Kondisi keuangan negara di ambang kritis. Proyek-proyek raksasa yang sudah terlanjur digembar-gemborkan bisa batal.
Andalan Jokowi untuk menarik simpati rakyat adalah proyek-proyek raksasa infrastruktur, dan blusukan. Tapi andalan ini sekarang terancam oleh kondisi keuangan negara yang telah di ambang krisis. Penerimaan meleset, sementara pengeluaran membengkak. Dana swasta pun enggan masuk karena sikap tak jelas pemerintah di bidang ekonomi.
Runyamnya, di tengah situasi keuangan yang kian gawat itu, pemerintah masih saja asyik mengikuti irama gendang para kapitalis keuangan dunia. Hal ini tampak pada agresifitasnya menerbitkan surat utang di pasar komersial yang berbunga sampai 4% di atas London Interbank Offered Rate (LIBOR) patokan suku bunga dunia. Januari mendatang, pemerintah akan meluncurkan Dim Sum Bond, yaitu surat utang berdenominasi Yuan.
Sejak menjadi presiden, Jokowi telah menerbitkan berbagai macam uang surat utang bernilai miliyaran dollar AS. Di antaranya adalah Eurobond yang bernilai 1,25 miliar Euro, Samuraibond yang bernilai US$ 1 miliar, dan SUKUK Global bernilai US$ 2 miliar. Secara total, surat utang yang telah diluncurkan di luar negeri bernilai US$ 8,5 miliar.
Penerbitan surat utang tersebut mendatangkan rezeki nomplok bagi sejumlah kapitalis besar keuangan sebagai penjamin emisi utang pemerintah RI. Apa boleh buat, surat utang tersebut tak akan bisa sampai pasar tanpa nama besar mereka.
Mereka yang telah kebagian rezeki dari utang pemerintah RI antara lain Bank of America, Cirigroup, Deutsche Bank, HSBC, Standard Chartered, Sumitomo Mitsui Finacial Group, Nikko Securities, dan Mizuho Securities.
Para kapitalis besar tersebut tentu senang dengan gencarnya serangan terhadap lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB. Dengan demikian, setiap kali pemerintah RI butuh uang, akan lari ke mereka.
Serangan tersebut memang sangat dahsyat. Bayangkan, siapapun yang menjadi pemerintah RI sampai harus ekstra hati-hati ketika berhubungan dengan lembaga-lembaga keuangan yang menawarkan utang berbunga rendah tersebut.
Serangan terhadap Bank Dunia dan IMF dimotori oleh para ideolog anti Neolib seperti Rizal Ramli, Sri Edi Swasono dan kawan-kawan. Lembaga-lembaga tersebut, kata mereka, adalah kaki-tangan kapitalisme global yang berniat menjajah perekonomian Indonesia.
Hanya saja, para ideolog tersebut lebih suka bungkam ketika pemerintah menggandeng para kapitalis besar keuangan untuk memasarkan surat utangnya. Bisa jadi, para kapitalis global tersebut punya cara khusus untuk berdamai dengan para vokalis anti kapitalisme di Indonesia.
Sikap mendua Jokowi terhadap TPP dan Cina juga menjadi alasan kenapa para investor swasta lebih suka bersikap menunggu. Bila Jokowi tetap memilih Cina, perekonomian Indonesia akan menghadapi masalah dengan TPP yang menguasai lebih 40% PDB dunia. Dengan demikian para investor akan berpikir dua kali dalam berinvestasi di Indonesia.
Maka sesungguhnya tak ada yang aneh bila nilai tukar rupiah terus melemah dan utang pemerintah menggunung. Celakanya lagi, perekonomian nasional dan dunia masih lesu, sehingga rasio pendapatan negara terhadap belanjanya mengecil. Akibatnya, akhir bulan lalu defisit anggaran negara mencapai 2,6% dari target 1,9%. Padahal, menurut UU, jumlah maksimumnya adalah 3%.
Kenyataan itu menempatkan pemerintah pada dua pilihan: Tetap melanjutkan pembangunan sesuai rencana meski utang makin menggunung, atau menunda sebagian proyek pembangunan agar defisit menciut. Sayang, sampai sekarang Jokowi belum menentukan pilihan.
Sementara itu para investor juga dibuat bingung oleh sikap pemerintah yang berulang kali berjanji untuk meningkatkan efisiensi ekonomi melalui deregulasi. Lima paket kebijakan ekonomi pun telah diluncurkan oleh Jokowi. Bahkan, kata Jokowi, kalau perlu 200 ratus paket lagi akan diluncurkan.
Sayangnya baru lima paket sudah mulai tersendat. Lihat saja, paket deregulasi kementerian perdagangan yang telah ditetapkan oleh menteri perdagangan Thomas Lembong. Pelaksanaan paket ini ditunda dari 1 November menjadi 1 Januari 2016 setelah diprotes oleh menteri perindustrian Saleh Husin, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan para pengusaha yang sudah terbiasa menikmati rezeki nomplok dari ruwetnya peraturan pemerintah. Kata mereka, paket tersebut terlalu liberal.
Sampai sekarang tak jelas modifikasi macam apa yang akan dilakukan terhadap paket terebut ketika diberlakukan nanti. Bagaimanapun juga, disadari atau tidak oleh pemerintah, hal semacam inilah yang menyebabkan lima paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan tak membuat pasar uang dan modal makin bugar.
Di tengah defisit anggaran yang kian menganga, kebingungan investor pada sikap pemerintah, meningkatnya ketergantungan pada utang komersial, dan keraguan pada konsistensi dalam memerangi inefisiensi ekonomi masyarakat tentu berharap Jokowi tampil sebagai sosok tegas ber-ide cemerlang.
Mereka tidak ingin punya pemimpin yang rajin blusukan sambil membongkar dosa pemerintah sebelumnya, dan berbicara tentang isu lokal seperti seorang walikota. [gigin]