Perang kurs untuk melumpuhkan suatu negara

Perang kurs untuk melumpuhkan suatu negara


Perang kurs merupakan bentuk perang ekonomi. Negara-negara yang terlibat didalamnya lebih banyak ketimbang perang versi militer. Dan kerusakannya bisa lebih parah bagi negara-negara yang terlibat perang, karena sektor perekonomian di negara tersebut, seperti sektor keuangan, investasi, industri dan perdagangan luar negerinya akan dibuat lumpuh.

Pengangguran akan meningkat pesat, pertumbuhan ekonomi anjlog, dan kemiskinan massal segera tercipta. Lebih parahnya lagi, kalau ada negara yang tak sabar menghadapi situasi ini, perang militer adalah selalu menjadi solusinya.


Keputusan Bank Rakyat China mendevaluasi nilai tukar mata uang yuan terhadap dolar pada Selasa 11 Agustus 2015 mengejutkan dunia, mendorong anjloknya harga minyak dan bursa saham global di tengah kekhawatiran situasi perekonomian yang semakin tidak pasti.

China menurunkan patokan nilai tukar yuan sebesar 1,9% yang mendorong pelemahan terbesar mata uang itu sejak berakhirnya sistem nilai tukar ganda pada Januari 1994. Bank sentral China menyebut bahwa langkah ini hanyalah penyesuaian sekali saja dan akan menentukan patokan nilai tukar yang lebih sejalan dengan pergerakan pasar.

Namun, Stephen Roach, mantan ekonom Morgan Stanley untuk Asia, kini peneliti di Universitas Yale, menyebut langkah China telah meningkatkan risiko timbulnya perang mata uang ketika negara pesaing juga telah melemahkan mata uangnya masing-masing supaya ekspornya tetap kompetitif.

Devaluasi yuan mengguncang pasar global, membuat mata uang Korea Selatan, Australia, dan Singapura ikut-ikutan melemah setidaknya 1% karena para pelaku pasar menduga negara-negara lain bakal menyusul untuk ikut melemahkan mata uang mereka demi mempertahankan daya saing eskpor masing-masing.

Pemerintah AS memutuskan untuk tidak menuding dan menyebut Beijing sebagai manipulator mata uang demi mendapatkan keuntungan perdagangan dengan cara licik.

Meski begitu, Departemen Keuangan AS tetap menilai bahwa yuan masih undervalued atau cenderung bergerak di bawah pasar. Oleh sebab itu AS tetap meminta otoritas China meninjau ulang dan menaikkan mata uangnya lebih lanjut dan mengikuti mekanisme pasar. Nilai tukar yuan yang rendah membuat nilai ekspor China menjadi lebih murah di negeri orang.

Dalam perang mata uang ini, negara yang mempunyai kekuatan kandungan lokal akan diuntungkan.

Ibarat virus flu, langkah Bank Sentral China untuk mendevaluasikan mata uangnya, yuan rupanya mempunyai daya tular tinggi. Salah satu negara tetangga China, Vietnam, ikut-ikutan mendevaluasikan mata uangnya. Dong, mata uang Vietnam, didevaluasi sebesar 1% terhadap dolar AS.

Sebelumnya di bulan Januari 2015, Bank Sentral Vietnam juga pernah mendevaluasikan dong. Maksud Bank Sentral Vietnam melakukan langkah itu, untuk memperbesar ekspor dan menahan impor. Vietnam takut bila pangsa pasar produknya semakin tergerus oleh produk-produk dari Cina.

Dari berbagai sumber.

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda