Tumbuhnya penguasa diktator di Jakarta akibat ulah pemujanya yang buta

Tumbuhnya penguasa diktator di Jakarta akibat ulah pemujanya yang buta

Seseorang yang diberi kekuasaan absolut akan punya kecenderungan untuk korupsi, terlebih para pendukung yang buta membelanya dari segala kesalahan.


Secara tidak sadar, pembelaan terus-menerus terhadap seorang penguasa akan melahirkan pemerintahan otoriter. Dulu, raja Louis dan keuturunannya menjadi penguasa otoriter di Perancis karena dukungan para bangsawan.

Kini, di Jakarta, sedang lahir penguasa yang tumbuh menjadi diktator akibat pembelaan membabi-buta para pendukungnya. Penguasa ini tidak perlu takut kritikan, ia juga tidak perlu khawatir disebut antikritik karena ada para pemujanya yang akan terus membelanya.

Apalagi penguasa ini sedang meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dengan sikapnya yang seolah merupakan antithesis dari DPRD. Deparpolisasi akan melemahkan fungsi lembaga legislatif.

Bila parlemen melemah, takkan ada lagi lembaga negara yang mengawasi kinerja pemerintah. Alhasil, penguasa yang bekerja tanpa ada pihak pengawas yang legal sama saja dengan kerajaan monarki absolut zaman dahulu.

Pada abad ke-19, John Dalberg-Acton membuat pernyataan terkenal, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Betapa besar godaan jika seseorang mendapatkan kekuasaan. Dalam Islam, kepemimpinan bagaikan pedang bermata dua.

Seseorang yang diberi kekuasaan akan punya kecenderungan untuk korupsi, terlebih bagi seseorang yang diberi kekuasaan absolut oleh para pendukung buta yang membelanya dari segala kesalahan.


Apa jadinya jika seseorang terlalu dikagumi dan begitu dipuja-puja? Manusia memang senang jika ada sosok yang bisa menjadi figur atau teladan. Namun, jika dipuji secara berlebihan, yang muncul ialah pengkultusan. Seseorang jika telah dikultus, maka akan lahir pengikut yang taqlid buta.

Taqlid buta akan membuat sosok tersebut menjadi “orang suci”; segala aktivitasnya akan dibenarkan oleh para pemujanya, walaupun ia berbuat salah.

Setidaknya, fenomena itulah yang terjadi pada gubernur DKI Jakarta sekarang. Tak bisa dipungkiri bahwa Ahok merupakan seorang dengan banyak pendukung fanatik. Ada berapa banyak buzzer yang selalu membela dan menyerang lawan politiknya di media sosial ?

Ada banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa mantan Bupati Belitung Timur ini salah namun tetap dibela habis-habisan. Pada kasus reklamasi Teluk Jakarta, sudah banyak pihak yang mengatakan bahwa gubernur DKI Jakarta telah melanggar peraturan.

Ada regulasi yang dilanggar oleh Ahok. Pakar hukum sekaligus mantan ketua MK, Mahfud MD, dalam artikelnya pun menyebutkan seharusnya izin reklamasi didahului oleh Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.


Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, juga menegaskan bahwa proyek itu merupakan kewenangan kementeriannya, mengacu pada UU No.27 tahun 2007 dan Perpres No.122 tahun 2012.

Sudah seharusnya pula bahwa pembangunan pulau buatan ini dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk menganalisis dampak lingkungannya.

Tapi, Ahok tetap ingin meneruskannya. Entah kenapa, sang gubernur ngotot melanjutkan reklamasi yang dinilai para pakar hanya menguntungkan pihak pengembang. Ya, reklamasi teluk Jakarta untuk siapa?

Yang jelas, bukan untuk orang-orang miskin dan para nelayan yang menggantungkan kehidupan sehari-harinya dengan mencari ikan. Proyek reklamasi hanya merusak ekosistem laut yang ada dan mematikan ikan-ikan yang seharusnya menjadi penghasilan para nelayan.

Untuk para pengembang? Sudah jelas, karena biaya mengeruk pasir jauh lebih murah ketimbang membeli tanah.
Pujian-pujian terhadap sikap Ahok yang bak koboi ini terus mengalir. Ucapannya yang keras bahwa ia mengaku menyelamatkan uang negara membuat orang-orang semakin mendukungnya. Tapi apa yang terjadi? Pemujaan yang berlebihan membuat para pendukungnya menjadi taqlid buta terhadap dirinya.

Dari berbagai sumber di internet
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda