Pemerintah baru aja mengeluarkan peraturan pajak PMK (Peraturan @KemenkeuRI) 15 tahun 2018. Dimana kantor pajak bisa menentukan penghasilan atau omset peredaran bruto yang kita laporkan tiap bulan. Atas dasar gaya hidup kita dan data-data yang tersedia.
Data-data yang menjadi acuan adalah credit card, listrik, telpon biaya pesawat pinjaman bank dan berapa pembelian harta, rumah, mobil dan barang-barang lainnya.
Inti PMK No.15 Tahun 2018 tersebut adalah: Setiap Wajib Pajak minimal harus melakukan pencatatan dan/atau pembukuan atau pendataan terhadap peredaran Bruto sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
Direktorat Jendral Pajak diperbolehkan untuk menentukan penghasilan bruto Wajib Pajak dengan metode (Pasal 2):
Penelitian tunai dan non tunai (Data dan informasi lain yang dimiliki DJP – Dapat berupa data perbankan); sumber penggunaan dana (Data dan informasi lain yang dimiliki DJP – Dapat berupa data perbankan);
Satuan dan/atau volume (Data dan informasi arus barang – dapat berupa dari hasil pengamatan intelejen dan/atau pengujian arus barang); Penghitungan biaya hidup (Data dan informasi lain yang dimiliki DJP – Dapat berupa data perbankan dari penggunaan kartu kredit ditambah penambahan asset dan/atau pengamatan intelenjen);
Pertambahan kekayaan bersih (Data dan informasi lain yang dimiliki DJP – Dapat berupa movement kekayaan bersih awal dan akhir tahun berdasarkan data pihak lain seperti data developer perumahan);
Surat Pemberitahuan (SPT) atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya (data SPT dan SKP tahun sebelumnya, sehingga memungkinkan penelitian multi year); Proyeksi nilai ekonomi (dapat berupa benchmark dari trend usaha sejenis yang dijalankan oleh Wajib Pajak);
Penghitungan Rasio (dapat berupa benchmark rasio atas usaha yang tidak dapat disebandingkan, seharusnya memperhitungkan elemen ekonomi makro dan mikro negara)
Peraturan tersebut mulai berlaku 12 Februari 2018, dan atas pemeriksaan yang sedang berjalan diwajibkan untuk menggunakan metode yang sama.
Aparat Pajak bisa tentukan sendiri penghasilan WP tidaklah etis. Lewat Peraturan @KemenkeuRI (PMK) No.15/PMK.03/2018, pemerintah mengeluarkan aturan baru tentang cara lain menghitung peredaran Bruto.
Aturan ini memberikan kewenangan aparat pajak untuk menentukan penghasilan atau omzet peredaran bruto bagi wajib pajak, termasuk dari gaya hidup WP yang bersangkutan. Hal tersebut hanya akan menimbulkan polemik.
Anggota Fraksi Gerindra di @DPR_RI @HeriGunawan88 berpendapat bahwa kebijakkan tersebut adalah upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak yang ambisius sehingga menghalalkan segala cara. Untuk diketahui, target penerimaan pajak di APBN 2018 sebesar Rp.1.618,1 Triliun.
Angka itu melejit 9,9 persen dibandingkan tahun 2017 yang terpatok sebesar Rp1.472,7 Triliun. Dari penerimaan perpajakan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak sendiri harus mencapai target sebesar Rp.1.385,9 Triliun, sedangkan DJBC sebesar Rp.194,1 Triliun. @KemenkeuRI
Artinya, Direktorat Jenderal Pajak dipaksa bekerja ekstra mengejar tambahan Rp.144,1 Triliun dari target penerimaan pajak pada tahun 2017. @KemenkeuRI
Dalih pemerintahan @jokowi bahwa peredaran bruto WP termasuk dengan menilai gaya hidupnya yang tidak dapat dibaca dengan pasti dari pembukuan, tak bisa jadi alasan untuk melakukan penghitungan tak langsung peredaran brutonya. @KemenkeuRI
Ini adalah masalah psikologis. Kita tahu, kepercayaan publik terhadap petugas pajak masih rendah. Tidak semua petugas pajak itu bersih. Ada juga yang nakal. Belum lagi soal privacy di mana aparat pajak harus menilai omzet dari gaya hidupnya. Inilah yang menjadi persoalan.
