Cuplikan berita:
Tewasnya pentolan teroris di Poso Santoso memunculkan banyak pertanyaan setelah ada 3 orang yang terlihat dibiarkan lari.
“Harusnya Santoso itu tidak ditembak mati, dibiarkan hidup, diminta keterangan seperti pelaku Bom Bali, diadili. Terduga Santoso yang mati pun penuh pertanyaan,” kata pengamat politik Ahmad Yazid kepada suaranasional, Selasa (19/6).
Kata Yazid, harusnya satgas Tinombala menjalankan politik antigerilya dengan mengepung Santoso dan kelompoknya. “Dengan mengepung dan kekuarangan bahan makan, Santoso bisa menyerah dan bisa dimintai keterangan,” ungkapnya.
Kata Yazid, kawasan Poso yang kaya sumber alam sengaja dijadikan medan teror sehingga orang takut masuk wilayah tersebut.
“Poso itu lebih terkenal dari Kendari dan kaya sumber alam, dengan adanya teror, maka sumber alam itu bisa dikuasai orang-orang tertentu dan dengan masuknya polisi dan tentara secara tidak langsung mengamankan investasi di Poso,” jelas Poso. (surnas)
Sasaran Perang Asimetris Pemilik Modal Raksasa Asing
Di mana terjadi konflik horizontal, maka di daerah tersebut berarti terkandung sumber kekayaan alam yang maha besar. Bagaimanakah profil konflik Poso dan bentuk perdamaiannya?
Konflik Poso memuncak sebanyak 2 kali. Pada Desember 1998 dan Mei 2006. Bukan kebetulan pula, kedua konflik ini terjadi pada masa jabatan Gubernur Sulawesi Tengah Mayjen TNI Bandjela Paliudju. Bandjela Paliuju menjabat Gubernur Sulteng pada 1996 – 2001 (Periode I) dan 2006 – 2011 (Periode II).
Poso merupakan bagian dari Sulawesi Tengah yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari minyak bumi, gas, emas hingga nikel. Bandjela Paliudju merupakan sosok yang berpihak kepada kepentingan masyarakat Sulteng.
Pertanyaannya, kenapa Bandjela Paliudju sampai harus digoyang oleh dua kali kerusuhan pada dua kali masa jabatannya ?
Adakah kepentingan modal raksasa yang akan diuntungkan dengan goyangnya atau jatuhnya Bandjela Paliudju?
Sesaat setelah Bandjela Paliudju menjabat Gubernur Sulteng pada 1996, PT Inco asal Kanada mulai mengeksplorasi Nikel di Poso (1997).
Kemudian pada 1998, PT Mandar Uli Mineral, anak usaha Rio Tinto Group milik "Rothschild", menggarap emas di Poso seluas 550 ribu hektar. Rupanya, pemerintahan Bandjela Paliudju di Sulteng yang pro rakyat, mengganggu bisnis Inco dan Rio Tinto. Maka pecahlah konflik Poso Desember 1998. Konflik Poso I (Desember 1998) berhasil digagalkan oleh kekuatan militer saat itu.
Pada akhir periode jabatannya sebagai Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju hendak maju kembali untuk periode 2001–2006. Namun pemerintahan Gus Dur tidak mengangkat kembali Bandjela Paliudju (saat itu, jabatan Gubernur masih ditunjuk presiden).
Ketika Pilkada Sulteng sudah digelar, pada 2005, Bandjela Paliuju ikut sebagai peserta.
Kekhawatiran dari para pemilik modal besar di kawasan Sulteng dan khususnya Poso meningkat. Bandjela Paliudju dianggap bisa membahayakan kepentingan modal asing yang tengah masuk ke Sulteng dengan kebijakannya yang pro rakyat.
Pada 2006, Inco akan memulai eksploitasi tambang barunya di Morowali dan telah investasi US$ 1 miliar. Di Teluk Tolo (Marowali), Pertamina dan Medco tengah memproduksi minyak dari Lapangan Tiaka sejak 31 Juli 2005.
Rencananya, pengapalan pertama join Pertamina dan Medco ini pada 12 Januari 2006. Pertamina dan Medco juga tengah membangun proyek Donggi-Senoro di Sulteng. Proyek Donggi – Senoro mayoritas dikuasai oleh Mitsubishi Corporation (80%), Pertamina (10%) dan Medco (10%).
PT Bukaka Hydropower Engineering milik JK juga tengah membangun PLTA Poso 740 MW. PLTA ini akan menyuplai kebutuhan listrik bagi industri baru (Inco, Rio Tinto, Medco, dsb) di area Sulteng.
Adanya fakta kepentingan industri raksasa baru di Sulteng pada tahun 2005–2006 merupakan pemicu digerakkannya Konflik Poso II pada Mei 2006. Kemenangan Bandjela Paliudju dengan pemerintahannya yang pro rakyat dianggap sebagai ancaman bagi para raksasa itu (Inco, Rio Tinto, Medco, Mitsubishi, Bukaka. dsb). Oleh sebab itu, untuk kedua kalinya Bandjela Paliudju digoyang oleh kerusuhan Poso.
Sebelumnya malah KPU menunda pelantikan Bandjela Paliudju karena dituduh memberikan janji terlalu banyak kepada masyarakat.
Tuduhannya adalah Bandjela Paliudju menjanjikan pembangunan jalan, pemberian traktor, dan sebagainya. Namun akhirnya tidak terbukti dan mau tak mau Bandjela Paliudju dilantik jadi Gubernur Sulteng 2006–2011.
Strategi pertama (tuduhan KPU) gagal, para raksasa (Inco, Rio Tinto, Medco, Mitsubishi, Bukaka, dsb) pun menjalankan Strategi kedua : konflik Poso. Tak lama Bandjela Paliudju dilantik, pecahlah konflik Poso II pada Mei 2006.
Di tengah konflik tersebut, JK yang waktu itu menjabat Wakil Presiden menjadi penengah. Dengan kata lain, JK menjadi gawang dari raksasa asing dan kepentingan PLTA Bukaka di Poso untuk negosiasi dengan Bandjela Paliudju.
Wakil Presiden JK memberikan 2 penawaran pada Bandjela Paliudju : "Dijatuhkan atau Fasilitasi Kepentingan Industri."
Bandjela Paliudju saat itu terdesak oleh adanya konflik agama yang parah di Poso. Tak hanya sekali, tapi dalam dua masa jabatannya sebagai Gubernur Sulteng. Apabila memilih dijatuhkan, Bandjela Paliudju akan disandera sebagai otak di belakang konflik Poso I dan II.
Landasannya sederhana, dua kali konflik Poso pada masa jabatan Bandjela Paliudju sebagai Gubernur Sulteng.
Bagi Bandjela Paliudju, memilih Dijatuhkan pun akan terjebak pada status ‘Otak Di Belakang Konflik Poso I dan II’. Tak ada jalan lain bagi Bandjela Paliudju selain menyerah pada kepentingan industri dan asing yang dikawal Jusuf Kalla. Dan terjadilah ‘Perdamaian Poso’.
Selanjutnya baca : Ada kepentingan pemilik modal di balik konflik-konflik yang terjadi di Indonesia