Dengan disampaikannya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun 2014 oleh BPK Perwakilan DKI di Sidang Paripurna DPRD DKI, berarti kondisi keuangan Pemprov DKI Jakarta sudah bukan rahasia lagi. Kondisi keuangan dengan predikat Opini Wajar Dengan Pengecualian sudah menjadi milik publik.
Salah satu temuan yang berindikasi terjadinya kerugian negara, yaitu pembelian tanah RS Sumber Waras, BPK menemukan adanya indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Nilainya sungguh fantastis.
Mengapa? Sebab, ketika Ahok dikritisi masalah serapan APBD, dia mengatakan serapan anggaran rendah tidak masalah, dari pada dikorup dan untuk mengamankan uang rakyat. Tetapi nyatanya temuan BPK dalam pemeriksaan keuangan tahun 2014 sungguh tidak sejalan dengan alasan yang disampaikan.
Ada 38 temuan senilai Rp. 2.162.430.175.391 terdiri indikasi kerugian daerah Rp. 442.369.697.093, potensi kerugian daerah Rp.1.713.318.786.699, kekurangan penerimaan Rp.3.232.247.040, administrasi Rp. 469.507.016 dan pemborosan 3.039.937.543. Inikah yang disebut tidak dikorup atau mengamankan uang rakyat oleh Ahok?
BPK menemukan indikasi adanya kerugian keuangan daerah Rp. 191.334.550.000 dalam pembelian tanah RS Sumber Waras. Kerugian tersebut diurai dari sisi prosedur dan aturan perundang-undangan, kelayakan tanah yang dibeli, efektivitas pembelian yang berindikasi pemborosan, dan nilai NJOP yang digunakan.
Proses pembelian tanah dinilai BPK tidak sesuai dengan aturan perundangan-undangan yang terkait. Namun, Ahok membantah, sudah sesuai prosedur. Sudah ada dalam KUA PPAS-P tahun 2014, dan Dewan menyetujui. Tentu yang dimaksud BPK bukan sudah ada atau tidak adanya dalam KUA PPAS. Tetapi prosedur sebelum program pembelian tanah tersebut masuk dalam KUA PPAS itulah yang menjadi pokok masalah.
KUA atau Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS atau Plafon Prioritas Anggaran Sementara adalah pedoman untuk menyusun RAPBD. Rencana program yang masuk dalam KUA PPAS harus bisa dipertanggungjawabkan apakah sudah melalui perencanaan dan kajian sesuai Perpres No 71/2012. Di sinilah BPK menemukan adanya aturan perundangan yang dilangar.
lanjutkan disini