Hutang jangka pendek dari China memperburuk kondisi ekonomi

Hutang jangka pendek dari China memperburuk kondisi ekonomi

Kehadiran hutang dari China, pada praktiknya bukan saja membebani keuangan negara namun juga memperburuk kondisi ekonomi


Total Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kepada Negeri Tirai Bambu, China, tumbuh 59,61 persen selama setahun terakhir.

Jika pada Januari 2015 utang Indonesia ke China 8,55 miliar dollar AS, maka per Januari 2016 tumbuh menjadi 13,65 miliar dollar AS, alias melejit 59 persen.

Menariknya, dari lima negara kreditor besar Indonesia hanya utang ke China saja yang mengalami kenaikan selama setahun terakhir. (kompas)

TERBITNYA undang-undang tax amnesty tidak lepas dari kondisi keuangan negara (Angaran Penerimaan dan Belanja Negara/APBN) yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Sebabnya karena besarnya beban utang luar negeri pemerintah dari lembaga-lembaga donor (terutama China), yang sebagian besar bersifat jangka pendek untuk memenuhi ambisi pemerintah membangun berbagai proyek infrastruktur secara besar-besaran.

Kehadiran utang-utang jangka pendek dari China, dalam jangka pendek pada praktiknya bukan saja membebani keuangan negara namun juga memperburuk kondisi ekonomi dalam negeri.

Berbagai proyek infrastruktur yang didanai dari utang pada praktiknya dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan negara pemberi utang, sehingga kehadiran dana-dana utang tersebut tidak mampu merangsang perekonomian dalam negeri. Sementara APBN sendiri semakin mengalami tekanan akibat besar utang yang ditangung pemerintah.

Kondisi keuangan ini semakin diperparah dengan tidak tercapainya target penerimaan pajak. Target pajak sebesar Rp. 1.546 triliun tahun ini diprediksi tidak tercapai dan diperkirakan berkurang hingga Rp. 219 triliun. Ini kemudian memaksa pemerintah memangkas belanja kementerian dan lembaga serta transfer daerah sebesar Rp 133 triliun.

Kondisi keuangan negara yang mengalami tekanan ini, juga mendorong pemerintah mengubah kebijakannya. Dari sebelumnya bergantung pada utang luar negeri (G to G—utang ke lembaga dan negara donor) ke utang publik, melalui penerbitan berbagai Surat Berharga Negara (SBN).

Langkah ini sesungguhnya bukan sebuah kebijakan yang baru. Di masa pemerintah sebelumnya (Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY), langkah serupa telah ditempuh terutama pada periode akhir masa jabatannya. Usai melunasi utang Indonesia kepada IMF (International Moneter Fund), SBY menambah penerbitan SBN untuk meningkatkan penerimaan negara.

Namun begitu terjadi pergantian rezim, pemerintahan baru kembali menempuh jalan utang luar negeri sebagai sumber penerimaan. Sayangnya kebijakan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga memaksa pemerintah kembali berpaling ke utang publik (pasar modal dan keuangan ).


Di lanjutkan : Target penerimaan tax amnesty sebesar Rp. 165 T tidak realistis
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda