Pada gelaran aksi persaudaraan alumni 212, salah satu tuntutan peserta aksi adalah pencopotan Menristekdikti radikal. Tuntutan itu, melengkapi tuntutan lainnya berupa tuntutan proses hukum terhadap para Penista agama, tolak PJ Gubernur Jabar, tuntut proses tuntas kasus E KTP dan tuntutan pembebasan para aktivis Islam.
Tuntutan copot Menristekdikti didasarkan pada beberapa pertimbangan, diantaranya :
Pertama, Menristekdikti dipandang radikal dan arogan, mengumbar sanksi penjabat di lingkungan ASN secara terbuka, padahal dugaan pelanggaran baru sebatas pelanggaran etik. Pelanggaran itupun, sebatas tuduhan sepihak dengan dalih narasi isu radikalisme kampus.
Padahal, pejabat ASN adalah pejabat negara yang menjankan tugas dan fungsi negara. Seharusnya, ASN mendapat perlindungan dan pengayoman dari negara, teguran secara mendidik wajib dilayangkan secara privat dan langsung, tanpa mengimbaunya keruang publik.
Dengan melakukan monsterisasi isu radikalisme kampus, mempublikasikan serangkaian aksi dan tindakan pemberian sanksi pada ASN, membuat kampus menjadi ruang angker dan penuh ketegangan.
Teror dan ancaman yang dituduhkan satu pihak keatas pihak lainnya, akan menjadi perilaku yang lazim. Padahal, dunia kampus adalah dunia ilmu, ruang akademik. Ruang dimana setiap insan sivitas akademika, saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya.
Kedua, tindakan Menristekdikti yang memberi sanksi melalui Rektorat atas kebebasan mimbar akademik, menyampaikan aspirasi dan pendapat berbasis nilai dan keilmuan, adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk kasus Prof. Suteki misalnya, Menristek dikti mengancam agar sang profesor memilih NKRI.
Sungguh, satu tudingan tidak berdasar ketika seorang profesor pengajar Pancasila selama 24 tahun, di persekusi dengan ungkapan untuk memilih NKRI. Bukankah ini tudingan terhadap kredebilitas sang profesor ?
Jika dasar yang dijadikan pijakan, adalah kehadiran sang profesor sebagai ahli dalam forum pengadilan, baik di Mahkamah konstitusi atau pengadilan tata usaha negara Jakarta, bukankah aktivitas itu justru untuk menunaikan kewajiban tri Dharma pendidikan tinggi ? Bukankah aktivitas itu adalah aktivitas forum ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan ?
Terlebih lagi, jika opsi kembali ke NKRI dilayangkan atas keistiqomahan sang Profesor yang tegas berpendapat Khilafah adalah ajaran Islam, bukankah ini bagian dari ekspresi menjalankan hak kebebasan berpendapat ? Apalagi ini pendapat seorang profesor, bukanlah lebih layak disebut pendapat ketimbang suara orang kebanyakan ?
Memang benar, tidak semua orang berpendapat sama dengan profesor Suteki. Namun, ketika profesor Suteki memilih pendapat Khilafah ajaran Islam bukankah itu dijamin konstitusi ? Apakah, konstitusi mewajibkan rakyat memiliki kesatuan pendapatan? Apakah konstitusi mengharamkan perbedaan pendapat ?
Ancaman Menristekdikti bukan isapan jempol, pihak rektorat Undip Semarang telah menindaklanjuti dengan memberian sanksi kepada Prof Suteki. Tidak saja sanksi akademik dan pembebastugasan dari jabatan, penarikan berbagai fasilitas jabatan. Tetapi juga sanksi sosial.
Seorang profesor gaek, pengajar Pancasila kini teralienasi di kampusnya sendiri tempat dia mengajar. Seluruh pandangan mata, mengumbar aksara acuh dan melihat sang profesor laksana pelaku kejahatan terhadap negara. Luar biasa !
Ketiga, persoalan radikalisme itu cenderung politis. Radikalisme hingga saat ini tidak memiliki definisi baku. Radikalisme juga tidak memilki payung hukum yang jelas. Radikalisme selalu diarahkan kepada umat Islam yang menginginkan kembali kepada syariah Islam secara kaffah.
Jika tindakan radikal itu dilakukan OPM, yang secara tegas anti NKRI, anti Pancasila, ingin mendirikan negara yang terpisah dari NKRI, tidak ada satupun pernyataan negara yang menyebut gerakan OPM radikal.
Sementara dosen dan mahasiwa yang menginginkan taat kepada Allah, kembali pads ajaran syariat Islam yang kaffah, memberikan keterangan di forum resmi pengadilan dengan menegaskan Khilafah ajaran Islam, dituding radikal.
Dosen dan mahasiswa yang menginginkan Islam kaffah ini tidak membawa senjata, tidak menggunakan kekerasan, tidak membunuh atau merusak fasilitas publik, tidak ingin memisahkan diri dengan mengenai negara sendiri, tidak melakukan tindakan radikal seperti yang dilakukan OPM.
Mereka hanya berdakwah, menyampaikan kebenaran dari Allah SWT kepada umat dan penguasa. Tidak memaksa, tidak pula mengancam.
Keempat, menteri yang membuat kebijakan radikal, yang menebar teror dan ancaman dilingkungan kampus, memerintahkan pemberian sanksi kepada sivitas akademika dengan dalih radikalisme harus diberi sanksi.
Sanksi politik yang perlu dan segera adalah mencopot sang menteri. Adapun sanksi hukum, biarlah Komnas HAM menuntaskan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan sang menteri.
Pasca rapat dengan Menristekdikti, rektor unes Semarang mengeluarkan Surat Instruksi untuk mengawasi aktivitas dosen dan mahasiswa dengan mewajibkan pendataan akun sosmed terkait isu radikalisme kampus. Ironis, lembaga yang menjunjung tinggi nilai dan ilmu justru mengekang kebebasan ekspresi kampus dengan melakuan pemantauan aktivitas sosmed.
Jadi, sangat tepat jika Menristekdikti dicopot dari jabatannya. Tindakan ini, akan menjadi preseden pembelajaran kepada pejabat negara untuk tidak serampangan membuat kebijakan tanpa mengindahkan hukum dan peraturan.
Pejabat negara, juga tidak boleh sekehendak hati mengumbar pernyataan kepada publik, tanpa mengukur dengan nilai dan etika melindungi bawahan, sebagai bagian dari perbaikan kinerja organisasi.
Sekali lagi, copot Menristekdikti. Lindungi dosen dan mahasiswa dari radikalisme Kemenristekdikti. Sterilisasi kampus, dari pengaruh intervensi kekuasaan.
*Penulis : Ahmad Khozinudin, S.H.