Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mendukung wacana pembentukan Pansus Angket terkait Tenaga Kerja Asing (TKA). Menurutnya, penerbitan Perpres Nomor 20/2018 tentang TKA oleh Joko Widodo jelas melanggar UU.
"Pansus angket untuk menginvestigasi diperlukan," ujar Fahri saat dihubungi, Kamis (19/4).
Fahri menganggap pembentukan pansus angket lebih efektif menyelidiki dugaan sebuah peraturan melanggar UU daripada sekedar melalui rapat kerja atau interpelasi.
Melalui pansus, DPR diklaim bisa memanggil semua pihak yang bertanggungjawab atau berlakunya sebuah peraturan.
Terkait dengan keberadaan pekerja asing, Fahri melihat sampai saat ini sudah banyak berdatangan ke Indonesia sebelum Perpres Nomor 20/2018 berlaku. Para tenaga kerja asing itu ditempatkan di pabrik-pabrik baru di beberapa lokasi, salah satunya di tengah hutan.
"Itu membuat anggota DPR perlu melakukan investigasi yang lebih lanjut. Levelnya memang angket," ujarnya.
Di sisi lain, Fahri tidak sepakat dengan klaim Setkab Pramono Anung yang mengklaim Prepres TKA hanya untuk tenaga kerja asing dengan jabatan tertentu.
Sebab, saat melakukan tinjauan ke lapangan, Fahri melihat banyak TKA yang dipekerjakan sebagai buruh.
"Sama saja (untuk semua TKA). Saya sudah cek di lapangan, buruh itu. Sudahlah jangan bohong," ujar Fahri.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengusulkan DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) mengenai tenaga kerja asing.
"Jadi, bila perlu nanti kita usulkan untuk dibentuk Pansus mengenai tenaga kerja asing, agar lebih punya taring. Bahaya sekali jika pemerintahan ini berjalan tanpa kontrol memadai," kata Fadli Zon di akun twitter resminya @fadlizon, Kamis (19/4). (DAL)
Pelonggaran TKA Gerus Lapak Ratusan Ribu Pekerja Lokal
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memprediksi ratusan ribu pekerja asli Indonesia berpotensi kehilangan pekerjaan seiring pelonggaran ketentuan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Tanah Air.
Pelonggaran tersebut dilakukan melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA.
Ketua Harian KSPI Muhammad Rusdi menyayangkan aturan ini terbit ketika jumlah karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus bertambah, khususnya di sektor otomotif, elektronik, farmasi, keramik, dan ritel. Ia kian miris lantaran aturan ini dikeluarkan kala negara lain, seperti Amerika Serikat (AS) justru memproteksi negaranya dari TKA.
"Ini akan mengancam tenaga kerja lokal dan kedaulatan Indonesia. Banyak PHK (saat ini), mencari pekerjaan sulit. Ujung-ujungnya menjadi ojek online," ujar Rusdi di Jakarta, (17/4).
Berdasarkan data yang dimiliki Rusdi, mayoritas TKA saat ini bekerja di perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan infrastruktur. Adapun kemudahan bagi TKA bekerja di Indonesia, diberikan dalam bentuk kemudahan pengajuan rencana pengajuan tenaga kerja asing (RPTKA) dan izin penempatan tenaga asing (IPTA).
"Substansinya pemerintah menghilangkan IPTA, jadi kalau dulu izin dipersulit sekarang mengajukan visa tinggal terbatas (vitas) dua hari selesai. Prosedur dipangkas jadi sangat mudah," papar Rusdi.
Ia menyebut empat syarat yang sebelumnya wajib dimiliki oleh TKA kini sudah dihilangkan. Beberapa syarat yang dimaksud, yakni berkompeten, memiliki kemampuan bahasa Indonesia, perizinan, dan rasio 1:10.
Sebagai informasi, data Kementerian Ketenagakerjaan jumlah TKA yang masuk ke Indonesia per Maret 2018 berjumlah 126 ribu. Jumlah tersebut naik 69,85 persen dari posisi 2016 yang hanya 74.813. (agi)