Empat tahun berkuasa, Presiden Joko Widodo kembali gagal mewujudkan nilai tukar rupiah di level Rp. 10.000 per dolar AS.
Saya sudah berkali-kali mengingatkan dan menulis bahwa sepanjang tahun 2018 ini rupiah cenderung akan melemah. Mungkin saja ada waktu-waktu tertentu rupiah seperti menguat tetapi itu hanya sementara saja dan selanjutnya akan melemah lagi.
Jadi kalau ditarik garis lurus atau berjangka relatif panjang, pergerakan rupiah akan terus melemah. Rupiah kalau Menguat sifatnya sementara saja misalnya karena bunga rupiah dinaikkan atau dolar pas melemah karena faktor yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi Indonesia, atau karena sedang ada intervensi di pasar valas oleh BanK Indonesia dan lain-lain.
Tetapi semua "obat kuat" itu bukannya tidak berisiko. Menaikkan bunga akan memberatkan perekonomian kita dan semakin sulit bersaing dengan negara lain. Intervensi valas akan menggerus cadangan devisa kita yang terus menurun.
Karena inti melemahnya rupiah adalah supply dolar atau pemasukan dolar ke ekonomi Indonesia lebih kecil dari demand atau permintaan atau kebutuhan akan dolar, maka rupiah melemah. Dalam bahasa ekonominya adalah karena defisit transaksi berjalan Indonesia tahun ini diperkirakan 25 miliar dolar AS. Defisit atau ketekoran inilah sumber utama melemahnya rupiah terhadap dolar.
Jadi jangan bingung atau terus-menerus menyalahkan ekonomi global dan sebagainya. Defisit transaksi berjalan ini terjadi karena Neraca Perdagangan (ekspor minus impor barang dagangan) kita defisit. Begitu pula Neraca Transaksi Jasa yang deficit.
Pemerintah mencoba menutupi defisit valas ini dengan banyak cara antara lain dengan menarik utang valas atau hot money lainnya. Ini bukan cara yang sehat dan bahkan bisa semakin terjerumus. Fundamental ekonomi yang lemah ini juga diikuti dengan defist APBN. Jadi praktis ekonomi Indonesia ini defisit atau tekor dari semua jurusan. (FUAD BAWAZIER)
Rupiah Kian Terpuruk, Jokowi Akan Sulit Pertahankan Kursi Presiden
Empat tahun berkuasa, Jokowi kembali gagal mewujudkan nilai tukar rupiah di level Rp. 10.000 per dolar AS.
Yang ada saat ini nilai tukar rupiah malah anjlok hingga menyentuh angka Rp. 14.410 pers dolar AS. Kondisi ini tentu tidak baik karena efek domino yang ditimbulkan sangat luas.
Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) Jajat Nurjaman mengatakan, jika dibiarkan terus naik bahkan hingga mencapai level Rp 15 ribu maka ekonomi nasional sudah masuk dalam kategori bahaya.
"Dasarnya adalah daya beli masyarakat akan terus menurun akibat mahalnya harga barang-barang, selain itu, yang patut diwaspadai adalah munculnya gelombang PHK akibat banyaknya perusahaan yang gulung tikar karena bahan baku yang dibutuhkan sangat mahal," tutur Jajat dalam keterangannya kepada redaksi, Sabtu (30/6).
Menurutnya, di satu sisi pemerintah masih berkeyakinan pembelanjaan besar-besaran yang dilakukannya pada bidang infrastuktur akan menjadi salah satu penunjang kuatnya fondasi ekonomi nasioal. Akan tetapi fokus terhadap infrastruktur adalah keliru jika mengabaikan kondisi perekonomian yang menimpa rakyat saat terutama akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, lanjut Jajat, rasanya sulit mempercayai semua argumen yang dilontarkan oleh pemerintah mengingat efek dari keterpurukan rupiah terhadap dolar sudah mulai dirasakan oleh sebagian masyarakat terutama perusahaan yang masih mengandalkan bahan bakunya impor.
"Mengingat tahun ini sudah memasuki tahun politik jika tidak ada perubahan lebih baik, akan sulit bagi Jokowi mempertahankan kekuasaannya, karena segudang prestasi infrastruktur tidak akan berarti di mata masyarakat jika harga-harga tetap melambung tinggi," tutupnya. (rus)