Dari kacamata fiskus, aturan ini bisa dibenarkan, tapi kalau dari kacamata legalitas, kurang bisa dibenarkan karena tidak didukung dengan data yang kuat. @KemenkeuRI
Urusan pajak adalah urusan yang tidak boleh dikira-kira lewat perhitungan tak langsung. Harus akurat tanpa polemik. Kalau tidak, ini akan jadi masalah di kemudian hari. Gelombang protes kapan saja bisa terjadi. @KemenkeuRI
@jokowi
Untuk diketahui, suatu pelaporan penghasilan harus dibuktikan dengan bukti seperti faktur, nota, kuitansi, dan lain-lain. Apabila sudah ada pembukuan, metode-metode yang ada di Peraturan @KemenkeuRI ini masih tetap bisa dipakai.
Untuk pemeriksaan terhadap WP yang sudah menyelenggarakan pembukuan dengan baik, tetap dimungkinkan untuk melakukan pengujian-pengujian terhadap pelaporannya.
25. Alih-alih Wajib Pajak besar dibiarkan begitu saja meskipun data-data sudah terpublikasikan, malah ada yang sempat berganti kewarganegaraan, belum lagi kejelasan atas ribuan status WP yang masuk dalam keranjang pemeriksaan. @KemenkeuRI
@jokowi
Seharusnya ada integrasi antara @KemenkeuRI dengan penegak hukum, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan keimigarasian. @jokowi
Yang terjadi malah mengejar Wajib Pajak UMKM, sementara PP 46/2013 tentang penghasilan bruto yang mengarah ke UMKM beleid dan menimbulkan distorsi lantaran tak mendefinisikan sasaran calon kena pajak sesuai dengan undang-undang (UU) UMKM. @KemenkeuRI
@jokowi
UMKM di Indonesia mencapai 57 juta. Hanya saja itu tidak terdata secara terintegrasi, sehingga menyulitkan kontrol dan pengukuran yang lebih valid.
Lebih jauh lagi perlu dibangun database UKM yang terintegrasi dan kredibel, agar tidak menyulitkan rakyat dan UMKM.
Jadi sekali lagi kami tegaskan, tidak ada alasan bagi fiksus untuk menetapkan langsung omzet peredaran bruto karena alasan pembukuan yang tidak layak. @KemenkeuRI
Jika @jokowi mengerti, solusinya sebenarnya sederhana: Surati Wajib Pajak yang bersangkutan lalu bikin perbandingan data. Adu data. Bukan tiba-tiba langsung menghitung dengan caranya sendiri. Jangan menjadi aparat yang sewenang-wenang. @KemenkeuRI
Belum lagi perihal 'Rekening Nasabah Yang Sudah Meninggal Harus Dilaporkan'. @KemenkeuRI
Dikabarkan bahwa Lembaga keuangan wajib melaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak rekening keuangan milik nasabah yang sudah meninggal alias rekening warisan yang belum dibagi.
Anggota @DPR_RI Fraksi Gerindra @HeriGunawan88 berpendepat bahwa kebijakan tersebut dampak dari target penerimaan pajak yang terlampau ambisius—bahkan tak masuk akal. Belum lagi lebih dari 70 persen sumber pendapatan APBN kita bersumber dari pajak. @jokowi
Pajak menjadi tulang punggung penerimaan negara sehingga semua cara harus ditempuh. @jokowi menjadi kurang kreatif untuk menggenjot penerimaan dari sumber lain sehingga orang meninggal pun dikejar. @KemenkeuRI
Untuk kita semua ketahui, target penerimaan pajak di APBN 2018 sebesar Rp1.618,1 Triliun. Angka itu melejit 9,9 persen dibandingkan tahun 2017 yang terpatok sebesar Rp1.472,7 Triliun.
