Saya cukup terhenyak (meminjam istilah terduduk karena keheranan) dan kaget membaca sebuah artikel yang beredar dari group-group aplikasi Whatsapp. Sebuah artikel dengan judul PRESTASI PRESIDEN JOKOWI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT DAN KEMAJUAN NKRI.
Artikel yang cukup panjang memuat 47 (katanya) keberhasilan Jokowi. Sayangnya artikel itu tanpa menyebut siapa penulisnya sehingga mengaburkan identitas dan keakurasian informasi yang disampaikan.
Bagi saya, artikel itu menjadi menarik karena saya anggap adalah bagian dari pencitraan dan upaya membentuk opini bagi Jokowi yang belakangan semakin merosot elektabilitasnya sebagai akibat dari rendahnya prestasi Jokowi selama hampir 3 tahun memimpin bangsa ini.
Marilah kita mengurai satu per satu dari 47 poin yang disampaikan dengan memaparkan fakta dan bukti serta tambahan informasi yang sepertinya perlu disampaikan agar jejak sejarah tidak terhapus dan siapa pun yang berniat menghapus sejarah agar menghentikan upayanya, karena itu hanya akan membodohi generasi mendatang dari kebenaran sejarah.
Untuk memudahkan identifikasi dan pemaparan fakta, saya ingin merangkum artikel tersebut dari beberapa sektor. Di dalam artikel tersebut setidaknya ada 13 kelompok besar sbb:
Sektor Minyak dan Gas 6 poin, Sektor Energi Listrik 14 poin, Sektor transportasi 12 poin, Sektor pengairan atau waduk 4 poin, Sektor infrastruktur perbatasan 1 poin, Sektor penyelesaian Lapindo 1 poin, Sektor perizinan 1 poin, Sektor penegakan hukum ilegal fishing 1 poin, Sektor hutang 1 poin, Sektor pembangun pabrik pupuk 1 poin, Sektor investasi 2 poin, Sektor tambang 1 poin dan Sektor perumahan 1 poin.
Itulah 13 poin kelompok sektor yang disajikan sebagai (yang katanya) prestasi Jokowi. Luar biasa memang poin-poin yang disampaikan dan Jokowi patut diberikan rasa hormat yang setinggi-tingginya andai poin-poin ini adalah benar prestasi Jokowi dan apa yang disampaikan itu layak disebut sebagai prestasi.
Mari kita bedah setiap sektor untuk memberikan pemahaman yang utuh sehingga kebenaran tidak terhapus jejaknya.
Pertama, Sektor Minyak dan Gas. Pembubaran Petral yang disebut menghemat anggaran sebesar Rp250 Miliar/hari adalah bentuk lelucon yang tanpa bukti. Rp250 Miliar/hari artinya dalam setahun Pertamina menghemat sekitar Rp91 Triliun. Angka yang fantastis bukan? Menurut saya fantastis dalam kebohongan karena hingga saat ini Pertamina tidak pernah mencapai penghematan dari berbagai macam efisiensi hingga Rp91 Triliun/tahun. Norak nih yang bicara penghematan Rp250 Miliar/hari dan ini bentuk kebohongan.
Selanjutnya pencabutan subsidi BBM. Subsidi BBM yang nilainya hampir Rp300 Triliun hingga saat ini tidak jelas peruntukannya ke mana. Bahkan untuk menutup defisit APBN setelah pencabutan subsidi, pemerintah tampak kewalahan mencari pinjaman sehingga Menteri Keuangan harus berulang kali memangkas APBN hingga ratusan trilliun rupiah. Lantas ke sektor produktif mana anggaran itu dialihkan? Apakah untuk membiayai blusukan dan beli sepeda? Tidak jelas. Pencabutan subsidi itu juga bukan karena Jokowi berani, tapi memang karena faktor harga minyak dunia yang terjun bebas, dari di atas 100 USD/barel menjadi (sempat) hingga angka 35 USD/barel. Menurun hampir 70%, sehingga memang subsidi tidak layak lagi diberikan kepada BBM.
Kemudian Perusahaan Aramco katanya akan membangun kilang minyak dan storage senilai Rp140 Triliun di Indonesia. Saya pun bingung mencari di mana kilang tersebut dibangun oleh Aramco? Di bagian bumi mana di Indonesia, Aramco bangun kilang minyak?
Adapun rencana kilang minyak di Kalimantan, itu dimenangkan oleh Rosneft dari Rusia dan belum berjalan hingga sekarang. Bahkan ketika Raja Saudi datang ke Indonesia, hampir tidak ada MoU yang bernilai investasi yang ditandatangani hingga membuat Presiden Jokowi (maaf) ngambek dan menggerutu dengan perasaan kesal.
