Orang Indonesia sangat mudah ditipu dengan iming-iming Harta Kekayaan !

Orang Indonesia sangat mudah ditipu dengan iming-iming Harta Kekayaan !

Setiap hari, umumnya Cina- Cina itu enggan menggunakan bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Mereka sangat loyal terhadap bahasa leluhurnya


Pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, harus diakui telah membuat lega bagi warga keturunan Cina. Dengan disahkannya UU itu, warga keturunan Cina punya kedudukan yang sama dengan warga Indonesia lainnya.

Kita tahu, selama 32 tahun di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, WNI keturunan Cina diperlakukan secara diskriminasi. Tapi sejak era reformasi, warga keturunan Cina memperoleh kebebasannya, mulai dari hak berbicara atau berbahasa, hak beragama, adat istiadat, hingga hak berpolitik, baik di tingkat daerah maupun nasional.

Jika selama ini WNI keturunan Cina banyak yang bergerak sebagai pengusaha, kini banyak di antara mereka mulai mengisi jabatan politik, birokrasi, wartawan, artis, model hingga membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Yang masih sedikit masuki adalah menjadi tentara atau polisi.


Fakta yang tak terbantahkan banyak warga keturunan Cina yg menjadi warga negara Indonesia tapi berperilaku layaknya masih menjadi warga negara Cina daratan. Dalam arti, kaki mereka menginjak di Tanah Air Indonesia, tapi jiwa mereka bukan jiwa orang Indonesia.

Jiwa mereka tidak berpaling dari tanah leluhur Cina daratan. Setiap hari, umumnya mereka enggan menggunakan bahasa Indonesia, apalagi bahasa daerah. Mereka sangat loyal terhadap bahasa leluhur, yaitu bahasa Mandarin. Begitu pula cara bergaul, sulit untuk melebur di tengah-tengah masyarakat pribumi Indonesia.


Seharusnya, kalau mereka sudah lahir dan punya KTP Indonesia, kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah keharusan dan muncul atas kesadaran sendiri.

Fakta lain yang sering kita jumpai di lapangan adalah cukup banyak berdiri sekolah warga keturunan Cina yang memberlakukan bahasa Inggris dan bahasa Mandarin sebagai bahasa utama, bukan bahasa Indonesia. Itu terjadi di sebagian daerah perkotaan di Indonesia yang siswanya mayoritas keturunan Cina.

Apapun alasannya, perbuatan ini sangat tidak dibenarkan. Mestinya mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bila bahasa Mandarin tetap mau dipelajari putra-putri mereka, itu bisa dijadikan sebagai bahasa kedua, seperti bahasa daerah setempat.

Pengawasan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga sangat lemah. Karena pengawasan lemah, maka tak heran sekolah-sekolah warga keturunan Cina acap kali tidak mengindahkan instruksi Kemdikbud.

Padahal, menurut pakar pendidikan DR Arief Rahman, ”Anak Indonesia siapapun asal nenek moyangnya, lulusan sekolah di Tanah Air harus benar-benar menjadi anak Indonesia.” Jadi, bukan anak Cina RRC! Sayangnya, kesadaran seperti ini, nyaris tidak pernah kita dengar dari kalangan birokrat, maupun politisi di DPR dan DPRD.

Selain itu, sekarang ini juga banyak bermunculan media cetak berbahasa Mandarin. Tentu saja, maksud diterbitkannya media berbahasa Mandarin hanya untuk konsumsi kalangan manula warga keturunan Cina Indonesia atau untuk mereka yang mampu berbahasa Mandarin dengan segala tujuan baiknya.


Tapi, pada kenyataannya isi beritanya lebih banyak tentang perkembangan negeri Cina. Ini kan jadi semacam kontradiktif.

Jika koran berbahasa Mandarin saja lebih banyak bermuatan berita-berita tentang China, apakah hal ini tidak akan membuat pemerintah semakin sulit melaksanakan program asimilasi terhadap mereka? [ir]
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda