Penyedia "Software" Diberitahu Proyek E-KTP Milik Partai Kuning, Merah, dan Biru
Pengadaaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP) pada 2011-2013 lalu merupakan proyek tiga partai besar di DPR. Hal itu diungkap oleh Direktur PT Cisco System Indonesia Charles Sutanto Ekapraja saat bersaksi untuk terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Adapun ketiga partai itu yang disebut sebagai partai kuning, partai merah, dan biru.
Semula, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eva Yustisiana menanyakan perihal Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Charles. Dalam BAP tersebut, katanya, Charles menyebut bahwa pengadaan e-KTP merupakan proyek multi partai
"Saat ditanya rekan Anda, saudara menjawab proyek itu multipartai ada kuning, merah dan biru?" tanya Jaksa Eva di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/1).
Charles lantas berkata bahwa kabar itu didapatnya dari pembahasan di kalangan pebisnis, setelah dia mengulik keberadaan proyek tersebut.
"Waktu itu saya cek ke market (karena) saya nggak kejelasan proyek punya siapa. Itu yang saya dengar dari market, dari pasaran terdiri dari partai politik. Asumsi saya kuning itu Golkar, Merah itu PDIP, Biru itu Demokrat," jawab Charles.
Namun, saat Jaksa memperjelas lagi pengetahuannya terkait proyek multipartai tersebut, Charles mengaku tak tahu banyak lagi.
"Ya enggak jelas juga sih (maksudnya), orang-orang nyebutnya kaya gitu. Orang ngomong lah asumsi," kata dia.
Adapun Charles, kala itu, bekerja sebagai Country Manager HP Enterprise Services. Pada 2010, perusahaannya dikabarkan menjalin kerja sama dengan PT Biomorf Lone LLC milik Johannes Marliem dalam proyek pembuatan identitas berbasis elektronik di Indonesia.
Namun Charles memastikan kebenaran proyek itu langsung ke Indonesia. Melalui rekannya, Made Oka Masagung, dia bertemu beberapa kali dengan Novanto.
Pertemuan pertama terjadi di kediaman Novanto di Jalan Wijaya XIII No. 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kedua, di Gedung di DPR, tepatnya di ruang rapat Fraksi Partai Golkar. Ketiga, kembali di kediaman Novanto pada malam hari.
Setelah itu, dia tidak lagi bertemu Novanto lantaran kerja sama antara HP dan PT Biomorf Lone dalam pengadaan perangkat lunak dalam proyek tersebut gagal berlanjut. "Nggak dapat. Tidak jadi kesepakatan harga dengan perusahaan Pak Marliem," pungkasnya. (k)
Bertemu penyedia Softaware E-KTP, Novanto tawar-menawar harga
Charles bersaksi untuk terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Dalam persidangan, Charles mengaku pernah tiga kali mengikuti pertemuan dengan Setya Novanto. Salah satunya, pertemuan di kediaman Novanto di Kebayoran, Jakarta Selatan.
Menurut Charles, dalam salah satu pertemuan, Novanto sempat menanyakan harga satu keping e-KTP.
"Waktu itu saya jawab harga kartu 2,5 sampai 3 dollar AS," ujar Charles kepada majelis hakim.
Selain itu, menurut Charles, Novanto sempat menanyakan, apakah chip dalam proyek e-KTP dapat menggunakan produk dari China.
Saat itu ia menduga Novanto sedang membandingkan harga untuk mencari yang paling murah.
"Saya tidak tahu kenapa dia tanya. Tapi memang kalau dari China lebih murah. Mungkin untuk cek hitungan harga," kata Charles.
Menurut jaksa, Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar, secara langsung atau tidak langsung mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013.
Novanto bersama-sama dengan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, diduga mengatur proses penganggaran di DPR. Selain itu, mengintervensi proses pengadaan barang dan jasa dalam proyek.
Menurut jaksa, perbuatan Novanto diduga telah memperkaya diri sendiri sebesar 7,3 dollar AS. Kemudian, memperkaya orang lain dan korporasi, serta merugikan negara Rp2,3 triliun.
"Jadi gini, proyek nilainya Rp 5,9 triliun, saya, (Setya) Novanto, semua, merekayasa proyek ini, mark-up Rp 2,5 triliun."
Begitulah pengakuan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat terkait kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik ( e-KTP) pada 2011-2012.
Setelah kicauan Nazaruddin pada 23 September 2013 tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian mengungkapkan adanya kongkalikong secara sistemik yang dilakukan birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN hingga pengusaha.
Tak tanggung-tanggung, kerugian uang negara dalam kasus ini mencapai Rp 2,3 triliun.
KPK butuh empat tahun untuk mengurai benang kusut dalam kasus ini. Prosesnya berjalan dalam dua periode kepemimpinan KPK.
Enam orang terjerat kasus tersebut. Tiga orang diantaranya sudah divonis di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Fakta persidangan yang muncul, sejumlah nama disebut menikmati aliran dana korupsi proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Adapula yang menyerahkan uang yang diduga hasil korupsi e-KTP kepada KPK.
Penyidikan yang dilakukan KPK semakin melebar setelah muncul kasus baru yang tidak berhubungan langsung dengan praktik korupsi e-KTP.
Perkara ini diperkirakan masih panjang. KPK berjanji menuntaskan kasus tersebut.