Pengamat Sosial Politik dan ekonomi Rahman Sabon, mengatakan bahwa dia meresa kaget setelah membaca Rancangan Undang Undang Pengampunan Pajak yang diajukan oleh pemerintah pada DPR untuk dibahas menjadi Undang Undang,karena seharusnya RUU Pengampunan Pajak mempunyai tujuan utama adalah untuk memulangkan uang ke dalam negeri.
Menurut Rahman Sabon Nama dalam keterangannya dari Solo menyatakan syarat memulangkan dana kedalam negeri ini harusnya mutlak dan tidak boleh ditawar, tetapi anehnya dalam RUU disebutkan bahwa uang tunai yang dimintakan pengampunan tersebut BOLEH tidak dipulangkan ke Indonesia.
Jadi menurutnya sudah menyimpang dari tujuan utama yang selama ini di dengungkan oleh Menko Ekuin Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro bahwa RUU pengampunan pajak bertujuan untuk memulangkan dana dana yang selama ini di simpan diluar negeri,kalau demikian untuk kepentingan siapa..? (rep)
Pembahasan RUU Tax Amnesty atau pengampunan pajak yang sedang dikebut pemerintah dan DPR terus dipersoalkan. Kemarin, giliran politikus Nasdem Akbar Faisal yang mempermasalahkan. Dia bilang, ada 10 pengusaha gede penunggak wajib pajak yang mendompleng RUU ini. Duh, siapa aja itu, Pak?
Hal itu disampaikan Akbar dalam rapat antara Komisi III DPR dan KPK di Gedung Parlemen Jakarta, kemarin. Dalam sesi tanya jawab, Akbar menyampailkan bahwa ada indikasi yang mendompleng dalam pembahsan RUU tersebut. "Saya mendengar ada 10 wajib pajak besar di belakangnya. Apa bedanya ini dengan dana aspirasi," kata Akbar.
Dia menganggap hal ini menciderai keadilan. Padahal RUU pengampunan pajak itu dibahas sebagai terobosan untuk meningkatkan pendapatan negara. "Kita boleh lapar, kita boleh miskin. Tapi keadilan harus ditegakkan," kata Akbar.
Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo yang memimpin rapat pun penasaran siapa 10 orang tersebut. Hanya saja, Akbar tak merinci lagi. Dia hanya menyebut, ada seseorang yang membahas RUU tersebut mendapat kewenangan mengurus 10 wajib pajak terbesar di daerah pemilihannya.
"Belum yang lain-lain lagi," ujarnya. "Soal tax amnesty kami mendukung. Tapi apabila ada yang mendompleng buat apa?," katanya.
Koordinator advokasi LSM Fitra Apung Widadi menyampaikan dugaan dari Akbar itu kemungkinan besar benar adanya. Dia bilang, pembahasan itu memang rawan transaksional, karena tidak ada lembaga yang mengawasi. "Jadi sebaiknya, pembahasan ini disetop karena hanya menguntungkan konglomerat," kata Apung, kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.
Apung mengatakan, sesuai dengan asumsi yang disampaikan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, dana yang akan masuk langsung ke APBN hanya Rp 60 triliun, atau maksimal Rp 100 triliun.
Angka itu merupakan uang tebusan dari dana yang dideklarasikan yang ditaksir sebesar Rp 5 ribu triliun sampai Rp 8 ribu triliun. "Saya pikir itu sangat rendah. Kalau hanya Rp 60 triliun itu tidak bisa menutupi defisit APBN kita yang sampai Rp 273 triliun," ungkapnya.
Yang jadi pertanyaan, untuk apa nantinya uang dari hasil pengampunan pajak itu. Apa untuk menambal APBN, atau untuk membiayai infrastruktur. Jika kembali digunakan untuk mendorong investasi maka sangat jelas ada kepentingan konglomerasi di RUU tersebut.
Selain itu, rendahnya tarif uang tebusan dibandingkan dengan tarif serupa yang pernah diterapkan negara-negara lain. Di Amerika, uang tebusan adalah 30 persen dan digunakan untuk membiayai kebijakan sosial, pelayanan publik. "Itu yang membedakan (dengan Indonesia). Dari beberapa poin itu, saya melihat bahwa itu perlu ditolak," pungkasnya.
Ada pun pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, sebaiknya Akbar mengungkap identitas pengusaha ini dan melaporkan secara formal kepada pihak yang berwenang. Jangan sampai orang mengira, apa yang disampaikan Akbar sekadar mencari sensasi. (rmol)