Seharusnya negara memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya. Siapapun dan apapun statusnya, mereka berhak mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya. Jadi keberadaan institusi bernama BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) adalah salah satu cara untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.
Sebelum BPJS dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 berdiri, telah ada beberapa program jaminan sosial, yaitu Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi tenaga kerja.
Peserta BPJS adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Pada dasarnya, semua orang, entah bekerja, karyawan, pengusaha atau bahkan pengangguran, serta keluarganya, bisa menjadi peserta BPJS, asalkan membayar iuran.
BPJS bukan jaminan kesehatan dari pemerintah. Mari kita simak beberapa kenyataan berikut ini.
BPJS didanai dari uang pribadi masyarakat, dimana masyarakat diminta menyetor sejumlah uang untuk dikumpulkan yang nantinya digunakan untuk biaya pengobatan.
BPJS menggunakan prinsip gotong-royong, seluruh uang yang disetorkan oleh anggotanya akan dihimpun oleh BPJS dimana uang tersebut dialokasikan untuk membiayai pengobatan para anggota yang sedang sakit.
Yang perlu kita sadari, mereka yang menyumbang per bulan kepada BPJS sebagian besar dalam keadaan sehat.
Analoginya, masyarakat A, B, C, D, E, F, G, bahkan sampai Z mereka membayar setiap bulan ke BPJS. Sedangkan, klaim pembayaran dari yang sakit adalah A saja. Sehingga, dana yang terkumpul dari A sampai Z akan bisa untuk biaya pengobatan A.
Banyak masyarakat yang mengira BPJS didanai dari pengalihan subsidi dari BBM ke bidang kesehatan. Masyarakat lupa bahwa tiap bulannya mereka menyetor dana minimal Rp 25.000,-/bulan.
Peserta BPJS ditaksir kini mencapai 168 juta orang, dan sebagian besar dari mereka tidak sedang sakit. (berita satu)
Dana BPJS yang dihimpun dari masyarakat yang sebagian besar tidak sedang sakit oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp.4,2Trilyun/bulan atau lebih dari Rp.50,4 Trilyun/ tahun.
Perhitunganya:
Rp 25.000 per bulan x 168.000.000 anggota = Rp 4.200.000.000.000,- per bulan
Rp 4.200.000.000.000,- per bulan x 12 bulan = Rp 50.400.000.000.000,- per tahun
Perhitungan diatas adalah uang yang dikumpulkan langsung dari masyarakat, bukan dari sektor pajak atau pengalihan subsidi BBM.
Jadi, BPJS merupakan sebuah BADAN USAHA yang fungsinya sebagai pengeruk keuntungan bagi Pemerintah, bukannya jaminan kesehatan yang dialokasikan dari dana APBN untuk masyarakat.
Hal ini didasari dari jumlah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat oleh pemerintah yang totalnya lebih dari Rp.50,4 Trilyun, sementara total klaim yang dibayarkan oleh BPJS selama satu tahun cuma Rp.37 Trilyun. (bandung bisnis)
Pemerintah selalu menyebarkan propaganda bahwa BPJS adalah subsidi kesehatan gratis dari pemerintah. Dan yang menjadi tanda tanya adalah sisa dana BPJS yang mencapai Rp.13,4Trilyun dikemanakan ????
Bohong banget kalau pemerintah mengklaim telah memberikan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat dari pengalihan subsidi, (suara merdeka)
Hingga kini sumbangan BPJS per bulan banyak diterapkan di berbagai perusahaan dan instansi. Secara wajib mereka diharuskan menjadi anggota BPJS. Entah sistem memotong gaji atau perusahaan yang menanggung sumbangan per bulannya.
BPJS didaulat untuk menjadi Badan Usaha yang bertugas memberikan keuntungan sebesar-besarnya terhadap pemerintah, maka tidak heran bila pasien peserta BPJS banyak yang dibatasi penggunaan obatnya di RS.
BPJS tidak mengcover obat-obatan yang bermutu bagus, alhasil pasien cuma mendapatkan obat-obatan ala kadarnya. Dan tidak jarang, mereka yang membeli obat dengan program BPJS harus lebih rumit prosesnya daripada yang tidak mengikuti BPJS.
Bayangkan bila pasien tidak ada uang untuk menebus resep obat yang tidak dicover oleh BPJS, mungkin bukan malah jadi sehat, pasien justru cuma bisa pasrah menahan sakit, bahkan mati.
Klaim BPJS tidaklah mudah bagi semua orang, apalagi bila pernah menunggak / tidak membayar iuran bulanan BPJS atau tidak seluruh anggota keluarga menjadi anggota BPJS, maka klaim akan lebih sulit.
BPJS adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2,
Bagi sebagian kecil masyarakat / keluarganya yang sedang sakit dan mendapatkan pengurangan biaya / pembebasan biaya dari BPJS dan kebetulan mendapatkan fasilitas dan obat-obatan yang terbaik, atau kebetulan tidak ada masalah administrasi atau pelayanan RS, maka BPJS dianggap tidak begitu menipu.
Namun, bagi sebagian besar masyarakat yang sedang tidak sakit, BPJS jelas menipu. Sebab, apa yang disetorkannnya dalam bulan ini sejatinya bukan untuk diri sendiri melainkan untuk orang lain.
Prosesnya Lebih Panjang
Dalam BPJS berlaku sistem rujukan berjenjang. Anda tidak bisa serta-merta langsung datang ke rumah sakit. Ujug-ujug langsung ke dokter spesialis.
Peserta harus datang dulu ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes I), yaitu puskesmas, klinik atau dokter keluarga, yang sudah ditunjuk oleh BPJS. Fasilitas kesehatan tingkat pertama mendiagnosa dan memberikan rujukan kepada peserta untuk ke rumah sakit yang kerjasama dengan BPJS.
Tidak Semua Rumah Sakit Bekerjasama
Tidak semua rumah sakit menerima BPJS. Rumah sakit swasta banyak yang belum kerjasama dengan BPJS. Kalau tidak kerjasama, peserta tidak bisa menggunakan jaminan kesehatan di rumah sakit tersebut.
Bila kita paham faktanya, sejatinya BPJS adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan bahwa "Negara wajib memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia", bukan rakyat yang memberikan jaminan buat rakyat.
Pasal 34 ayat 2 didalamnya, terkandung semangat untuk mengakui jaminan sosial sebagai hak seluruh warga negara, untuk memperoleh " rasa aman" sosial, sejak lahir hingga meninggal dunia. (slf, dw)