Pemerintah Cina sekarang bergembira karena sukses menyingkirkan Jepang dari proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Ratusan bahkan ribuan triliun rupiah proyek pembangunan Indonesia jatuh ke tangannya. Maka sudah sepantasnya Cina berterimakasih kepada Jokowi karena menjadi salah satu juru selamat perekonomiannya yang sedang lesu.
Bagi Cina, mendominasi mega proyek pemerintah RI sekarang ini memang bukanlah masalah besar. Bagaimana tidak, Cina kini telah menjadi sumber dana sangat penting bagi sejumlah konglomerat Indonesia, termasuk yang berada dalam pemerintahan.
Misalnya Kalla Group, yang memperoleh dana triliunan rupiah dari Cina untuk merealisasikan proyek pembangkit listrik, peleburan nikel, dan perluasan pabrik semen.
Orang kuat lainnya adalah Luhut Binsar Panjaitan, bos Toba Sejahtera Group. Ekspor ke lima perusahaan di bawah naungan Group ini, hampir sepenuhnya tergantung pada pasar Cina. Salah satu anak perusahaan Toba Group yaitu Karabu Sejahtera yang sekarang dipimpin oleh anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming.
Ada pula ketua Nasdem Surya Paloh yang telah mengakui bahwa dirinya sudah lama bersahabat dengan konglomerat dari Cina, Sam Pa, yang juga bos dari China Sonangol. Adalah Surya Paloh yang memperkenalkan miliarder Cina ini kepada Jokowi dan para petinggi Migas Indonesia.
Jepang tentu melihat kenyataan itu. Menyadari betapa kuatnya cengekraman Cina itulah yang membuat Jepang mengambil sikap tegas kepada Indonesia. Kalau selama ini Jepang suka memakai cara halus yang penuh basa basi, sekarang ‘yes or no’.
Pemicunya, sebagaimana tersirat dalam pernyataan Menteri Pertanahan, Infrastuktur, dan Transportasi Jepang Akihiro Ota adalah keputusan pemerintah RI telah memilih Cina sebagai pelaksana proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Ota telah memutuskan untuk meninjau kembali semua proyek kerja sama Indonesia-Jepang yang berada dalam wilayah tanggung jawabnya. Bisa jadi, ‘meninjau kembali’ adalah bentuk halus dari kata ‘batal’.
Proyek-proyek yang masuk dalam daftar pinjaman Bantuan Pembangunan Luar Negeri (ODA), yang ditandatangani antara pemerintah Indonesia dan Jepang tahun lalu bisa saja macet. Dalam perjanjian ini Jepang akan mengucurkan 62,334 miliar yen untuk 20 proyek, yang sebagian besar untuk pengembangan infrastruktur guna mengurangi kemacetan lalu lintas dan peningkatan pasokan listrik di Jakarta dan sekitarnya.
Di luar itu, masih banyak proyek-proyek pembangunan infrastruktur, termasuk yang terkait dengan konsep Poros Maritim, yang rencananya akan dibangun dengan bantuan dana, teknologi, dan keahlian Jepang.
Jika Ota ternyata membekukan proyek-proyeknya di Indonesia, pemerintah RI harus segera mencari pendanaan lain. Melihat mesranya hubungan Jokowi dengan Xi Jinping, pilihan tampaknya bakal jatuh ke Cina lagi. (gigin)