Ekonom: Defisit Neraca Perdagangan 2018 Terburuk Sepanjang Sejarah

Ekonom: Defisit Neraca Perdagangan 2018 Terburuk Sepanjang Sejarah

Buruknya kinerja perdagangan tahun 2018 didorong oleh dua sisi, yakni anjloknya pertumbuhan ekspor serta akselerasi impor yang tajam. Ekspor hanya tumbuh 6,7 persen, jauh di bawah performa tahun 2017


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit sebesar USD 1,10 miliar pada Desember 2018. Angka ini lebih kecil dari November yang sebesar USD 2,05 miliar. Sementara untuk sepanjang 2018 Indonesia defisit sebesar USD 8,57 miliar.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisalmenyatakan bahwa defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 merupakan rekor kinerja perdagangan terburuk sepanjang sejarah, lebih buruk dibanding defisit yang terjadi pada tahun 2013 yang mencapai USD 4 Miliar.

"Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan defisit di bulan sebelumnya yang mencapai USD 2 Miliar, secara kumulatif sepanjang 2018 defisit perdagangan Indonesia telah mencapai USD 8,6 Miliar," ungkap Faisal dalam keterangan kepada Merdeka.com, Selasa (15/1).

Buruknya kinerja perdagangan tahun 2018 didorong oleh dua sisi, yakni anjloknya pertumbuhan ekspor serta akselerasi impor yang tajam. Ekspor hanya tumbuh 6,7 persen, jauh di bawah performa tahun 2017 yang tumbuh sampai 16,2 persen.

"Sementara impor malah mengalami akselerasi dari 15,7 persen pada 2017 menjadi 20,2 persen di tahun 2018," kata dia.

Menurut dia faktor pendorong penting dari lonjakan defisit perdagangan di 2018 adalah pelebaran defisit di sektor migas yang mencapai USD 12,4 Miliar. Peningkatan harga minyak dunia hampir di sepanjang 2018 telah mendorong lonjakan impor minyak negara-negara net-importir minyak seperti Indonesia. Impor migas Indonesia melonjak dari USD 24,3 Miliar pada 2017 menjadi USD 29,8 Miliar 2018, atau tumbuh 22,6 persen.

"Idealnya saat harga minyak dunia meningkat, tidak hanya berdampak pada kenaikan impor minyak, tetapi juga pada peningkatan ekspor minyak. Uniknya, dampak kenaikan harga minyak terhadap peningkatan ekspor minyak jauh lebih kecil dibandingkan impor minyak," paparnya.

Manakala harga minyak dunia naik 37,3 persen sepanjang JanuariOktober 2018 (yoy), pertumbuhan nilai impor minyak ikut terkerek 36,8 persen pada periode yang sama. Sayangnya, ekspor minyak hanya mengalami kenaikan 2,3 persen.

Hal ini disebabkan perbedaan komposisi ekspor dan impor minyak Indonesia. Ekspor minyak Indonesia didominasi minyak mentah (75,7 persen terhadap total ekspor minyak) yang harganya lebih murah dibanding minyak olahan. Sebaliknya, 66 persen dari impor minyak adalah minyak olahan.

"Kemudian pada saat harga minyak turun -4 persen selama NovemberDesember 2018 (yoy), ekspor minyak turun lebih tajam -23 persen, sementara impor minyak malah tumbuh 3,5 persen pada periode yang sama (yoy)," jelas Faisal.

Selain migas, sektor nonmigas juga menghadapi masalah yang tak kalah serius. Walaupun masih surplus, terjadi penciutan tajam surplus nonmigas dari USD 20,4 Miliar pada 2017 menjadi USD 3,8 Miliar pada 2018, atau kontraksi sebesar 81,4 persen. "Penciutan surplus nonmigas ini juga didorong oleh dua sisi, pertumbuhan ekspor nonmigas yang jauh lebih lambat, sementara impor justru mengalami akselerasi tajam."

Sepanjang 2018, impor nonmigas tumbuh 19,8 persen, jauh lebih cepat dibanding 2017 yang mencapai 13,4 persen. Peningkatan impor memang banyak dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah, yang selama 2018 terdepresiasi 7,3 persen.

"Namun pelemahan Rupiah bukan satu-satunya pendorong lonjakan impor. Volume impor nonmigas juga mengalami lonjakan sebesar 11 persen sepanjang 2018, lebih pesat dibanding pertumbuhan volume impor tahun 2017 yang hanya 6,4 persen. Ini menunjukkan peningkatan permintaan domestik belum mampu diimbangi dengan produksi dalam negeri," tegas dia.

Dia menambahkan, memang 75 persen dari impor adalah bahan baku/penolong dan 15,9 persen adalah barang modal yang dibutuhkan untuk kegiatan produktif di dalam negeri. Namun akselerasi impor ternyata tidak hanya terjadi pada kategori barang produktif, tetapi juga pada kategori barang konsumsi.

"Bahkan impor barang konsumsi justru tumbuh paling cepat, dari 14,7 persen pada 2017 menjadi 22 persen pada 2018, sementara bahan baku/penolong serta modal masing-masing hanya tumbuh 20 persen dan 19,5 persen pada 2018," tandasnya. (azz)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel