Ruang jabatan untuk perwira TNI memang kerap dianggap sebagai persoalan. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyoroti bahwa perwira-perwira menengah dan tinggi TNI kini banyak yang menganggur atau dalam kondisi non-job. Saat ini, menurut Hadi, ada surplus sekitar 150 perwira tinggi dan 500 kolonel. Jika terserap ke kementerian atau lembaga, harapannya ada 150 hingga 200 pati yang tak lagi non-job. Untuk mengatasi hal tersebut, rencana restrukturisasi TNI dianggap sebagai hal yang mendesak.
“Tentunya [penempatan di kementerian] akan berdampak pada pangkat di bawahnya, sehingga pangkat kolonel bisa ditempatkan di sana,” kata Hadi di Mabes TNI, Jakarta Timur, Kamis (31/1/2019).
Pun begitu, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) yang juga salah seorang perumus konsep reformasi TNI pada dua dekade silam, Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo, memiliki pandangan berbeda. Menurut Agus, Panglima TNI semestinya tidak mengatasi masalah penumpukan jenderal dengan mengabaikan kepentingan para birokrat yang memiliki jenjang karier sendiri. Lagi pula, kata dia, jabatan untuk personel TNI harus diseleksi agar sejalan dengan fungsi utama tentara dalam menjaga ancaman dari luar negeri. Agus juga mengkritik otoritas sipil yang kurang percaya diri sehingga berusaha mengundang kembali tentara ke dalam sejumlah kegiatan non-pertahanan.
Sebenarnya, wacana yang dikemukakan Panglima itu muncul menyusul restrukturisasi yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap perwira TNI. Wacana tersebut baru bisa terlaksana jika ada revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, terutama menyangkut pasal 47. Revisi terhadap pasal itu akan memungkinkan perwira TNI bisa berkiprah di instansi sipil.
Selama ini, UU TNI memang membatasi tentara aktif hanya bisa menduduki jabatan dengan keterkaitan fungsi pertahanan misalnya Kementerian Pertahanan, Kemenko Polhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, dan Mahkamah Agung. Pembatasan perwira aktif di lembaga sipil ini sebetulnya bertujuan menjaga profesionalisme tentara.
Memberikan ruang-ruang jabatan baru untuk perwira TNI yang menganggur di satu sisi adalah hal penting, sepanjang tak dilarang undang-undang dan senafas dengan arus demokrasi. Akan tetapi, di sisi lain, memberikan porsi lebih kepada TNI untuk jabatan sipil di Kementerian dan Lembaga berpotensi menimbulkan riak dari masyarakat sipil. Terlebih, wacana tersebut muncul berbarengan dengan gelaran Pilpres 2019: tudingan bahwa sang petahana hendak ‘mempolitisasi’ tentara pun tak terhindarkan.
Jika diperhatikan, belakangan ini Jokowi tampaknya memang tengah melakukan upaya untuk mendekatkan dirinya dengan kalangan prajurit tanah air. Jelang Pilpres 2019, ada beragam kebijakan yang memberikan keuntungan khusus bagi kalangan militer Indonesia. Jokowi misalnya sudah menaikkan penghasilan bagi serdadu tanah air. Beberapa waktu lalu, gaji TNI beserta PNS dan Polri sudah dipastikan naik dalam APBN 2019. Tak hanya itu, mantan Wali Kota Solo itu juga menjanjikan kenaikan tunjangan kepada Bintara Pembina Desa (Babinsa) di tahun 2019.
Di tengah kondisi itu, petinggi TNI harus mewaspadai adanya motif politik pragmatis dari politisi sipil di balik restrukturisasi TNI. Sebab, kegenitan para politisi sipil untuk menarik-narik tentara ke gelanggang kekuasaan sipil memang tak pernah reda. Alih-alih menjaga netralitas dan profesionalitas tentara, yang terjadi justru sebaliknya: pimpinan sipil, termasuk Jokowi, malah secara sadar menarik kembali mereka ke tengah-tengah politik kekuasaan. Upaya ini terjadi di tengah seringnya Jokowi bicara soal netralitas aparat.
Penulis : Zainal C Airlangga/nn