Ketimbang mengejar orang yang sudah meninggal, @jokowi mustinya lebih concern pada perbaikan database perpajakan nasional, termasuk rasio pajak. @KemenkeuRI
Target penerimaan pajak yang tak masuk akal di tengah rasio pajak yang rendah menjadi tanda lemahnya sistem database perpajakan nasional. @KemenkeuRI
Untuk kita semua ketahuii, rasio pajak nasional ada di angka 11 persen. Padahal sebagai negara dengan kategori lower middle income countries seharusnya rata-rata rasio pajaknya mencapai 17 persen.
Lemahnya database perpajakan membuat rasio pajak kita akan terus menurun. Masih banyak pekerja informal di Indonesia yang notabene tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Jumlahnya mencapai 70 persen sehingga hanya 30 persen, setidaknya yang bisa menjadi objek pajak.
Jadi lucu mendengar pemerintahan @jokowi yang menggenjot Wajib Pajak yang sudah meninggal di saat potensi penerimaan pajak belum dikelola secara optimal. Mengejar orang hidup saja susah, apalagi orang yang sudah meninggal. @KemenkeuRI
Seharusnya @jokowi mengerti, ketimbang mengejar orang yang sudah meninggal, pemerintah sebaiknya concern pada, misalnya, praktek perusahaan multinasional yang memanfaatkan aktivitas lintas batas untuk menghindari pajak suatu negara. @KemenkeuRI
Ketimbang mengejar orang yang sudah meninggal, @jokowi mustinya lebih memprioritaskan untuk mengusut pengemplang pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri dan penggelapan pajak oleh perusahaan asing (PMA). @KemenkeuRI
Untuk kita semua ketahui, aset yang disimpan di Singapura saja mencapai Rp2.600 triliun, sedangkan yang mengikuti program pengampunan pajak disebut-sebut tidak sampai 50 persen.
Belum lagi perusahaan asing yang melakukan penggelapan pajak. Dilaporkan bahwa tahun 2013 saja terungkap ada 4000 PMA dari 7000 PMA yang telah merugikan negara triliunan rupiah dengan cara melaporkan rugi dari tahun ke tahun.
Jadi sekali lagi kami mengingatkan, Pemerintah jangan terlalu mematok penerimaan pajak yang sudah tidak masuk akal sehat, sehingga akhirnya mencari jalan realisasi yang tidak masuk akal sehat juga. @KemenkeuRI @jokowi
Jika jumlah rasio utang Indonesia saat ini sebesar 27% saja dari Gross Domestic Product (GDP) yang sekitar Rp 13.000 triliun, maka setiap masyarakat di Indonesia memiliki utang sebesar US$ 997 per kepala (Rp 13 juta).
Ancaman tidak dapat melunasi hutang, masih bisa saja menghantui Indonesia. Inilah yang terjadi pada Yunani pada Juni 2015 lalu. https://t.co/MJCGIeExNi— Partai Gerindra (@Gerindra) March 6, 2018
Tak satu pun menyangka salah satu negara maju asal para filsuf klasik akan mengalami kebuntungan akibat tak dapat membayar utang IMF sebesar Rp. 22 triliun. https://t.co/MJCGIeExNi— Partai Gerindra (@Gerindra) March 6, 2018
Judul asli pada twitter :Walaupun sudah mendapat kucuran dana IMF sejak 2010 sebanyak 2400 euro atau Rp. 3500 triliun, Negeri tersebut tetap saja bangkrut. https://t.co/BlGTT3edVA— Partai Gerindra (@Gerindra) March 6, 2018
Target Pajak @jokowi Tidak Masuk Akal, @KemenkeuRI Keluarkan Peraturan Sewenang-wenang