi Ahok, adalah Boy Sadikin. Bukan Djarot.

Sebab hingga tahun 2014 itu, putera bekas Gubernur DKI, Ali Sadikin tersebut sudah lama berkiprah di lingkungan Pemda DKI. Selain menjadi Ketua DPD PDIP Jakarta, Boy Sadikin juga menjabat Wakil Ketua DPRD DKI Jaya.

Tapi Ahok dengan bahasa tubuhnya yang mencerminkan kesombongan lebih memilih Djarot, seorang politisi PDIP di DPR Senayan, yang relative belum tahu banyak tentang ibukota.

Herannya, keputusan Ahok itu tidak dianulir PDIP, sekalipun para eksekutif partai tahu bahwa Boy Sadikin sudah tersakiti.

Bumi berputar. Ketika Ahok dan PDIP menyingkirkan Boy Sadikin, tak ada yang memahami perasaan luka dari Boy Sadikin.

Hmmmm, tapi sejak tadi sore, saya kira Boy sedang menikmati keputusannya melawan partai dan menafikan Ahok, sebab Boy Sadikin menjadi salah satu tokoh tim sukses Anies-Sandiaga.

Penulis DEREK MANANGKA wartawan senior
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda