Ada 34 calon kepala daerah terindikasi kuat terlibat tindak pidana korupsi 90% bakal jadi tersangka

Ada 34 calon kepala daerah terindikasi kuat terlibat tindak pidana korupsi 90% bakal jadi tersangka

PPATK me­nyampaikan 368 laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh calon kepala daerah kepada KPK. "Hasil analisanya 34 (calon kepala daerah diduga terlibat korupsi).


Ketua KPK Agus Rahardjo menebar berita waswas bagi para calon kepala daerah. Dia menyebut, ada 34 calon kepala daerah terindikasi kuat terlibat tindak pidana korupsi. Dan 90 persen dari jumlah itu, dipastikan jadi tersangka.

Agus mengungkapkan hal itu usai melakukan pertemuan penguatan kerjasama dengan PPATK di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jaksel, kemarin.

Agus menyebut, PPATK me­nyampaikan 368 laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh calon kepala daerah kepada KPK. "Hasil analisanya 34 (calon kepala daerah diduga terlibat korupsi). Itu pasti akan jadi bahan kami untuk tin­daklanjuti di KPK," tegas man­tan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKKP) itu.

"Dari ke 34 calon kepala daerah itu, 90 persennya dipas­tikan bakal jadi tersangka. Jadi bukan 90 persen untuk peserta, tapi beberapa kepala daerah itu," imbuhnya.

Namun, KPK memang butuh waktu untuk melakukan penye­lidikan sebelum menaikkannya ke tingkat penyidikan. "Kalau kami naikkan penyidikan, itu dasarnya pasti kuat salah sa­tunya informasi dari PPATK," puji Agus.

Siapa saja calon kepala daerah akan jadi tersangka? Agus belum mau membocorkan.

Tapi dalam acara Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK tentang Penanganan Korupsi dalam Pelaksaan Pilkada Serentak 2018 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, pagi harin­ya, Agus menyatakan, sebagian besar calon kepala daerah yang merupakan calon tersangka itu berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Selain itu, status tersangka mengintai calon petahana dan yang sudah berhenti dari jaba­tan lama namun mencalonkan kembali untuk jabatan yang lebih tinggi. "Ada petahana, ada sudah berhenti dari jabatan­nya tapi sekarang maju untuk pilkada pada tingkatan yang lebih tinggi," tutur Agus.

Komisi antirasuah itu melaku­kan gelar perkara untuk mem­perjelas status hukum para calon tersangka itu.

Jika memang akhirnya men­jadi tersangka, Agus ingin pen­gumuman penetapan tersangka itu dilakukan sebelum hari pe­mungutan suara berlangsung. Dengan begitu, masyarakat tidak salah memilih calon pemimpin di daerahnya.

"Kalau bisa, sebelum pemili­han berlangsung. Sehingga, tidak perlu dipilih dan masyarakat tidak kecewa atas pilihannya nanti," tandasnya.

Belakangan ini, KPK memang menangkap para calon kepala daerah. Tercatat, sudah ada enam pejabat daerah yang di­cokok KPK dalam kegiatan Operasi Tangap Tangan (OTT) pada awal tahun 2018. Pejabat daerah pertama yang tertangkap tangan di awal tahun ini adalah, Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif.

Bupati Hulu Sungai Tengah dicokok KPK setelah diduga menerima uang suap sebe­sar Rp1 miliar. Uang terse­but berkaitan dengan pemban­gunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) H. Damanhuri Barabai, Kalimantan Selatan.Kemudian, Bupati Jombang asal Partai Golkar, Nyono Suharli Wihandoko. Dia ditangkap set­elah terlibat kasus dugaan suap perizinan dan pengurusan jabatan di wilayah pemerintahannya.

Selang beberapa minggu kemudian, KPK menangkap Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae. Nyono dan Marianus diduga melakukan korupsi untuk maju di Pilkada 2018 karena ongkos untuk maju menjadi pejabat daerah lagi cu­kup mahal.

Setelah itu, giliran Bupati Subang, Jawa Barat, Imas Aryumningsih yang ditangkap tangan oleh KPK di rumah dinasnya. Politikus Golkar tersebut diduga menerima suap terkait pengurusan perizinan di wilayahnya.

Imas sudah terdaftar di KPUD sebagai calon Bupati petahana yang akan maju di Pilbup Subang didampingi oleh Sutarno sebagai wakilnya. Pasangan tersebut sudah mendapatkan nomor urut dua dan diusung koalisi Partai Golkar dan PKB.

Kemudian, Bupati Lampung Tengah, Mustafa.Dia ditangkap tangan karena diduga terlibat kasus dugaan suap pemulusan persetujuan pinjaman daerah APBD Lampung Tengah tahun anggaran 2018. Calon Gubernur Lampung ini diduga menyu­ap pimpinan DPRD Lampung Tengah untuk mendapatkan persetujuan agar mendapatkan pinjaman dari PT SMI sebe­sar Rp 300 miliar.

Uang itu rencananya akan digunakan untuk pembangunan proyek in­frastruktur di Lampung Tengah.Terakhir, Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra, dan calon Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Asrun, yang merupakan bapak dari Adriatma Dwi Putra.

Keduanya ditangkap tangan karena diduga terjerat kasus dugaan suap terkait pengadaan barang dan jasa di Pemprov Kendari. Ayah anak ini diduga ini berkomplot melakukan tin­dak pidana korupsi untuk modal kampanye Asrun yang akan maju di Pilkada serentak 2018.

Ditempat sama, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menegas­kan, Polri, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu merapatakan bari­san untuk mengantisipasi potensi dan menangani pelanggaran pi­dana selama Pilkada 2018.

Kerja sama ketiga lembaga ini diperlukan karena pelanggaran hukum jelang pilkada cenderung makin besar karena para pasangan calon akan berlomba menarik perhatian masyarakat, apapun caranya.

Menurutnya, ada dua pe­langgaran pidana berpotensi marak muncul di Pilkada 2018. Pertama, poltik uang. Kedua, penyebaran kabar-kabar berbau provokatif atau hoax. (rmol)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel