DKI ternyata belum menujukkan berubahan yang cukup berarti sampai saat ini, beberapa indikator pembangunan menunjukkan pencapaian yang rendah, beberapa indikator nyata yang langsung bisa dilihat adalah bagaimana infrrastruktur publik yang masih kacau balau.
Kemacetan yang bisa kita lihat tiap hari, musim hujan pasti kebanjiran bahkan makin parah, walaupun disektor pelayanan masyarakat sedikit sudah ada perbaikan. Namun sektor pelayanan itu karena juga terintegrasi dalam kebijakan nasional.
Indikator yang nyata dapat dilihat adalah rendahnya penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2014, padahal pada tahun 2012 serapan APBD mencapai 80 persen dari total Rp41,3 triliun, tahun 2013 dari anggaran sebesar Rp50,1 triliun, penyerapan anggaran mencapai 82 persen.
Sementara pada tahun 2014 tidak lebih dari 65 persen.Slogan Jakarta Baru ternyata masih bau sampah dimana-mana, bau aroma korupsi, kulusi bahkan nepotisme yang semilir mulai terdengar,
alokasi anggaran yang tidak maksimal.
Dibuktikan dengan penyerapan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sangat minim dan jauh dari target. Rendahnya penyerapan anggaran merupakan bukti nyata buruknya kinerja. Ini akan berimbas pada pelayanan publik.
Banyak program-program yang telah direncanakan untuk melayani dan bersentuhan langsung dengan masyarakat tidak bisa dijalankan
Alasan penghematan, tidak terjadi pemborosan atau yang penting uang selamat menjadi argumentasi terhadap rendahnya penyerapan anggaran dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tinggi tahun 2014 , jelas ini retorika dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA) APBD 2014 nilainya lebih dari Rp 20 triliun ini menunjukkan bahwa rendahnya penyerapan.
Harusnya Ahok merasa malu dan mengakui kegagalan dan minta maaf kepada masyarakat karena ketidakmampuan menyerap anggaran yang berarti pada tahapan perencanaan, proses alokasi anggaran tidak teerproyeksi dengan baik.
Jangan hanya pintar berdalih macam-macam bahkan mencari kambing hitam untuk menutupi ketidakmampuannya bahkan cari kawan untuk membela dengan argumentasi meminimalisir korupsi.
Contoh nyari kambing hitamnya yang dituding menjadi penyebab rendahnya penyerapan adalah tidak maksimalnya pengadaan barang/jasa yang dilakukan Unit Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (ULP) DKI Jakarta melalui Lelang Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Tahun 2014 dari anggaran sebesar Rp72,9 triliun ditargetkan 97 persen akan terserap. Faktanya penyerapan APBD DKI sangat rendah, tidak nyampe 70% persen.
Ahok sendiri saat menjadi plt pernah menyatakan kekecewaannya terhadap penyerapan anggaran dan memprediksi penyerapan APBD 2014 akan mentok maksimal di angka 65 persen.Artinya dari anggaran sebesar Rp72,9 triliun hanya terserap sekitar Rp47,4 triliun dan menghasilkan SILPA daiatas 20 T.
Memang dalam kerangka penganggaran berbasis kinerja, sebenarnya penyerapan anggaran bukan merupakan target alokasi anggaran. Namun kegagalan target penyerapan anggaran akan berakibat hilangnya manfaat belanja karena dana yang telah dialokasikan ternyata tidak semuanya dapat dimanfaatkan untuk program-program yang sudah direncanakan yang berarti terjadi iddle money.
Padahal apabila pengalokasian anggaran efisien, maka keterbatasan sumber dana yang dimiliki sebenarnya dapat dioptimalkan untuk mendanai kegiatan strategis. Oleh sebab itu, ketika penyerapan anggaran gagal memenuhi target, berarti telah terjadi infesiensi dan inefektivitas pengalokasian anggaran.
Terang benderang bahwa persoalan penyerapan juga merupakan indikator bahwa sejauh mana prestasi kepemimpinan. Mau cari kambing hitam lagi? Atau mau mengalihkan perhatian publik dengan mengalihkan ke masalah lain??!!!!
Penulis : Dewi Equino (kompasiana)
(Suara Jakarta)
- Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya