Muncul wacana Hak Angket DPR untuk mempertanyakan Perpres No 20/2018 tentang penggunaan TKA yang diterbitkan oleh Presiden Jokowi. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan siap ikut dalam wacana angket itu. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko lalu menanggapi wacana tersebut.
"Kecenderungan dari kita itu kalau tenaga kerja asing itu berfokus pada China, padahal kan tenaga kerja asing bukan hanya dari China," ujar Moeldoko saat wawancara dalam acara Prime News pada Senin (23/4/2018) malam.
Dia menjelaskan, perpres yang diteken Jokowi bermaksud untuk memberikan kepastian bagi investor asing. Sebelumnya perizinan diurus dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, kini diberi waktu maksimal 2 hari.
Menurut Moeldoko, biasanya investor asing juga membawa ahli dari negaranya. Ketika proses perizinan berlangsung lama, maka bisa mengganggu investasi.
"(Dalam Perpres 20/2018) disebutkan jelas nggak ada pekerjaan yang kasar (untuk TKA), ada pekerjaan yang memiliki jabatan. Hanya begini, kita sering terkecoh dengan gambar, mereka kan datangnya nggak pakai dasi, sehingga orang menginterpretasikan sebagai tukang sapu," kata Moeldoko.
Lebih lanjut, Moeldoko mengatakan bahwa investor yang menyuntikkan dana untuk proyek di Indonesia dikejar oleh waktu. Sehingga pemerintah membuat aturan untuk mempercepat perizinan. Dalam perpres pun tertulis jelas bahwa TKA tak boleh menempati jabatan personalia.
"Suatu saat saya pernah turun lihat ke Ketapang, ada pabrik alumina, dia ceritakan South Tower ini dibangun orang China seminggu selesai, begitu dibangun orang Indonesia, 3 bulan nggak selesai, itu faktual," kata Moeldoko.
Berapa Jumlah TKA di Indonesia ?
Moeldoko memang tak menjabarkan detail soal jumlah TKA di Indonesia. Dia lantas membandingkan dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
"Kadang kita jadi bangsa tidak fair, seperti ketakutan. Tenaga kerja kita di luar berapa sih? Di Saudi berapa? Hong Kong berapa? Makau? Berikutnya di berbagai tempat itu jutaan termasuk Malaysia 2 juta," papar Moeldoko.
Moeldoko tak mau mengaitkan apakah isu TKA ini sengaja digulirkan jelang Pilpres 2019. Dia lalu mengaitkan isu tenaga kerja dalam konteks hubungan internasional.
"Kalau kita bicara konteks hubungan nggak boleh menang-menang sendiri dong," kata dia.
Soal data detail jumlah TKA di Indonesia diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri dalam kesempatan terpisah. Dia juga membandingkan dengan jumlah TKI di luar negeri.
"TKA China sampai 2017 hanya 24.800 orang," kata Hanif dalam acara Forum Merdeka Barat (FMB) 9 di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (23/4).
Sementara itu total TKA secara umum dari berbagai negara di Indonesia jumlahnya 85.974 pada 2017, 80.375 pada 2016 dan 77.149 pada 2015. Menurutnya angka ini tak sebanding dengan jumlah tenaga kerja asal Indonesia di luar negeri.
"TKI di negara lain, besar. TKI kalau survei World Bank, ada 9 juta TKI di luar negeri, 55% di Malaysia, 13% di Saudi Arabia, 10% di China-Taipei, 6% di Hongkong, 5% Singapura," jelasnya.
Dia juga memaparkan data dari BPS. Dari data tersebut ada sekitar 160 ribu TKI di Hongkong, 20 ribu di Macau, dan 200 ribu di Taiwan.
"Makanya, bukan China yang menyerang Indonesia, tapi kita yang menyerang China," sebutnya. (ndt)
Pemerintah selalu saja berdalih ada jutaan TKI kerja di LN, negara lain tdk protes, kok kita protes membanjirnya TKA ke sini. Mereka tdk protes karena mereka butuh TKI kita. Kita protes karena kita tidak butuh TKA. Disini msh banyak yg miskin dan nganggur, untuk apa TKA?
— Yusril Ihza Mahendra (@Yusrilihza_Mhd) April 25, 2018
Nasdem Bakal Halangi Pembentukan Pansus TKA
Isu tentang membanjirnya tenaga kerja asing (TKA) asal China terus menggelinding. Terlebih setelah terbitnya Perpres Nomor 20/2018. Di DPR, ada wacana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) TKA.
Melihat hal ini, Nasdem, sebagai partai pendukung Pemerintah, langsung bersikap. Nasdem mencoba menghalangi pembentukan Pansus ini.
Anggota Fraksi Nasdem di Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, menyarankan rekan-rekannya untuk memanggil Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri terlebih dulu sebelum membentuk Pansus. Kata dia, pemanggilan itu penting untuk mengklarifikasi isu yang selama ini beredar.
"Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya memanggil Menaker untuk tabayun (klarifikasi). Di tahun politik ini, jangan juga semua masalah dipolitisasi tanpa mendengarkan penjelasan dengan data, kata Irma, kemarin (Selasa, 25/4).
Menurutnya, pembentukan Pansus juga tidak bisa sembarangan. Pembentukan itu harus ada persetujuan dari fraksi-fraksi di DPR. Usulan Pansus itu juga harus disahkan lewat Rapat Paripurna DPR.
Mengenai Perpres Nomor 20/2018, Irma mengaku sudah mendalaminya. Ia berkesimpulan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Perpres tersebut. Isi Perpres tersebut tidak seperti yang sebagian orang duga, yang itu memperudah TKA asal China masuk Indonesia.
"Perpres tersebut sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab, implementasinya nanti diatur oleh Peraturan Menteri (Permen) secara detail. Jadi, lihat dulu Permennya, baru ribut. Jangan belum apa-apa kita sudah alergi, ungkap Irma.
Dia setuju, memang harus ada kontrol yang tegas terhadap masuknya TKA yang tidak sesuai prosedur. Irma pun meminta bupati/wali kota dan gubernur bertindak tegas menolak TKA yang bekerja tidak seusai prosedur dan aturan yang ada. "Usir saja mereka. Jangan mau disogok,รข€ tandasnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo ikut bicara. Dia menganggap, pembentukan Pansus TKA tidak mendesak. Dia justru mengajak para koleganya untuk menjaga iklim kondusif politik nasional.
"Belum ada yang mendesak, apalagi dibuat sebuah (Pansus) Hak Angket. DPR akan mengakhiri masa sidang kali ini pada Kamis. Kemudian kita memasuki pelaksanaan Pilkada. Kita harus menjaga iklim politik tetap kondusif," kata politisi yang akrab disapa Bamsoet ini.
Mengenai Perpres Nomor 20/2018, Bamsoet menyatakan bukan untuk mempermudah masuknya TKA, melainkan menyederhanakan tahapan. Menurutnya, di era digitalisasi dengan komputerisasi saat ini, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang lebih sederhana. "Jadi, bukan mempermudah. Pengetatan masih sama seperti yang sebelumnya," ujarnya.
Bamsoet akan mendorong agar permasalahan TKA itu ditangani dan didalami Komisi IX DPR dengan memanggil pihak-pihak. Dengan begitu, tidak perlu membentuk Pansus. (sam)