Untuk kemajuan karir, anggaplah dirimu sebagai seorang pematung yang akan terus berinisiatif melakukan hantaman, tusukan, sayatan, dan penyempurnaan terhadap karirmu
Keberhasilan seseorang, pemimpin, organisasi atau perusahaan kelas dunia dipengaruhi oleh kekuatan nilai-nilai utama yang dimilikinya.
Demikian pula dengan kemajuan suatu bangsa dan negara. Kesuksesan dan kemajuannya sangat berkaitan dengan living values (kultur masyarakat) yang yang berkembang dalam masyarakatnya, yang kemudian mereka terapkan dalam kegiatan usaha, organisasi, serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada hubungan erat antara nilai-nilai utama (Core value) yang kemudian mengkristal menjadi kultur yang hidup dalam masyarakat (living value), dengan kemajuan organisasi atau perusahaan dan bangsa atau negara.
Jepang, misalnya, negara yang memiliki “keterbatasan” sumber daya alam, ternyata dari rahim negerinya mampu melahirkan begitu banyak korporasi kelas dunia. Sebut saja Matsushita, Honda, Mitsubishi, Toyota, Mitsui, Hitachi, Sony, Toshiba, dan masih banyak lagi korporasi ternama dengan kualitas sejagad. Suatu saat negeri matahari terbit ini akan menjadi negara terkaya di dunia dengan kemajuan teknologi dan kreativitas yang selalu identik dengan jepang.
Untuk mengembangkan dan mengkristalkan nilai-nilai utama agar hidup dan terus berkembang, maka dibutuhkan kekuatan yang merupakan esensi fundamental kesuksesan sebuah perusahaan atau korporasi.
Inilah Rahasia Kekuatan tersebut…
Moralitas
Moralitas adalah nilai-nilai positif yang mengandung semangat atau spirit dalam menumbuhkembangkan perusahaan secara berkelanjutan.
Dengan Kekuatan moral ini, kekuatan bisnis para raksasa korporasi dunia akan tetap kokoh, dalam kondisi dan keadaan sesulit apapun.
Oleh sebab itu mereka tak hanya mampu bertahan dari ketidakpastian bisnis (uncertain business world), tetapi kemudian terus hidup, membesar, dan eksistensinya semakin meluas disemesta ini.
Nilai-nilai moral yang dikembangkan juga akan memberikan keseimbangan antara kebutuhan materi dan spiritual serta memberikan kenyamanan bagi para Stakeholder (Pemegang saham, karyawan, mitra kerja, dan masyarakat luas).
Matsushita menerapkan nilai-nilai spiritualitas yang diterapkan oleh Konosuke Matsushita, pendiri dan pemimpin Matsushita Group dengan motto bisnisnya “Life is not only for bread” Hidup bukanlah sekedar untuk mengejar sepotong roti, atau semata-mata mengejar harta benda.
Korporasi GE (General Electric) oleh Jack Welch dengan panduan harmoni antara kepemimpinan yang lugas dan visioner, manajemen yang sistemik, nilai budaya yang unggul, dan SDM yang mumpuni telah mengantarkan GE menjadi multinasional yang fenomenal dalam abad ke -20.
Hal berbeda justru terjadi pada Enron dan WorldCom. Pada awal abad 20, kedua perusahaan itu sempat melejit ke peringkat atas perusahaan multinasional terbaik versi fortune 500. Namun tanpa landasan nilai-nilai Moral dan attitude yang buruk, kesuksesan yang mereka raih hanyalah dalam sekejap.
Tidak berapa lama, mereka kemudian jatuh. Penyebabnya, karena Enron dan WorldCom memang dibangun tanpa pondasi nilai-nilai utama dan jiwa spiritualitas yang dalam.
Profit menjadi tujuan dan ambisi utamanya, sehingga Enron dan WorldCom lalai dalam memperhitungkan efek jangka panjang atas ambisi yang salah yang mereka gembar gemborkan setiap harinya.
Bagi mereka yang ada dalam dunia bisnis ataupun akuntansi tentu saja pengalaman pahit yang dialami Enron menjadi pembelajaran penting tentang bagaimana peran moral dalam setiap kegiatan bisnis dan pengauditan.
