Sepotong kalimat di sebuah spanduk mengatakan, “Kami manusia. Ajak kami berdialog secara bermartabat. Jangan gusur kami seperti sampah!”
Entah kerasukan pembangunanisme dari mana, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus melakukan penggusuran di Jakarta yang, menurutnya, berada di atas tanah pemerintah daerah dan karenanya tindakannya legal.
Seolah sepotong konsep legal sudah lebih dari cukup untuk bekal gubernur dan memperlakukan manusia, warganya di Jakarta.
Dalam setiap tindakan penggusuran legalnya, tak lupa Ahok selalu mengundang aparat bersenjata. Mereka datang, massif, menjadi juru runding, intimidatif, dan kemudian menang.
Ahok bukan hanya ringan menggusur kawasan si miskin di sana-sini dengan membahasakan pembersihan itu sebagai tindakan sterilisasi seperti hendak mengusir kuman. Atau sampah kota.
Menyaksikan bagaimana Ahok memperlakukan warganya, kita jadi tahu ketertiban model Ahok tak berwatak sipil. Dia gampangan menarik kembali apa yang sudah diperjuangkan untuk diletakkan di barak, untuk maju ke warga memakai seragam dan mengumbar bedil.
Fasisme memang selalu dekat dengan pembangunanisme. Mengingatkan kita pada Orde Baru dan jejak-jejak gelap yang ditinggalkannya hingga sekarang.
Jakarta mungkin makin tertib, namun sekaligus makin tak berhati. Obsesi pada ketertiban kota tak selalu benar dengan sendirinya, apalagi jika tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Pembangunan kota bukan hanya pemenuhan selera menor kelas menengah atas. Tapi hasil partisipasi warga yang utuh mengedepankan cara-cara bermartabat dan aspek lingkungan hidup.
Ahok merasa sedang membangun Jakarta. Pengkritiknya mempertanyakan untuk siapa Ahok sebenarnya bekerja? Bukankah orang-orang miskin kota itu pula yang dulu memilihnya bersama Jokowi, termasuk disodorkan kontrak politik keduanya yang sekarang dikhianati Ahok.
Saya bukan pembenci Ahok, dan 20 tahun usia demokrasi kita, seharusnya membuat kita dewasa untuk melihat politik bukan soal buncahan benci dan cinta. Mari lihat Ahok sebagai pelayan kita dalam kacamata kebijakan publik atas apa yang dia lakukan dan tak lakukan.
Ahok punya sejumlah kelebihan terutama merapikan birokrasi. Tapi lambat laun dia menunjukkan banyak kekurangan vital, terutama kekurangan untuk mendengar dan berempati pada warganya yang miskin.
Ahok tak lagi tegas, tapi cenderung “buas”. Dia salah mengerti pemimpin tegas tidak berarti marah, mengumpat, dan mencaci. Seorang gubernur jelas bukan kontraktor pembangunan. Dia dipilih melalui proses politik dan pemilu, bukan oleh rapat umum pemegang saham di perusahaan.
Ahok tak pantas mendahulukan kemauan-kemauan pengusaha dan konglomerat untuk membangun Jakarta dengan mengorbankan warga miskin melalui dalih pembangunan.
Seorang peneliti bernama Mahmud Syaltout memeriksa 10 produk peraturan terkait reklamasi di Teluk Jakarta melalui olahan Computer Assisted Qualitative Data Analysis (CAQDAS) menggunakan software MAQDA 12. Dia menemukan untuk siapa sebenarnya Ahok bekerja.
Dari kesepuluh peraturan, reklamasi disebut sebanyak 632 kali, kemudian secara spesifik menyebut korporasi sebanyak 123 kali dan rakyat atau masyarakat hanya sebanyak 31 kali. Dengan kata lain, 80% dari produk hukum tersebut lebih berpihak kepada korporasi, dan sisanya 20% untuk rakyat.
Hasil telisik Mahmud ke setiap peraturan diketahui bahwa rakyat atau masyarakat hanya hadir dalam produk hukum yang dikeluarkan oleh Soeharto, Djoko Kirmanto/Kementerian Pekerjaan Umum, dan Gubernur Fauzi Bowo (Foke). Sedangkan keberpihakan pada korporasi lebih dari 95% merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh Ahok, dan sisanya oleh Foke.
Selanjutnya mengenai korporasi dan produk hukum, dapat diketahui bahwa PT Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan PT Agung Podomoro Land), PT Nusantara Regas, PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Pakci, dan PT Pembangunan Jaya Ancol mendapatkan keistimewaan eksklusif dari produk-produk hukum yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Ahok.
Seorang gubernur seharusnya adalah pemimpin kota. Dia mengadministrasi kebijakan kota agar berselera publik bukan privat. Membangun jiwa sama kuat bukan hanya raga kota agar kota lebih manusiawi dan toleran. Salah satu ujiannya adalah bagaimana dia memperlakukan warga miskin kota sebagai manusia.
Kontrak Politik Ahok
Ahok perlu memeriksa kembali kontrak politiknya bersama Jokowi untuk menjadi pemimpin Jakarta. Di situ tersimpan jelas visi membangun tanpa menggusur.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebutkan Indeks Rasio Gini yang mengukur ketimpangan pendapatan mengalami pelonjakan ketimpangan yang serius dan melebar di kota besar, terutama Jakarta. Angkanya dari 0,43 September 2014 menjadi 0,47 pada September 2015. Angka ini yang paling buruk dalam sejarah ketimpangan di Republik ini.
Nilai indeks gini berkisar 0-1. Semakin mendekati 0 semakin merata hingga angka 0 berarti sempurna pemerataan. Jika semakin mendekati 1 semakin timpang pendapatan.
Ketimpangan itu terjadi karena akses pelayanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar dan pertumbuhan kesejahteraan yang tidak merata.
Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkap data bahwa selama Januari hingga Agustus 2015, terdapat 3.433 kepala keluarga dan 433 unit usaha yang menjadi korban penggusuran paksa yang berada di 30 titik di wilayah DKI Jakarta. Keadaan ini merupakan angka penggusuran paksa tertinggi sepanjang sejarah pemerintahan kota.
Data lain menunjukkan tingginya pembatasan kebebasan hak berpendapat dan berekspresi di DKI Jakarta. Dalam 4 bulan terakhir ada 6 pemaksaan pembatalan acara di Jakarta.
Tingginya penggusuran dan menguatnya kepentingan kapital di Jakarta senafas dengan menguatnya fasisme yang didorong oleh militer, kelas menengah atas sok benar sendiri, dan centeng-centeng berjubah agama yang sering mewakili kepentingan aparat penegak hukum.
Ke mana demokrasi kita? Ke mana kota kita sedang tersesat? Kita perlu berhenti menjadi lover dan hater dalam memilih gubernur Jakarta demi untuk menyelamatkan kota ini.
Penulis Hertasning Ichlas , (viva)