Baru beberapa hari ia melewati ulang tahun ke-75. Matanya agak cekung. "Saya baru bangun tidur dan masuk angin," kata Goenawan Mohamad. Di balik punggungnya, ada gambar Joko Widodo berdiri menghadapi kerumunan pendukungnya, membentang melapisi dinding. Foto gigantik itu menjadi penanda Goenawan pernah sangat terlibat dalam momentum langka, saat seorang manusia yang bahkan tak terdengar namanya ketika rezim politik berganti, bisa mengepalai negara dan pemerintahan.
Tapi belum dua tahun sejak sukaria politik elektoral itu, Goenawan mendapati kemurungan. "Politik Indonesia kembali jadi permainan lama, tanpa inspirasi." Ia menulis itu pada akun Twitter-nya. ia mengaku kalimat itu tak hanya merujuk pada reshuffle kabinet Jokowi, tetapi juga terkait Ahok dan Teman Ahok. Ia juga bercerita hal-hal lain terkait jurnalisme, dunia yang digelutinya secara profesional dalam kurun waktu hampir 50 tahun. Tak lupa, dengan pertanyaan mengapa Goenawan menjadi "musuh" segelintir seniman, khususnya dalam bidang sastra. Pertanyaan itu bersambut jawaban enteng: "Yang terjadi sekarang adalah orang-orang nggak suka saya saja." Berikut ini wawancara lengkapnya.
Anda sudah jadi reporter sejak 1967 di Harian KAMI, lalu membangun Tempo pada 1971 dengan format berita yang bercerita. Sekarang ada medium digital yang membawa perubahan besar pada jurnalisme, sampai Bre Redana bilang ini senjakala jurnalisme. Bagaimana Anda melihat perubahan ini?
Ya penuh dengan ketidakpastian. Di satu pihak memang betul orang menjadi sempit ruang perhatiannya, jadi rentang perhatiannya mungkin makin pendek dipakai untuk mencari informasi. Maka berita-berita dotcom, laku, menjadi tren.
Tapi di lain pihak, itu belum menjadi industri yang berhasil dan konsisten. Itu yang saya dengar, saya kan bukan ahlinya. Bahwa model bisnis untuk dotcom belum ditemukan yang benar dan pas. Ada kebangkitan lagi media cetak. Misalnya juga terjadi dengan buku kertas.
Di lain pihak, kan ada dialektika. Semakin banyak berita kecil, orang butuh berita yang banyak dan lebih luas. Selalu ada pasar, permintaan untuk cerita yang lebih panjang. Karena itu, beberapa majalah online seperti Aeon, itu kan bagus untuk ilmu pengetahuan populer. Jurnal-jurnal banyak yang online, lebih murah dan coverage lebih luas, tidak membutuhkan sistem pengangkutan yang mahal.
Jadi yang berubah cuma medium? Konten berbentuk cerita masih bisa terus eksis?
Masih ada. Tapi memang, seperti kata Marshall McLuhan, “the medium is the message.” Kalau medium begitu, message-nya juga terpengaruh. Misalnya berita dotcom itu terpaksa kata yang dipakai sedikit. Menggunakan kata yang tidak usah terlalu baru dan susah, persoalan disederhanakan. Itu message-nya jadi berubah.
Apa Anda melihat revolusi digital itu mirip seperti revolusi industri, ketika alat produksi berubah dan aspek kehidupan lain ikut berubah?
Saya kira iya. Cara membaca dan mencari informasi berubah. Sebetulnya, yang juga terjadi adalah akses informasi juga menjadi mudah. Kekayaan informasi menjadi tidak terbatas. Di satu pihak ada peningkatan kecepatan, di lain pihak terbuka akses dan infinity. Nah, bagaimana ini direspons sebagai usaha bisnis media, saya tidak tahu dan saya kira belum ada orang yang tahu betul.
Bagaimana dengan jurnalisme data?
Saya nggak mengikuti. Tapi sebenarnya jurnalisme dari dulu begitu. Kan semboyannya fakta adalah suci, opini tidak. Jadi fakta itu ya data, dan dulu berita yang standar adalah informasi didahulukan, pengembangan-pengembangan belakangan. Ada yang disebut piramida terbalik. Tidak ada yang baru dalam jurnalisme data.
Sebagai pendiri salah satu media yang besar, Anda optimis Tempo bisa menghadapi era digital?
Ini masa yang sulit sekali, semua menghadapi itu. Tapi kan selalu ada akal. Para pengelola mendiversifikasi atau bagaimana. Dan Tempo sudah mulai. Ada travel blog, jadi EO. Baru mulai, tapi sudah mulai ke sana.
Apakah sudah mulai ke transisi dari majalah ke digital?
Tempo sudah memulai, tapi itu tidak menghasilkan banyak. Tapi, saya dengar baru saja, iklan digital menaik drastis.
Mengalami hampir 50 tahun hidup di dunia bisnis media, apakah Anda merasa sekarang perubahan paling besar?
Saya selalu merasa ada perubahan, jadi nggak kaget. Dan saya kan sudah tidak mengurus lagi, jadi tidak terasa. Kalau saya nongkrong di Tempo mungkin terasa. Nggak terasa susah payahnya. Saya juga nggak mau campur tangan susah payah. Sudah cukup.
Baiklah, sekarang kita masuk ke topik lain: kebudayaan. Dulu bisa dibilang Anda adalah idola. Selain memimpin media, Anda penyair dan penulis yang cukup diakui. Tapi 10-15 tahun belakangan ada semacam “decentering Goenawan Mohamad.” Anda dikritik habis-habisan di dunia seni dan pemikiran. Bagaimana Anda melihatnya?
Saya sendiri heran, bahwa saya selalu dianggap selalu berada di belakang banyak hal. Misalnya JIL, padahal saya bukan pendiri. Kedua, saya disebut berada di belakang Tempo menyerang Ahok, padahal saya memihak Ahok terus-terusan. Sekarang Wiji Thukul. Saya dituduh menyembunyikan Wiji Thukul oleh Andi Arief. Yang benar saja!
Saya selalu dituduh di belakang segala hal. Padahal kalau orang bekerja dengan saya, akan tahu bahwa saya tidak seperti itu. Orang tidak pernah tanya kepada orang yang bekerja bersama saya. Di Tempo, saya tidak bisa mempengaruhi Tempo. Orang lupa Tempo adalah perusahaan yang pertama kali memberikan saham kepada karyawan dan karyawan ikut rapat menentukan perusahaan.
Kedua, redaksi itu otonom dan ada pembagian yang jelas. Tiap kali ada sesuatu dengan Tempo, saya dicolek. Saya geli dan pegel karena orang nggak mau ngecek.
Jadi soal decentering, saya tidak pernah ada di pusat, hanya orang bercerita saya di pusat. Saya tidak pernah punya majalah sastra di mana saya menentukan karya saya dimuat atau tidak. Saya tidak pernah membikin penghargaan di mana saya menentukan. Saya tidak tahu mengapa.
Tapi Anda sastrawan yang punya media.
Tapi itu tidak berarti saya ada di pusat alam semesta. Tanya orang yang bekerja sama saya bertahun-tahun, di sini [Salihara] dan Tempo, bagaimana saya hadir di kelompok. Yang terjadi sekarang adalah orang-orang nggak suka saya saja. Itu biasa.
Apa bedanya dengan polemik Manikebu-Lekra di masa Soekarno?
Sekarang tidak ada perdebatan sastra yang serius karena mediumnya tidak ada. Majalah yang memuat polemik tidak ada. Di tahun 50an itu ada banyak majalah, isunya oke. Di zaman Orba sudah tidak. Sejak masa Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno, polemik mati karena ekonomi buruk. Setelah reformasi seharusnya menjadi kesempatan, tapi mediumnya tidak ada. Kompas tidak mau.
Majalah sastra Horison kemarin malah tidak terbit lagi format cetaknya.
Iya. Jurnal kebudayaan Kalam [dulu terbitan Komunitas Utan Kayu] juga online sekarang. Problem: saya tidak bisa membuat tulisan saya di Kalam berkali-kali. Akhirnya tulisan saya nggak tahu mau dimuat di mana. Saya juga nggak telaten memuat tulisan di blog.
Sekarang kita berbincang soal politik. Hari ini Anda bilang di Twitter bahwa politik Indonesia kembali jadi permainan lama, tanpa inspirasi. Anda kecewa kepada Jokowi atau Ahok yang dipandang sedang berkonflik dengan Tempo?
Di Twitter saya terus mendukung Ahok. Pertama, saya kan tidak ada hubungan dengan kebijakan redaksi Tempo. Kedua, Tempo tidak anti-Ahok. Ini kesalahan Ahok dan Teman Ahok sendiri. Mereka menganggap kalau mengkritik itu berarti anti. Di Tempo itu kebanyakan pendukung Ahok. Kalau besok ada pilkada diadakan di Tempo, Ahok akan menang.
Ahok lupa waktu kasus Rumah Sakit Sumber Waras, Tempo membela Ahok. Tempo mengatakan Ahok tidak salah. Tapi waktu disebut Ahok ada problem, Ahok marah. Jadi tidak fair, seolah bermusuhan. Padahal Tempo juga mengkritik Jokowi. Jangan melihat politik dengan cara seperti dulu: kalau mengkritik berarti memusuhi.
Mengapa Anda masih mendukung Ahok?
Siapa lagi? Jasanya banyak. Rumah saya nggak banjir lagi, bersih. Kalau macet memang sulit diatasi. Tapi banyak perbaikan dan korupsi minim banget. Sedihnya, politik jadi seperti pola lama. Pada Jokowi dan Ahok, partai jadi penentu. Transaksional. Tapi dalam pengalaman saya yang lama ini, politik itu soal mengelola harapan dan kekecewaan. Mula-mula mau perubahan, tapi begitu berkuasa ternyata tidak. Dikira hebat, tapi ternyata tidak.
Tapi tidak apa-apa. Mungkin orang menganggap akan tercapai sistem yang sempurna, itu nggak akan terjadi. Yang baik itu bukan yang sempurna, tapi sistem yang siap diperbaiki secara teratur dan damai. Orang selalu berlebihan mengelola harapan. Fanatisme Teman Ahok itu berbahaya. Bahaya bagi Ahok dan demokrasi. Tempo mengkritik malah dimusuhi.
Anda juga tampaknya kecewa kepada Jokowi. Apa karena Anies Baswedan diganti?
Saya kecewa dengan kabinet ini. Hari ini politik seperti kembali ke pola lama. Tapi kesenian menciptakan yang baru. Saya lebih senang.
Anda sejak lama selalu antusias dengan kaukus non-partai? Pernah mendukung Faisal Basri. Mendukung Ahok juga dengan alasan nonpartai. Mengapa bukan dengan memperbaiki partai?
Jangka lama [memperbaiki partai] bisa, jangka pendek nggak bisa. Ini [mendukung calon nonpartai] adalah cara untuk mengingatkan partai. Mereka tidak bisa memonopoli politik.
Tapi bagi kalangan Marhaen dan Marxis, sikap Anda semakin menguatkan praduga bahwa yang disebut orang PSI seperti Anda itu anti-partai, anti-pengorganisasian massa.
Orang PSI anti-partai? Ini gila. PSI itu partai dan saya kan bukan PSI. Itu labelling penyakit gila. PSI tidak anti-partai. PSI dibubarkan, Masyumi dibubarkan.
Barangkali awalnya PSI dianggap anti-partai karena di awal Orde Baru mendukung kalangan profesional dan teknokrat masuk kabinet. Lalu sekarang mendukung Sri Mulyani, misalnya?
Apa itu PSI? Kembali masalah the mania for labelling. Kalau tidak memberi label susah. Orang tidak bisa tidur. Harus dilihat Orba lahir setelah demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin yang semuanya dikuasai negara. Orba ingin melepaskan itu, lalu disangka neolib. Padahal tidak. BUMN masih banyak. Yang penting, kepemilikan lebih besar yang dikuasai oleh negara.
Kemudian karena di masa demokrasi terpimpin politik adalah massa, rapat umum, Orba lalu mengoreksi dengan pendekatan teknokratis. Jadi wajar kalau kita berpikir dialektis. PSI tidak punya pengaruh apa-apa. Widjojo, Emil Salim itu teknokrat. Mereka bukan PSI. Yang PSI itu Sarbini Sumawinata. Sri Mulyani? Dia berasal dari keluarga PNI.
Tapi Sri Mulyani didukung kelompok yang dekat dengan PSI. Anda, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak.
Rahman Tolleng memang PSI, Marsilam bukan. Begini. Saya tidak tahu program ekonomi PSI, tidak pernah baca. Bagaimana orang membaca program Sri Mulyani adalah PSI? Semua ekonomi di negara ketiga juga seperti itu. India begitu. Singapura juga.
Anda ingin bilang bahwa Sri Mulyani bukan seorang neolib? Bagi kaum Marxis dan secara umum pendukung ekonomi yang lebih protektif, contoh yang ideal adalah Chavez. Bukan India atau Singapura.
Apa yang terjadi itu harus lahir dari sejarah itu sendiri. Kaum Marxis kita tidak berpikir realistis dan empiris. Bagaimana orang percaya Chavez ideal? Buktinya sekarang bagaimana? Dulu Korea Utara pun dianggap ideal. Saya pernah punya teman PKI pernah tinggal di sana, kapok. Dia nulis buku tapi nggak berani menerbitkan, dia mengecam Korut. Sekarang sudah meninggal, nanti kami terbitkan bukunya.
Anda berhubungan baik dengan seniman-seniman Lekra?
Teman Lekra dan PKI? Ya iya dong.
Beberapa tokoh kan bermusuhan?
Saya kira itu masalah pribadi bukan ideologi. Dari dulu saya berteman. Saya tidak pernah bermusuhan secara pribadi. Periode Demokrasi Terpimpin itu memang jahat. Tahun yang menimbulkan kekerasan dan perpecahan. Sebelum itu kan kalau polemik bagus. Begitu Demokrasi Terpimpin, mulai tidak sehat. Mulai serangan pribadi. Seperti soal Ahok ini, begitu fanatiknya sampai beda pendapat dimusuhi.
Politik sekarang tidak menarik lagi, sudah kembali seperti dulu. Saya mulai menjauh. Ahok masuk partai sebetulnya saya setuju, lewat PDIP saya menganjurkan. Tapi memang kalau lewat partai, jadi tidak ada yang baru. Jokowi harus melakukan itu [bernegosiasi dengan partai-partai].
Mengapa Anda kecewa Anies dicopot?
Jasanya banyak, ada [jasa] kepada Jokowi juga. Dan sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan dia maju sekali. Dia memulai dana penerjemahan untuk karya sastra, ada dana sastra untuk membantu sastrawan menyelesaikan karyanya. Di Indonesia baru Anies yang bikin.
Anda sudah menyampaikan kekecewaan terhadap Jokowi?
Buat apa, nggak ada gunanya kan?
Terhadap Ahok?
Sama Ahok masih komunikasi, saya bahkan kemarin mengundang Ahok kemarin untuk datang ke pementasan teater, tapi dia ada acara. Komunikasi saya lumayan sama dia. Ahok itu kan sebenarnya masalahnya tumbuh karena bertahun-tahun melawan korupsi. Orang yang berkelahi terus, lama-lama merasa lebih suci. Itu biasa. Kedua, pernah lihat rapat di Balai Kota? Cuma dia yang ngomong, nggak ada pegawai lain. Ini yang kurang benar. Dan untuk memperbaiki komunikasi, sudah dianjurkan untuk membuat konferensi pers, sebab wawancara door stop kan wartawan sering meleset. Dia katanya mau, tapi belum dilakukan.
Soal Tempo, Kurawa bilang Tempo mau cari modal dengan menyerang Ahok. Tempo memang dalam keadaan berat, tapi kan ada Jawa Pos. Saya kan presiden komisaris dua-duanya.
Saya itu termasuk yang kaget dengan berita Tempo. Di dalam Tempo, secara pribadi hampir semua pro-Ahok. Tapi kalau sudah ada data begitu kan susah, fakta itu suci. Hanya karena persabahatan dengan satu orang, nggak bisa data tidak dikeluarkan. Dan ini bukan dilema pertama. Waktu saya jadi jadi tim sukses Boediono, saya juga nggak pernah datang ke kantor Tempo. Saya harus lebih hati-hati. Apalagi soal Ahok.
Bagaimana Anda melihat 2019, apakah Anda akan mendukung Ahok, Anies, atau Sri Mulyani jadi presiden, atau Jokowi lagi?
Nggak mikir lagi, saya capek. Sudah biasa kecewa. Sudah biasa kecewa. Akhirnya Jokowi harus menghitung kekuatan. Dia sekarang sudah kuat, semua mendukung. Seharusnya bikin sesuatu yang baru. Jokowi itu rajin dan sangat rajin, kekurangannya kalau sudah punya sudut pandang, sulit berubah meski keliru.
Kereta api cepat itu kebijakan yang salah. Tapi nyatanya saya belum mau memusuhi, karena akan dimanfaatkan oleh musuh Jokowi. Pembencinya tidak adil. Orang-orang SBY termasuk di dalamnya, seolah-olah yang dikalahkan saat pemilihan presiden itu SBY. Prabowo malah diam saja. Ya, mungkin karena Jokowi sering menyalahkan rezim sebelumnya.
Kebaikannya Jokowi itu nggak culas. Tapi kekurangannya, makin lama dia makin sadar dia makin berkuasa. Itu bisa baik, tapi jeleknya bisa sewenang-wenang. Dia suka tergesa-gesa, kan? Jonan dicopot juga. Payah. Mungkin karena menentang kereta api cepat. Ya, memang menteri tidak boleh menentang presiden.
Anies layak jadi presiden?
Layak. Inspiring. Pintar ceramah. Yang lain juga layak. Ahok itu cacatnya tidak tahu komunikasi. Presiden harus bisa berkomunikasi. Ini Ahok dijaga betul sama Jokowi. Saya mengira, 2017 Ahok jadi gubernur lagi dan 2019 jadi wakil presiden. DKI nanti dipegang orang lain. Makanya PDIP seharusnya pasang orang untuk nanti gantikan Ahok.
Teman Ahok tidak mengerti bahwa politik itu jangan memperbanyak musuh. Ini bedanya dengan Relawan Jokowi. Kalau Relawan Jokowi dulu sadar bahwa Jokowi hampir kalah di pilpres, maka mereka merangkul semua. Ini Teman Ahok malah bikin musuh, dengan PDIP, dengan saya. Mereka berpeluang menang, jadi agak takabur, terlalu pede dan fanatik. (Maulida Sri Handayani)