Sejak 1986, setiap tanggal 1 mei selalu diperingati hari buruh internasional. Semua buruh turun ke jalan menyuarakan tuntutan mereka baik terkait upah ataupun jam kerja. Mereka menuntut agar para majikan atau pemilik perusahaan serta penguasa negeri ini lebih memperhatikan nasib mereka, memberikan kesejahteraan yang layak untuk mereka sebagai rakyat.
Namun, fakta menunjukkan selama tiga puluh enam tahun perayaan may day tersebut nyatanya tak membawa dampak berarti bagi kesejahteraan kaum buruh khususnya perempuan. Walau telah berkerja dengan keras dan giatpun tak banyak buruh yang bisa keluar dari garis kemiskinan.
Berkerja namun uangnya habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang kian meningkat, dengan gaji yang tak mencukupi ditambah lagi dengan adanya potongan-potongan terkait asuransi kesehatan misalnya, kian berkurang pendapatan mereka dan bertambah jatuh bangun para buruh menjalankan kehidupannya.
Tapi lagi dan lagi pemilik kebijakan seolah lupa dan buta dengan nasib rakyat yang menjadi amanah mereka. Regulasi kebijakan yang para penguasa keluarkan pun melalui undang-undang tak khayal membuat nasib kaum buruh kian terpuruk.
Tak ada keberpihakan penguasa kepada nasib mereka, yang ada hanya upaya mencari keuntungan oleh penguasa dari pemilik modal alias para kapital. Dikutip dari halaman merdeka.com "Mutu kehidupan bruuh belum ada yang berubah, sampai sekarang. Enggak ada perubahan sama sekali" ujar Ketua Dewan Buruh (Jakarta, 28/4).
Impor TKA Membawa Bencana Atas Nasib Buruh
Setelah utang, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) kini menjadi perdebatan. Bagaimana tidak, saat warga Negara asli negeri ini masih kesulitan mencari lapangan pekerjaan, pemerintah dengan segala kebijakan rusaknya justru membawa masuk para pekerja asing dari negeri tirai bambu alias China.
Dimana, berdasarkan hasil survey dari Kementrian Tenaga Kerja atas jumlah masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia sungguh sangat fantastis. Tercatat sampai saat ini TKA mencapai 126.000 orang atau meningkat sebanyak 69.85% dibandingkan akhir 2016 lalu sebanyak 74.813 orang. Mayoritas pekerja tersebut benar berasal dari China.
Dan masuknya tenaga kerja asing ke negeri ini dengan dalih dapat meningkatkan kesejahteraan negeri dengan dalih investasi asing meningkat, otomatis akan adanya pembangunan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang ada hanyalah kebohongan nyata, lip service penguasa untuk rakyat.
Alih-alih sejahtera, masyarakat kian terpuruk perekonomiannya, tingkat pengangguran semakin tinggi, angka keluarga miskin tak terhitung lagi jumlahnya dan nasib buruh asli negeri semakin keruh dan terpuruk.
Inilah output dari penerapan sistem kapitalis dalam bingkai rezim neoliberalisme, penguasa yang lebih mengutamakan asing daripada warga negaranya sendiri. Neoliberalisme yang memegang prinsip menolak campur tangan Negara dalam hal pengaturan perekonomian dan menyerahkan semuanya secara penuh kepada para pemilik modal atau para capital, inilah yang menjadi kunci kehancuran perekomian negeri.
Hilangnya kesejahteraan rakyat, karena negara hanya akan berkerja dan mengeluarkan kebijakan atas perintah para pemilik modal tadi. Dan impor tenaga kerja asing yang berhulu dari MEA juga merupakan hasil dari permintaan para pemilik modal melalui pengesahan Perpres beberapa waktu lalu.
Lagi dan lagi penerapan sistem kapitalisme ternyata memang benar tak akan pernah membawa kesejahteraan apalagi ketentraman bagi rakyat dalam kehidupan bernegara. Segala kebijakan yang penguasa terapkan hanya membawa bencana kesengsaraan hidup semata.
"Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin" inilah mungkin gambaran yang pantas akan kehidupan saat ini. Ketimpangan social terlihat jelas, berkerja sekeras apapun bagi rakyat kelas menengah ke bawah tak akan mampu mengubah perekonomian keluarga.
Bukan hanya persoalan gaji kecil semata, tapi kebutuhan yang kian meningkat dengan harga barang terus melonjak naik sebab segala subsidi telah dicabut oleh rezim dictator saat ini.
Penulis : Tri Wahyuningsih
Kiriman dari Media Oposisi