Orang Cina tidak mengharamkan perjudian, bahkan berjudi adalah aktivitas budaya orang Cina yang terhormat. Kalau ada kematian di kalangan Cina, misalnya, sudah sangat lazim orang yang sanseng (bertakziah) lalu membuka meja judi.
Begitu terhormatnya berjudi dalam budaya Cina, sampai-sampai, kata pak ustadz, orang Cina itu mempunyai dewa judi, yaitu Sianjin atau Toapekong yang 'mengayomi' kegiatan perjudian!
Cerita Akong Tjen Sauw Tjung kepadaku, sebelum meninggal..
Akong Tjen Sauw Tjung meninggal dalam usia 78 tahun, tepat ketika Diego Maradona menyarangkan bola dengan tangannya ke gawang Peter Shilton dalam perempat final Piala Dunia di Meksiko.
Hanya beberapa detik selepas gol paling controversial sepanjang masa yang kemudian dikenal sebagai "Gol Tangan Tuhan" itu, Akong Tjen Sauw Tjung mengembuskan napasnya yang penghabisan di depan televisi lawas 20 inchi.
Mungkin jantungnya kumat karena nggak tahan menyaksikan kejadian tersebut dimana saat itu Akong mungkin saja sedang bermain taruhan judi dengan temannya yaitu Akong Liang Thai.
Orang China, kau tahu, memang suka bertaruh nasib. Mereka menciptakan banyak permainan judi dan bisa menjadikan apa saja sebagai wadah perjudian.
Memang sebagian dari orang Cina adalah spekulator yang ulung dalam berbisnis, tapi sebagian lagi adalah para petaruh yang nekat, yang tak segan-segan mempertaruhkan sebagian atau seluruh harta bendanya di meja judi. Dan segelintir yang lain barangkali bolehlah disebut sebagai setan judi.
Tapi, Akong Tjen Sauw Tjung, bukanlah seorang setan judi sebagaimana keyakinan Pho-pho. Dia mungkin lebih cocok digolongkan sebagai spekulator yang ulung dalam berbisnis dan petaruh nekat.
Ya, banyak orang mengakui bahwa Akong sebenarnya seorang pembisnis hebat. Kau tahu, ketika pertama kali datang dari daratan Tiongkok ke Indonesia, ia cuma membawa sebuntal pakaian butut !
Aku pernah mendengar cerita yang beredar pada tahun 50-an tentang orang-orang Cina yang melarikan diri ke Hongkong dari kekuasaan komunis di daratan Tiongkok.
Dikisahkan, mereka mendiami rumah-rumah kardus yang berimpitan di lorong-lorong kumuh di pinggiran kota dan dengan modal seadanya berjualan apa saja yang bisa dijual di mulut-mulut lorong.
Mulai dari permen, ikat rambut, lilin, rokok, hingga korek api. Namun hanya dalam waktu beberapa tahun saja mereka sudah pindah ke rumah-rumah susun di pinggir kota yang mirip kotak susu dengan balkon penuh jemuran melambai-lambai.
Dan, tak lama kemudian, sebagian dari mereka tahu-tahu telah mengontrak ruko di pusat keramaian, bahkan di antaranya memiliki ruko sendiri.
Tapi Akong Tjen Sauw Tjung nyalanya lebih mencengangkan lagi. Hanya dalam waktu kurang lebih dua tahun setibanya di kota Semarang, Akong sudah berhasil membeli sebuah ruko bertingkat dua. Itu terjadi pada pengujung masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
Awalnya ia menjajakan tenaga sebagai kuli pikul di pasar, berkarung-karung beras, jagung, atau tepung terigu, juga berkeranjang-keranjang ikan dia panggul.
Seringkali pula para penjual ikan memanfaatkan jasa tenaganya mengangkut air sumur dari belakang tempat penjagalan babi. Begitulah cara dia mengumpulkan sekeping demi sekeping logamnya yang pertama.
Aku tak tahu, berapa jumlah uang yang Akong pertaruhkannya untuk memasang nomor lotre yang akhirnya mengubah hidupnya. kata Pho pho melanjutkan ceritanya,
Sebagaimana halnya cukong Cina di tanah Jawa yang kemudian dikenal sebagai pendiri pabrik rokok kretek paling terkemuka di negeri ini setelah mempertaruhkan hartanya yang penghabisan di meja judi,
Akong sendiri juga tak bakal menduga kalau dirinya akan keluar sebagai pemenang yang gilang-gemilang.
"Pilihanku waktu itu hanya dua. Mati kelaparan atau pasrahkan nasib pada keberuntungan!" tukasnya sambil terkekeh-kekeh....
Kapan-kapan dilanjutken...
Catatan
Akong = Kakek (dialek Cina-Hakka)
Pho pho = Nenek (dialek Cina-Hakka)