Selanjutnya terkait dengan pengoperasian RFCC (Residual Fluid Catalytic Cracking) di Cilacap. Saya heran, di mana letak prestasi Jokowi di proyek ini? Apakah menggunting pita peresmian adalah sebuah prestasi?
Proyek ini sudah dimulai sejak di era Presiden SBY dan hampir rampung 100% ketika SBY mengakhiri kepemimpinannya Oktober 2014. Sangat disayangkan memang ketika Jokowi meresmikan pekerjaan SBY tanpa menyebut terima kasih atau setidaknya menyampaikan kebenaran tentang sejarah proyek tersebut, sehingga tidak diklaim sebagai prestasi sendiri.
Bukan cuma RFCC di Cilacap yang dirancang SBY, tapi masih ada tahapan berikutnya yaitu Proyek Langit Biru untuk memperluas dan meningkatkan grade Kilang Cilacap.
Saya menjadi teringat pidato SBY saat meresmikan Jembatan Suramadu yang menyampaikan sejarah proyek tersebut sudah dimulai kajiannya pada era Soeharto saat Habibie sebagai Menristek, hingga dimulai era Megawati dan sempat mandeg kemudian diteruskan di era SBY hingga selesai. Tidak ada penghapusan jejak sejarah di situ. Itulah SBY menghormati kinerja pendahulunya, beda dengan saat sekarang ini.
Berikutnya adalah penurunan impor premium yang diklaim sebagai prestasi. Menurunnya impor Premium tentu ada dasarnya yaitu meningkatnya penggunaan BBM jenis Pertalite sebagai karya inovasi Pertamina saat Ahmad Bambang menjabat Direktur Pemasaran di era Presiden SBY. Penurunan harga minyak dunia juga memacu orang untuk membeli BBM yang lebih berkualitas di atas Premium. Jadi tidak ada sama sekali prestasi Jokowi di situ. Yang ada prestasi Pertamina dengan inovasi produknya di era SBY dan berkah penurunan harga minyak dunia.
Kedua, Sektor Pembangkitan Listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas Uap yang diresmikan Jokowi di Aceh dan PLTU di Kalimantan adalah proyek yang sudah direncanakan dan dikerjakan sejak era Presiden SBY. Presiden Jokowi datang meneruskan dan meresmikan. Mestinya hal itu juga tidak bisa diklaim sebagai prestasi Jokowi yang hanya sekedar gunting pita. Proyek itu sudah dikerjakan sejak 2013.
Terkait dengan ground breaking PLTU Batang Jawa Tengah, proyek tersebut juga sudah dimulai sejak era SBY, namun terkendala pada pembebasan lahan yang belum tuntas. Bahkan pada saat ground breaking oleh Jokowi, infonya belum semua lahan tuntas dibebaskan. Jadi bukan mangkrak secara tidak benar.
Selanjutnya Penurunan tarif dasar lisrik yang disampaikan dalam artikel tersebut juga menjadi lelucon terburuk saat ini. Publik tentu saat ini merasakan kenaikan harga listrik akibat dicabutnya subsidi dari sektor ini. Lantas di mana letak prestasinya? TDL tidak turun, tapi subsidi dicabut. Mungkin prestasinya adalah pencabutan subsidi dari rakyat tersebut. Prestasinya menambah beban rakyat, mungkin itulah prestasinya.
Ketiga sektor transportasi. Peresmian bandara Ultimate terminal 3 Soekarno Hatta juga adalah klaim memalukan sebuah prestasi bagi Jokowi. Gunting pita peresmian tidak layak dipandang sebagai sebuah prestasi. Terminal 3 tersebut adalah kerja Presiden SBY yang hampir rampung 100% saat SBY mengakhiri kepemimpinannya sebagai presiden. Tidaklah elok menghapus sejarah dan mengklaim kerja sendiri padahal hanya meresmikan saja.
Demikian juga Pembangunan jalan tol seperti Cipali. Jokowi hanya merampungkan sekitar 5% dari total proyek tersebut, karena sudah dikerjakan sejak era Presiden SBY. Demikian juga rencana pembangunan Rel Kereta Api dan Tol Sumatera serta trans Sulawesi. Semua itu program yang masuk dalam MP3EI era Presiden SBY. Lantas mengapa harus diklaim sebagai prestasi Jokowi? Transportasi tersebut juga belum dimulai secara fisik, belum selesai dan belum berwujud. Layakkah rencana diklaim sebagai prestasi? Baru dalam tataran kata “akan” sudah diklaim sebagai prestasi, ini memalukan.
Keempat, sektor pengairan dan waduk. Semakin memalukan klaim prestasi itu ketika menyebut Waduk Jatigede yang dibangun era SBY dan menyisakan progres sekitar 5% di era Jokowi sebagai sebuah prestasi besar Jokowi. Waduk Jati Gede itu program yang sudah dirancang sejak era Soeharto dan baru terlaksana era SBY sebagai Presiden. Jokowi datang hanya untuk gunting pita dan mengairi waduk tersebut.
