Ada kepentingan pemilik modal di balik konflik-konflik yang terjadi di Indonesia

Ada kepentingan pemilik modal di balik konflik-konflik yang terjadi di Indonesia

Apabila dalam setiap konflik besar ada kepentingan modal raksasa, maka perdamaiannya pun tak lain transaksi dagang dan politik


Ada kepentingan pemilik modal raksasa di balik konflik-konflik yang terjadi di Indonesia. Konflik-konflik itu bisa berkemas dengan perang agama, membela hak kesukuan dan lain sebagainya.

Seperti halnya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tentu saja motif dan penyokong di belakangnya adalah Freeport sebagai pihak yang paling diuntungkan jika Papua lepas dari Indonesia.

Artikel ini meruppakan kenajutan dari Konflik Aceh (GAM) maupun Poso, dibaliknya ada perebutan sumber daya alam

Apabila dalam setiap konflik besar ada kepentingan modal raksasa, maka perdamaiannya pun tak lain transaksi dagang dan politik.

‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ bukanlah sebuah islah sebagaimana dalam konflik mikro.

‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ adalah konflik makro yang melibatkan kepentingan modal raksasa asing.

Maka ‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ yang diklaim JK tak lain hanyalah sebuah transaksi jual beli aset RI dengan pihak raksasa asing.

Menanggapi hal tersebut, Global Future Institute memandang kenyataan tersebut sebagai bukti penguat hipotesa sebelumnya bahwa dalam setiap konflik lokal, sejatinya merupakan cermin konflik pada tataran global.

 "Conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow!"

Kita seringkali hanya gaduh di atas permukaan tanpa menyadari ada "remote" dari kejauhan. Memang akan sedikit sulit menemui bukti formil dan materiil pada jenis konflik seperti ini, paling-paling hanya bukti pola (pattern evidence) dan bukti keadaaan (circumstantial evidence) yang mampu menguaknya.

Silahkan cermati, konflik di Rohingya, Myanmar beberapa waktu lalu, atau konflik di Lampung Selatan, di Madura (Syiah vs Sunni) selalu terlihat modus pemicu yang sama yaitu pelecehan sexual oleh oknum yang akhirnya justru diabaikan.

Lalu, apakah ketiga wilayah tadi cuma penghasil gaplek, telo, atau walang kekek ? Tidak. Daerah itu kaya akan potensi pertambangan (minyak, emas, gas bumi, dll).

Boleh cermati agenda lanjutan setelah konflik terjadi, selain pengungsian? Yaitu RELOKASI bagi penduduk yang hidup diatasnya !

Selain Inco dan Mitzubishi, salah satu pemain terbaru di Migas Indonesia adalah Stat Oil asal Norwegia, juga diwaspadai.

Apakah JK juga punya hubungan khusus dengan Rothschild?

Stat Oil merupakan perusahaan migas milik Rothschild Norway Group yang dibawa masuk ke Indonesia oleh Wakil Presiden Jusuf kalla.

Stat Oil telah menguasai 2 Blok yaitu Karama (Sulawesi) dan Halmahera II (Maluku), daerah kekuasaan Jusuf kalla. Saat ini, Stat Oil tengah mengincar Blok Natuna Alpha-D yang memiliki cadangan gas bumi skala besar.

Menelisik keberadaan Stat Oil sebagai pemain Migas baru asal Norwegia, mau tidak mau kita harus buka kembali tumpukan berita lama tentang konflik di Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bermula pada tahun 1976. Kebanyakan tentu mengira perjuangan GAM adalah bentuk perjuangan kemanusiaan membela harkat dan martabat Aceh. Sedikit yang menyadari kalau ada kepentingan perebutan Gas Lhokseumawe di balik konflik GAM dan pemerintah RI.

Kalau sempat, baca buku "Understanding Civil War" karya Paul Collier dan Nicholas Sambanis terbitan World Bank. Salah satu ulasan utamanya adalah soal konflik Aceh antara GAM dengan pemerintah RI.

Hasil penyelidikan tim intelijen World Bank terhadap konflik Aceh, ada kepentingan perebutan gas Lhokseumawe.

Hasan Di Tiro, cucu Teuku Cik Di Tiro menggalang organisasi GAM untuk tujuan menggagalkan proyek LNG Lhokseumawe. Sebelum mendirikan GAM, Hasan Di Tiro hidup di New York dan bekerja untuk PBB.

Pada tahun 1953, ia bergabung bersama Daud Beureueh untuk menggalang pemberontakan Aceh. Setelah digagalkan Sukarno, Daud Beureueh dan Darul Islam Aceh kandas dan kelompok ini kabur ke luar negeri.

Pada tahun 1976, Hasan Di Tiro kembali ke Aceh dan mendirikan GAM dengan kemasan mengembalikan perjuangan Darul Islam Aceh.

Rupanya, motif itu hanya akal-akalan Hasan Di Tiro, karena sejatinya ada misi perebutan gas Lhokseumawe di balik berdirinya GAM.

Pada tahun 1971, Mobil Oil milik Rockefeller Group menemukan cadangan gas raksasa di Aceh. Cadangan gas temuan Mobil Oil di Aceh bernilai Rp 20 - 30 triliun (nilai saat itu). Mobil Oil pun menggandeng Pertamina dan Jilco (konsorsium migas Jepang) untuk mengelola gas Lhokseumawe.

Hasan Di Tiro melihat gas Lhokseumawe sebagai peluang untuk direbut dengan kemasan perjuangan Aceh Merdeka. Lalu didirikanlah GAM pada 1976 dan penyerangan perdananya dengan sasaran pengolahan gas milik Mobil Oil.

Bersamaan dengan itu, Hasan DI Tiro bersama relasi migasnya mengajukan penawaran pengelolaan pipa gas Aceh ke pemerintah RI. Sayangnya, tender pipa gas Aceh dimenangkan oleh Bechtel, perusahaan pipa gas asal AS.

Dampak dari gagalnya pemenangan tender pipa gas yang disertai "pemberontakan" ini, membuat GAM kehilangan sumber dana. Pada 1979 pun tidak terlihat lagi adanya pergerakan GAM di Aceh.

Hasan Di Tiro kembali menggalang GAM pada 1989 ketika mendapatkan sokongan dari Libya (Khadafi). Khadafi ketika itu ingin merebut gas Lhokseumawe karena dua alasan. Pertama menguasai pasar gas Asia Tenggara. Kedua, Khadafi ingin merebut pasar gas Eropa dari Rusia.

Seperti diketahui, pasokan gas Eropa dibeli dari Rusia (menguasai 70% pangsa pasar). Tren kejatuhan komunisme tahun 1980an dilihat Khadafi sebagai peluang merebut pasar gas Eropa dari Rusia. Tahun 1980, Rusia sedang dalam fase Glasnost dan Perestroika, reformasi komunisme Rusia.

Alasan itu yang mendorong Khadafi menyokong GAM garapan Hasan Di Tiro, untuk merebut cadangan gas raksasa Lhokseumawe.

Berhubung Indonesia saat itu sedang membangun pencitraan internasional, aksi GAM 1989 – 1991 dinilai pemerintahan Suharto sebagai bahaya besar, sehingga penanganannya diberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh. GAM pun susut lagi.

Tak berhenti sampai disini, pada 1999-2002, GAM bangkit lagi dengan sokongan dari Norwegia melalui Swedia dan Finlandia. Bedanya, Norwegia tidak mengincar cadangan gas Lhokseumawe dengan mendanai GAM.

Norwegia mengincar cadangan gas Natuna Alpha-D, Swedia dan Finlandia mengincar investasi energi bio massa ke Indonesia. Sokongan ketiga negara ini ke GAM hanyalah sebagai bargaining positition untuk perebutan proyek dan investasi raksasa di Indonesia.

Itulah kenapa setelah GAM dipatahkan pada 2002, konflik Aceh masih terus berlangsung hingga harus "didamaikan" pada 2005. Karena motifnya sudah beda, bukan memerdekakan Aceh untuk sumber daya aceh, melainkan memerdekakan Aceh jika tidak diberi proyek raksasa di Indonesia.

Norwegia bergerak sebagai sumber pendana utama. Swedia berperan sebagai pemberi suaka pada Hasan Di Tiro, sedangkan Finlandia sebagai juru lobi ke Indonesia.

Melihat fakta bahwa GAM digerakkan oleh kepentingan perebutan sumber daya, lalu apa peran Jusuf Kalla di "Perdamaian" Aceh?

Tentu saja, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden ketika itu, bertugas menengahi alias mengurus barter proyek raksasa. Perdamaian Aceh, bagi saya bukanlah sebuah perdamaian dalam arti Islah. Perdamaian Aceh tak lain adalah transaksi dagang dan politik tingkat tinggi diperantarai Jusuf Kalla.

Baru lewat 5 tahun sejak "Perdamaian Aceh", sekitar 2011 mulai ramai berita Finlandia dan Swedia akan investasi besar-besaran ke Indonesia. Finlandia dan Swedia

Masih ingat ketika Jusuf Kalla teriak tolak AS kelola Natuna Alpha-D ?

Blok Natuna Alpha-D adalah cadangan gas raksasa, mencapai 150 triliun kaki kubik gas. Kendala utamanya adalah, blok Natuna Alpha-D mengandung gas karbon yang sangat besar. Salah mengeksplorasi, dampaknya adalah melepas gas karbon besar-besaran ke atmosfer dan mendorong peningkatan Efek Rumah Kaca.

Exxon Mobil (merger Exxon Oil dan Mobil Oil milik Rockefeller) semula akan mengelola Natuna Alpha-D. Sayangnya, teknologi Exxon Mobil tak mampu memisahkan gas karbon dari blok Natuna Alpha-D.

Bersamaan dengan fakta itu, Jusuf Kalla mengumandangkan tolak AS kelola Natuna Alpha-D. Ketika Exxon Mobil akhirnya didepak dari Natuna Alpha-D, masuk lah Stat Oil dari Norwegia dan diterima oleh pemerintah RI.

Siapakah Stat Oil ? Mereka adalah perusahaan migas raksasa milik Rothschild Norway Group di Norwegia yang mengelola banyak migas di negara-negara Skandinavia.

Tak hanya itu, pemerintah Norway pun berkomitmen akan investasi migas besar-besaran ke Indonesia. Sebagai uang muka, Norwegia mengucurkan dana EUR 1 miliar kepada REDD+ untuk melawan deforestasi.

Siapakah salah satu penggagas REDD+? Adalah Kuntoro Mangkusubroto yang mulai menjalin relasi dengan Jusuf Kalla di Aceh. Ketika tahun 2004, Kuntoro Mangkusubroto menjabat sebagai Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh.

Penjabaran di atas adalah apa yang terjadi sesungguhnya dari "Perdamaian Aceh", bukan soal manusia tapi tentang migas. (Pranoto)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda