Rakyat Jepang memang terkenal rela berkorban untuk kejayaan bangsanya. 95% obligasi negara Jepang dimiliki oleh investor domestik. Karena proporsi investor domestik sangat besar, maka perekonomi Jepang tidak akan goyah karena larinya modal asing.
Bagi rakyat Jepang, rasa nasionalisme tidak hanya bersifat seremonial atau hanya jargon-jargon kosong. Rasa nasionalisme harus diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.“ kata John F Kennedy.
Kata-kata Presiden Amerika Serikat ke 35 itu telah lama menjadi prinsip hidup rakyat Jepang, bahkan sebelum Kennedy lahir. Rela berkorban bagi bangsa dan negara memang sudah mendarah daging bagi rakyat Jepang.
Contoh:
Langkah Bank Sentral Jepang atau Bank of Japan (BOJ) menurunkan suku bunga acuan menjadi -0,1% membuat bursa saham global bergairah, Indeks Nikkei naik 2,8%, Hang Seng 2,5%. Tak mau kalah, indeks Dow Jones melonjak 2,5%.
Dengan suku bunga acuan menjadi -0,1% berarti menabung bagi rakyat Jepang justru membuat uang mereka berkurang alias merugi. Tapi, uniknya rakyat Jepang tidak berbondong-bondong menarik uangnya dari bank atau biasa disebut rush, mereka tenang-tenang saja. Rakyat Jepang sadar langkah BOJ tersebut untuk lebih mengairahkan ekonomi Jepang.
Terjaganya rasa nasionalisme di Jepang karena para politisi dan pejabatnya lebih mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok atau pribadi. Bila pejabat terbukti melakukan korupsi mereka langsung mengundurkan diri, bahkan bunuh diri.
Bagaimana dengan Indonesia? Pertengahan bulan Januari 2016, Bank Indonesia menurunkan BI rate 25 bps. Tapi, penurunan tersebut tidak membuat bunga deposito turun. Penyebabnya adalah deposan besar tidak mau bank menurunkan suku bunga deposito.
Para bankir sangat takut dengan deposan besar ini, karena dana mereka mencapai 54% dari seluruh dana deposito di Indonesia. Akibat dari ulah para deposan besar ini, suku bunga kredit juga sulit turun. Dampaknya, penurunan BI rate belum terasa terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ulah para orang kaya di Indonesia memang tidak mencerminkan rasa nasionalisme. Merela lebih rela menaruh uangnya di bank-bank luar negeri ketimbang membeli obligasi negara.
Karena kekurangan pembeli, maka obligasi negara kita hampir 40% dimiliki oleh investor asing. Oleh karenanya, bila ada guncangan ekonomi global, Indonesia cepat merasakan dampaknya.
(daniel rudy-ir)