Bila kita mau jujur, mestinya Jokowi menceritakan sejarah waduk tersebut sebagaimana SBY menceritakan sejarah Jembatan Suramadu saat peresmian. Tidak perlu malu mengakui kinerja pendahulu karena ini kerja negara bukan kerja pribadi. Ini kerja berkesinambungan antara pemimpin. Malulah jika merasa diri hebat sendiri dan menghilangkan jejak sejarah para pemimpin pendahulu. Kasihan generasi muda ke depan menjadi sesat sejarah.
Kelima, kita padukan sektor Infrastruktur perbatasan, Lapindo, Perizinan, penegakan hukum ilegal fishing, pembayaran hutang, investasi, pabrik pupuk dan perumahan.
Di dalam artikel tersebut disampaikan prestasi Jokowi menggelontorkan Rp16 Triliun untuk perbatasan Kalimantan. Prestasikah ini? Lantas yang dibangun apa? Jika mencantumkan anggaran saja di APBN, meski tanpa implementasi dan realisasi, dianggap prestasi, mengapa tidak diklaim saja semua yang di atas kertas itu sebagai sebuah prestasi?
Lapindo adalah sesuatu yang sarat dengan polemik. Tapi apakah masalah selesai sekarang? Belum selesai masalah sesungguhnya. Pembayaran ganti rugi sudah berlangsung sejak era SBY, dan tidak bisa serta merta tuntas sesaat. Sebuah kerja berkesinambungan yang sampai di tangan Jokowi. Seolah SBY tidak lakukan apa pun atas kasus Lapindo, padahal sudah cukup banyak yang dilakukan dan Jokowi hanya meneruskan saja.
Perizinan investasi yang disebut selesai 3 jam adalah isapan jempol yang cuma besar di mulut tapi nihil realisasi faktual. Tidak ada perizinan yang selesai dalam 3 jam. Bikin SIM saja butuh waktu berjam-jam apalagi izin investasi. Kalau mau berbohong, hendaknya sedikit masuk akal supaya tidak terlihat bahwa memang tidak paham substansi masalah.
Salah satu yang paling lucu adalah klaim membayar hutang sebesar Rp293 Triliun warisan SBY. Ini benar-benar penyesatan kebenaran. Setiap tahun APBN kita wajib membayar pokok hutang dan bunganya senilai ratusan trilliun. Jadi itu bukan prestasi karena wajib dibayar. Justru fakta sesungguhnya adalah SBY melunasi hutang di IMF namun sekarang Jokowi kembali berhutang secara ugal-ugalan hingga hutang negara meningkat cukup tajam. Jangan menipu kebenaran logika masyarakat hanya untuk kepentingan pencitraan. Tidak baik untuk masa depan bangsa.
Keenam, tentang Freeport. Jokowi disebutkan menghentikan dan tidak lagi memperpanjang Kontrak Freeport di Papua. Ini salah satu bentuk penipuan informasi publik yang sangat memalukan. Kontrak Freeport saat ini masih terus berlangsung bahkan kami meyakini akan diperpanjang pasca-2021, kontrak karya ke-2 Freeport berakhir. Negosiasi saat ini justru kental dengan aroma perpanjangan kontrak bukan penghentian perpanjangan kontrak. Dan di era Jokowi jugalah izin ekspor konsentrat meningkat tajam diberikan hingga 1,4 juta MT (Metrik Ton) setelah sebelumnya di era SBY hanya diberikan 500an ribu MT.
Siapa yang pecundang sesungguhnya? Yang berikan izin lebih kecil atau yang berikan izin lebih besar? Silakan jawab sendiri dengan persepsi masing-masing. Bebas interpretasi sesuai nurani masing masing.
Mungkin artikel ini jadi sedikit lebih panjang, namun perlu diuraikan agar tidak terjadi penyesatan informasi kepada publik, agar generasi muda ke depan terselamatkan dari kesesatan sejarah. Kami sangat berharap agar Presiden Jokowi tidak berupaya menghapus jejak sejarah dalam pembangunan bangsa ini, karena semua ini adalah kerja berkesinambungan para pemimpin bangsa.
Janganlah bentuk opini seolah bangsa Indonesia baru ada dan baru bekerja setelah Jokowi jadi Presiden. Tidaklah elok menghilangkan jejak sejarah pembangunan bangsa. Hentikan klaim-klaim sepihak yang justru berpotensi mempermalukan diri sendiri.
Akhir kata, kira-kira proyek yang dimulai di era Jokowi yang sudah selesai yang mana ya? Ada yang tahu?
Penulis : Ferdinand Hutahaean