Dalam akuntansi pun demikian, bahwa audit bukanlah semata-mata untuk memanipulasi laporan keuangan (earning management) melainkan penuntutan kredibilitas, kompetensi, independensi, dan akuntabilitas setiap auditor.
Itulah mengapa prinsip (Transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,independensi, dan fairness) dipegang teguh oleh banyak Korporasi dunia, sehingga tak heran jika perusahaanya banyak yang sukses dalam dunia bisnis.
Attitude
When wealth is lost, nothing is lost
when health is lost, something is lost
BUT when attitude is lost EVERYTHING is lost
Attitude adalah sikap dan perilaku atau karakter yang dimiliki setiap manusia.
Apakah attitude itu bawaaan lahir ? BUKAN, Ia adalah hati yang mengekspresikan kualitas diri, datang karena pengaruh keluarga, sahabat, lingkungan, serta apapun dan siapapun yang ada disekitarnya.
Nilai ini sangat penting bagi setiap individu dalam dunia organisai atau perusahaan. Pernahkan dalam sebuah kelompok kita dengan naluri tanpa intervensi kemudian menunjuk dan meminta seseorang untuk menjadi pemimpin?
Ya benar. Lantas kenapa demikian?
Sederhana saja, orang itu kita tunjuk sebagai pemimpin karena ia berkualitas. Setiap perkataan dan tindakannya konsisten. Sehingga tak salah jika kemudian orang yang ada disekitarnya mempercayainya sebagai orang yang memiliki kapabilitas dan pengaruh (Leader).
Dalam perusahaan, Leader yang berkualitas tidak hanya mereka yang bisa merencanakan program kerja dan mengarahkan karyawannya.Lebih dari itu, mereka mampu mengeksekusi setiap visi yang direncanakan.
Karena yang membedakan antara pecundang dan leader sesungguhnya, terletak pada kemampuan mengeksekusi setiap visi yang telah ditetapkan.
Lihatlah bagaimana Apple mampu melakukan inovasi dengan berbagai produk berkualitas dengan diferensiasi yang tinggi. Steve Job sang penggagas perusahaan gadget raksasa ini bukanlah “pecundang” yang hanya berani bermimpi.
Steve punya keberanian untuk melakukan aksi dan eksekusi, menjalankan setiap inci rencana dan rancangan meskipun hambatan datang silih berganti.
Kita tentu ingat bagaimana kisah Steve saat ia dipecat dari Apple oleh dewan direksi. Rasanya sangat menyakitkan, bagaimana tidak, perusahaan yang telah ia rintis kemudian malah balik melemparnya keluar.
Pertanyaannya, apakah kemudian Steve putus asa ? Sama sekali tidak,
Ia kemudian memutuskan mendirikan perusahaan yang sama dalam dunia komputer bernama Next. Disinilah kemudian ia menuangkan segala ide kreativitasnya, menjadikan Next sebagai jawara menyaingi Apple. Alhasil Apple kembali dalam gengamannya.
Itulah Attitude, tak hanya menggambarkan seberapa baik karakter kita, namun lebih kepada penguatan diri dan seberapa lama kita berjuang dengan keras melawan tantangan, hambatan, dan tamparan kehidupan.
Sense Of Belonging
Rasa kepemilikan yang besar terhadap perusahaan dan merepresentasikannya dengan tanggung jawab yang tinggi, itulah makna dari sense of belonging.
Korporasi pada dasarnya adalah kepemilikan dalam bentuk saham. Artinya semakin besar persentase sahamnya maka semakin besar pula pengaruh shareholder (pemegang saham) nya dalam sebuah unit bisnis.
Bagi kebanyakan korporasi yang sukses, setiap pemangku kepentingan (Stakeholder) memiliki rasa kepemilikan yang besar. Artinya perusahaan bagi dia adalah aset yang harus ia pertanggung jawabkan. Tak ada kepentingan pribadi didalamnya, karena perusahaan adalah milik bersama yang harus disukseskan.
Rasa memiliki (sense of belonging) merupakan ekspresi jiwa yang penting dalam kehidupan seseorang. Rasa memiliki juga akan memiliki dampak yang nyata terlihat secara signifikan di dalam perilaku seseorang. Seseorang yang memiliki rasa memiliki akan bertindak peduli, terikat, memiliki empati, termotivasi bahkan mampu memberdayakan dirinya sendiri meskipun tidak ada stimulan.
