Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana ?
Sebagai contoh menurut KPU pada Pilpres 2014 yang lalu jumlah rakyat yang ikut Pilpres ada 190 juta suara dimana 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk Prabowo dan sisanya 58 juta suara tidak memilih keduanya alias abstein.
Jokwi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62 juta suara bukannya nothing.
Pro Pilkada langsung selalu menggunakan istilah diktatur mayoritas dan tirani minoritas untuk mempertegas pendiriannya. Mereka juga selalu mengemukakan apakah 50% plus satu itu Demokrasi ? Apakah 50% plus satu itu boleh dikatakan sama dengan “Rakyat” ?
Jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya termasuk yang tertinggi di dunia. Apakah penggunaan hak politiknya yang berbondong-bondong itu karena sangat sadar politik ataukah datang untuk menerima uang dari para calon legislatif maupun eksekutif yang dipilih secara langsung ?
Jika 5 tahun yang lalu uang yang harus dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR rata-rata sekitar Rp. 300 juta, di tahun 2014 sudah menjadi Rp. 3 milyar.
Dalam poster kampanye Pilpres tempo hari gambar yang dijadikan template adalah Bung Karno, Pikiran Bung Karno tentang Demokrasi sangat jelas, yaitu Demokrasi Perwakilan, dan itupun ditambah dengan asas pengambilan keputusan yang tidak didasarkan atas pemungutan suara melulu.
Menggadaikan Surat Keputusan (SK)
Kompas tanggal 22 September 2014 menulis berita dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperolh kredit dari berbagai bank.” Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan.
Beberapa hari setelah pelantikan, anggota DPRD di beberapa daerah mulai menggadaikan Surat Keputusan (SK) untuk mendapat kredit bank. Sejumlah bank pembangunan daerah dibanjiri debitur anggota DPRD.
“Besarnya pinjaman antara Rp 100 juta, Rp 200 juta, bahkan ada yang Rp 500 juta," kata Direktur The Finance, Eko B Supriyanto, Selasa (16/9).
Hingga 15 September 2014, kata Eko, setidaknya ada 45 anggota DPRD Banten yang secara kolektif mengagunkan SK anggota dewan untuk mendapat kredit di satu bank lokal. Hal yang sama juga terjadi di Bank Jatim yang secara koletif menerima permohonan pinjaman dari DPRD Pamekasan, Jawa Timur. [rep]
Baca juga :
Pilkada langsung berpotensi mendorong gelombang instabilitas