Dalam melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan membakar hutan dan lahan, masing-masing kelompok akan mendapat persentase pemasukan sendiri, pengurus kelompok tani mendapat porsi pemasukan terbesar, antara 51%-57%, sementara kelompok petani yang menebas, menebang, dan membakar mendapat porsi pemasukan antara 2%-14%.
Dalam penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo menemukan bahwa harga lahan yang sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang ditawarkan dengan harga Rp.8,6 juta per hektar.
Namun, lahan dalam kondisi 'siap tanam' atau sudah dibakar akan meningkat harganya, yaitu Rp.11,2 juta per hektar. Lalu tiga tahun kemudian, setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka perkebunan yang sudah jadi itu bisa dijual dengan harga Rp.40 juta per hektar.
Kenaikan nilai ekonomi dari lahan inilah yang membuat aktor-aktor yang diuntungkan berupaya agar kebakaran hutan dan lahan terjadi terus-menerus.
Selain itu, dalam pola jual beli lahan, penyiapan lahan menjadi tanggung jawab pembeli, jika akan dibakar atau dibersihkan secara mekanis. Semakin murah biaya pembersihan, untung pembeli akan semakin besar.
Sebagai perbandingannya, menurut Herry, per hektar lahan yang dibakar biayanya $10-20, sementara untuk lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 per hektar.
Penelitian Herry dilakukan di 11 lokasi di empat kabupaten di Riau, yaitu Rokan Hulu, Rokan Hilir, Dumai, dan Bengkalis menggunakan metode pemetaan, survei, dan pendekatan kebijakan. Di Riau, ada 60 perkebunan kelapa sawit dan 26 hutan tanaman industri.
Patron politik
Perusahaan atau individu di daerah yang menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit di daerah bisa menemukan patron-patron politik di tingkat lokal.
Herry mencontohkan, "Misalkan ada perusahaan-perusahaan skala kecil yang punya patron partai politik sangat kuat di kabupaten itu yang berpengaruh ke proses-proses pengambilan keputusan dan penegakan hukum di daerah tersebut. Bisa jadi mereka pendukung kuat dari petahana."
Pemain di tingkat menengah atau 'cukong', Herry menemukan, bisa siapa saja.
"Dari oknum pegawai pemerintah, polisi, tentara, peneliti, bisa terlibat, bisa punya sawit sampai ratusan hektar dan dalam proses pengembangan sawitnya bisa (melakukan) pembakaran untuk menyambut musim hujan berikutnya," ujarnya.
Aktor-aktor inilah yang tak terbaca atau tertangkap dalam pola penegakan hukum yang terjadi sekarang untuk menangani kabut asap. (BBC)