Seorang Psikolog Amerika, Abraham Maslow, dalam papernya menuliskan bahwa sense of belonging is the third most important human need. Sense of belonging akan membentuk identitas dalam diri individu dan sebagai motivasi untuk mereka berpartisipasi dalam kelompoknya.
Dengan adanya rasa memiliki maka akan memberikan kekuatan yang luar biasa dalam tubuh perusahaan. Karena setiap unsur-unsurnya bekerja tanpa paksaan, melainkan dengan sukarela.
Itulah Tiga kekuatan yang menjadi rahasia korporasi kelas dunia dalam membangun bisnis yang sukses dan diakui eksistensinya.
Ke tiganya (Moralitas, Attitude, dan Sense Of Belonging) menjadi kekuatan fundamental dan vital, sebagai pondasi yang kokoh agar setiap perusahaan akan mampu bertahan ditengah badai dan krisis finansial.
Mari kita tengok sejenak alasan kenapa begitu banyak korporasi dinegeri kita yang jarang sekali masuk dan bersaing dalam kancah multinasional company. Apa gerangan yang terjadi?
Hilangnya Rasa Malu Di Bumi Pertiwi-Salah satu alasan kenapa perusahaan kita jarang yang bersaing secara global
Di Korea Selatan, Wali kota Pusan, Ahn Sang Young bunuh diri setelah diputuskan bersalah dengan menerima suap dari perusahaan konstruksi. Di Amerika serikat Pengusaha ternama Donald Trump, mengundurkan diri dari pencalonan presiden, hanya gara-gara satu koran yang memuat fotonya bersama dengan seorang perempuan. Padahal yang dimuat adalah foto di luar ketika Trump berkunjung ke rumah perempuan itu.
Di Jepang, seorang satpam di sebuah museum melakukan hara kiri, karena salah satu barang antik yang ada di museum itu hilang. Ia merasa malu karena tanggung jawabnya gagal dalam menjaga barang tersebut.
Bagaimana dengan rasa malu dari kebanyakan orang yang seharusnya menjadi panutan di negeri kita? Very different!
Tak jarang para pejabat negeri ini layaknya makhluk kerdil dari selokan. Berjalan dalam keramaian dengan congkak dan apatis padahal dirinya menebar bau yang tak sedap. Begitulah karakter mereka atau jangan-jangan kita.
Berjuang dengan semangat 45 mengatasnamakan rakyat dan keadilan padahal sudah jelas-jelas salah. Alih-alih mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban, namun malah maju layaknya hero dalam medan pertempuran. Sangat Ironis
Tak peduli lagi siapa kita, dia, dan mereka. Wakil rakyat jarang yang mendengarkan “kicauan” anak bangsa. Bagi mereka rakyat nomor ke sekian. Apakah orang-orang seperti ini yang akan dipakai dalam perusahaan? TIDAK
JANGAN PERNAH....jika mereka yang ada dalam perusahaan maka hancurlah perusahaan itu. Mereka adalah oknum bukan manusia. Oknum adalah sekelompok orang yang berjuang untuk kepentingan mereka. Sedangkan manusia adalah seseorang yang masih memiliki akal sehat dan jiwa yang manusiawi. Itu saja perbedaanya
Inilah negeri kita, negeri dengan mentalitas para pecundang. Dan ironisnya lagi para pecundang inilah yang “dipakai” diberbagai sektor perekonomian. Mereka “para pejuang sejati” hanya gigit jari, tak ada kesempatan.
Menurut Profesor Jalaludin Rahmat, bangsa Indonesia telah kehilangan rasa malu. Nilai-nilai moral perilaku orang Indonesia semakin terdegradasi. Padahal Rasa malu sangat penting diterapkan dalam perusahaan. Kita harus merasa malu jika berbuat salah dan melakukam hal-hal yang bertentangan dengan etika dan budaya sebuah perusahaan.
Inilah yang menjadi visi dan tugas kita kedepan sebagai generasi muda dan pemegang tongkat estafet lanjutan, yaitu menerapkan ke tiga kekuatan (Moralitas, attitude, rasa memiliki) tadi agar bangsa dan masyarakat kita semakin bermoral dan berattitude.
Sehingga pada akhirnya perekonomian akan bangkit dan korporasi kita mampu bersaing dan menjadi kiblat finansial dunia. (bursanom)